Studi: Populasi Komodo Kian Memburuk Akibat Interaksi dengan Manusia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 5 Februari 2021 | 10:50 WIB
Komodo di Loh Buaya Pulau Rinca dekat ranger station ()

Nationalgeographic.co.id – Komodo, hewan endemik di Nusa Tenggara Timur ini menjadi daya tarik pariwisata Indonesia masa kini. Bahkan kawasan Taman Nasional Komodo kini digadangkan sebagai kawasan pariwisata premium untuk membangun industri pariwisata Indonesia.

Menurut Kementerian Kehutanan, sejak 2015 hingga 2019, pemerintah membidik target untuk dapat menarik 21,5 juta kunjungan ke kawasan konservasi itu. Kemudian kunjungan kian bertambah, dan terus dipromosikan hingga kini meski pagebluk Covid-19 belum kunjung reda. Kawasan itu pun mengalami pembangunan infrastruktur.

Berbagai infrastruktur pariwisata yang sudah ada, ditambah dengan adanya permukiman di Taman Nasional Komodo, membuat kadal besar itu menjinak dan bergantung pada manusia.

“Jadi misalnya ada di resor di Loh Buaya, ada saja komodo yang selalu lewat di situ, tidak mengganggu kita, kita juga tidak mengganggu komodo. Jadi seperti hidup berdampingan,” terang Evy Ayu Erida, Peneliti Komodo dari LIPI, dikutip dari BBC Indonesia.

Baca Juga: Perubahan Iklim dan Sempitnya Habitat Ancam Kepunahan Komodo Pada 2050

Namun ketergantungan komodo pada manusia juga menimbulkan dampak negatif bagi mereka. Sebagaimana laporan studi yang diterbitkan di Springer Nature pada 2018 oleh Ardiantono dari Komodo Survival Program, bersama rekan dari Deakin University dan University of Florence.

“Komodo yang terpapar ekoturisme menunjukkan kurangnya kewaspadaan secara signifikan, massa tubuh lebih besar, kondisi tubuh lebih baik, dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi,” tulis mereka di bagian abstrak.

Selama satu bulan, mereka mengamati di delapan lokasi di Pulau Komodo dan Rinca, yakni Loh Kiang, Loh Lawi, Loh Sebita, Loh Wau, Loh Buaya, Loh Baru, Loh Tongker, dan Loh Dasami. Kedelapan lokasi ini dijadikan sampel penelitian karena memiliki tingkat aktivitas manusia yang berbeda.

Melalui pengamatan di delapan lokasi itu, mereka mengategorikan berdasarkan tingkat aktivitas manusianya. Yakni, area manusia beraktivitas tinggi, area manusia beraktivitas rendah, dan area yang tidak ada atau jarang terdapat aktivitas manusia.

Untuk dapat mengetahui respon komodo akibat tingkat aktivitas manusia di sekitarnya, mereka juga mencatat massa dan panjang tubuhnya yang berpengaruh pada perubahan fisiknya. Mereka juga mencatat indeks kondisi tubuhnya untuk mengetahui seberapa sehat dan energiknya hewan itu di lokasi.

Baca Juga: Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?

Pengambilan sampel ini dilakukan secara aman dan tidak membahayakan komodo agar kebebasannya beraktivitas selama studi tetap terjaga.