Studi: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Polusi Bahan Bakar Fosil

By Utomo Priyambodo, Kamis, 11 Februari 2021 | 11:30 WIB
Paparan partikel polusi udara dapat menurunkan fungsi otak. (Jaroslav Moravcik/Fotolia)

Baca Juga: Ratusan Laba-laba Pemburu Menyerbu Kamar Seorang Anak di Australia

Penemuan dari studi terbaru ini tampak semakin menegaskan dampak merugikan bahan bakar fosil terhadap kesehatan global. Tapi, pertanyaannya, bagaimana para peneliti bisa mendapatkan angka total korban yang demikian besar itu?

Penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dampak polusi udara hanya mengandalkan pengamatan satelit dan permukaan untuk memperkirakan konsentrasi tahunan rata-rata global materi partikulat udara yang dikenal sebagai PM2.5. Masalahnya, pengamatan satelit dan permukaan tidak dapat membedakan antara partikel dari emisi bahan bakar fosil dan partikel dari debu, asap kebakaran hutan, atau sumber lainnya.                                                                                            

“Dengan mengandalkan data satelit, Anda hanya mendapatkan potongan teka-teki,” kata Loretta J. Mickley, peneliti senior dari Harvard John A. Paulson School of Engineering and Applied Sciences (SEAS) yang turut terlibat dalam studi ini, sebagaimana dikutip dari Harvard Gazette, portal berita resmi dari Harvard University. “Sulit bagi satelit untuk membedakan jenis partikel, dan mungkin ada celah dalam datanya.”

Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah

Untuk mengatasi tantangan ini, para peneliti Harvard kemudian beralih ke GEOS-Chem, model 3D kimia atmosfer global. Penelitian-penelitian sebelumnya telah berhasil menggunakan GEOS-Chem untuk memodelkan dampak kesehatan dari materi partikulat, dan hasilnya telah divalidasi terhadap pengamatan langsung dari permukaan, pesawat, dan luar angkasa di seluruh wilayah dunia.

Dalam menggunakan model global EOS-Chem yang beresolusi spasial tinggi, para peneliti membagi seluruh wilayah dunia menjadi kisi-kisi dengan kotak sekecil 50 kilometer x 60 kilometer dan melihat tingkat polusi di setiap kotak itu satu per satu.

“Daripada mengandalkan rata-rata penyebaran di wilayah yang luas, kami ingin memetakan di mana polusi itu dan di mana orang-orang tinggal, sehingga kami dapat mengetahui dengan lebih tepat apa yang orang-orang hirup saat bernapas,” kata Karn Vohra dari University of Birmingham yang menjadi peneliti utama dalam studi ini.

Untuk memodelkan PM2.5 yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, para peneliti menghubungkan model GEOS-Chem dengan data perkiraan emisi dari berbagai sektor, termasuk listrik, industri, kapal, pesawat, dan transportasi darat. Mereka juga membuat simulasi kimia oksidan-aerosol rinci yang digerakkan oleh parameter meteorologi dari NASA Global Modeling and Assimilation Office.

Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas

Para peneliti menggunakan data emisi dan meteorologi terutama dari tahun 2012 karena itu adalah tahun yang tidak terpengaruh oleh El Niño, yang dapat memperburuk atau memperbaiki tingkat polusi udara tergantung pada wilayahnya. Kemudian, para peneliti memperbarui data dalam model ini untuk memantau perubahan signifikan dari emisi bahan bakar fosil Tiongkok yang turun sekitar setengahnya antara tahun 2012 dan 2018.

"Meskipun tingkat emisi bersifat dinamis, meningkat seiring perkembangan industri atau menurun seiring kebijakan perbaikan kualitas udara yang berhasil, perubahan kualitas udara Tiongkok dari 2012 hingga 2018 adalah yang paling dramatis karena populasi dan polusi udara di sana besar," ucap Eloise Marais, peneliti dari University College London yang juga terlibat dalam studi ini. “Pengamatan serupa di negara lain selama periode waktu itu tidak akan berdampak besar pada angka kematian global.”

Hasil dari pemodelan ini memang menunjukkan bahwa angka kematian global akibat polusi udara sepanjang tahun 2018 sangatlah besar. Namun begitu, para peneliti mengestimasi bahwa keputusan Tiongkok untuk mengurangi emisi bahan bakar fosilnya hingga hampir setengahnya telah menyelamatkan 2,4 juta nyawa di seluruh dunia, termasuk 1,5 juta nyawa di Tiongkok, pada tersebut.

“Studi kami semakin menambah banyak bukti bahwa polusi udara yang timbul akibat ketergantungan yang terus-menerus pada bahan bakar fosil telah memperburuk kesehatan global,” tegas Marais. “Kita tidak bisa dengan hati nurani yang baik terus bergantung pada bahan bakar fosil, ketika kita tahu bahwa ada efek yang begitu parah pada kesehatan dan ada alternatif yang sebenarnya lebih bersih dan layak.”