“Melihat hasil foto dan cerita anak-anak, kami cukup surprise karena selain dapat foto-foto yang bagus, kami juga menemukan cerita-cerita yang menarik. Ada isu-isu besar yang secara tidak langsung tersampaikan, misal tentang pendidikan, akses mereka ke sekolah yang jauh dengan medan luar biasa, tentang isu malaria atau kesehatan, tentang gizi, masalah air, listrik, dan isu-isu lain yang mungkin juga terjadi di banyak daerah di Indonesia,” ujar Vifick kepada National Geographic Indonesia, Jumat (19/2/2021).
Hal menarik lainnya dari program ini, menurut Vifick, adalah efek dari pelatihan yang dijalankan. “Selama tiga bulan lebih anak-anak belajar fotografi dan storytelling, kemudian memotret lingkungan mereka sendiri. Ada perubahan penting pada mereka, yakni meningkatnya kepercayadirian mereka untuk bercerita, berpendapat, bertemu orang baru, dan berbuat sesuatu.”
Baca Juga: Akibat Virus Corona, Museum-Museum di Tiongkok Hadirkan Pameran Online
Mamuk Ismuntoro, jurnalis senior pendiri Matanesia Institute di Surabaya, Jawa Timur, turut mengapresiasi karya anak-anak Sumba itu. "Saya melihat gambaran-gambaran visual yang orisinil, yang hangat, yang intens dihadirkan oleh adik adik kita dari Lapinu dan Kamanggih di Sumba Timur,” kata Mamuk usai menyaksikan pameran virtual dan mendengarkan cerita foto lewat daring tersebut.
“Anak-anak ini punya suara untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri sehingga fotonya menjadi lebih hangat dan lebih dekat,” tambahnya.
Jika fotojurnalis dunia Robert Capa mengatakan “If your pictures aren't good enough, you aren't close enough”, maka anak-anak ini bukan hanya ‘dekat’. Kekuatan karya mereka adalah karena mereka adalah objek atau subjek foto mereka sendiri. Mereka adalah bagian dari cerita yang mereka sampaikan.