Nationalgeographic.co.id—Imanuddin Utoro terkejut saat tahu masyarakat Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung sebenarnya paham cara pengelolaan sampah yang benar. Hanya saja, pengetahuan dan praktik keseharian mereka belumlah selaras, bahkan “jomplang”.
"Dari hasil survei kami, masyarakat tahu cara mengelola sampah yang baik. Salah satunya pengomposan. Kemudian juga bagaimana memisahkan sampah (organik dan non-organik), mereka juga tahu," kata Manager Program Kehutanan Yayasan KEHATI itu.
Namun ada keterbatasan pada masyarakat desa tersebut yang membuat mereka belum bisa dan/atau belum mau menerapkan pengelolaan sampah yang benar. Sebagian warga belum memiliki tempat sampah di rumah mereka sendiri. Sebagian RW di desa itu juga belum memiliki tempat pembuangan sementara (TPS) yang bisa menampung sampah warga.
Akibatnya, banyak warga yang kemudian membuang sampah rumah tangga mereka langsung ke Sungai Citarum. Sampah-sampah rumah tangga inilah yang kemudian menyumbang tingkat pencemaran Sungai CItarum, sungai yang menyandang predikat sebagai sungai terkotor di dunia.
Baca Juga: Kehidupan di Pinggir Citarum, Sungai Terkotor di Dunia
Bank Dunia pernah menyatakan Citarum sebagai sungai terkotor di dunia sejak lebih dari satu dekade lalu. Julukan ini digunakan oleh para peneliti, pemerhati lingkungan, dan praktisi media untuk mendeskripsikan betapa banyak dan gawatnya limbah yang mencemari Citarum. Kondisi pencemaran di Sungai Citarum ini tetap menjadi perhatian banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri, hingga sekarang.
Media Inggris bernama Channel 4, salah satunya, pernah meliput dan menobatkan Sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia. Liputan mereka antara lain memperlihatkan warna sungai itu menjadi berwarna-warni akibat limbah dari pabrik tekstil.
Pada tahun 2013 Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute juga menyatakan Sungai Citarum sebagai salah satu tempat paling tercemar di dunia. Sungai ini menyegel posisi tiga, hanya kalah dari Agbogbloshie, gunung sampah elektronik di Ghana, dan Chernobyl, kota yang mati akibat radiasi nuklir di Rusia.
Tak hanya Sungai Citarum secara khusus, sungai-sungai Indonesia secara umum juga mendapat predikat yang buruk. Pada 2010, sebuah riset dari tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Jenna Jambeck dari University of Georgia, mencatatkan nama Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Riset tersebut mengestimasi ada lebih dari 3 juta metrik ton sampah plastik di sungai-sungai Indonesia. Sampah plastik ini kemudian menjadi bagian dari polutan yang mencemari lautan dunia.
Baca Juga: Bakal Dapat Pinjaman Rp 1,4 Triliun, Mampukah Citarum Lepaskan Sebutan Sungai Terkotor?
Berdasarkan hasil penelitian Yayasan KEHATI, mayoritas sumber pencemar Sungai Citarum adalah limbah domestik (60%). Sisanya berasal dari limbah industri (30%) dan limbah peternakan/pertanian (10%).
Sebagian besar dari komposisi limbah domestik atau sampah rumah tangga tersebut adalah sampah organik (57%). Sisanya adalah sampah plastik (18%), kertas (11%), tekstil (7%), dan jenis lainnya (7%). Temuan ini menunjukkan pentingnya melibatkan masyarakat sekitar untuk bisa menyelesaikan masalah pencemaran di Sungai Citarum.
Melalui program bertajuk Revive Citarum, Yayasan KEHATI berusaha untuk menggalakkan kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Desa Bojongsari. "Ini adalah sebuah desa sub-urban, peralihan antara petani menjadi masyarakat kota. Jadi kalau kita pergi ke Bojongsari ini ada karakteristik masyarakat kota, tapi di sana kita lihat masih banyak sekali sawah, empang, dan peternakan. Ini juga adalah perkampungan yang cukup padat yang beberapa tempatnya rawan banjir karena sangat dekat dengan Sungai citarum," tutur Iman, sapaan Imanuddin, di acara Webinar Pengelolaan Sampah Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Aliran Sungai pada Jumat (19/2/2021).
Lokasi Desa Bojongsari berdekatan dengan sejumlah kawasan industri. Sebagian besar adalah industri di bidang tekstil. Mayoritas masyarakat di desa itu berprofesi sebagai petani, tapi ada juga sebagian yang bekerja di industri tekstil tersebut.
Baca Juga: Tercemar Berat, Mungkinkah Citarum Lestari?
Dari hasil survei dan pengidentifikasian masalah di Desa Bojongsari, Yayasan KEHATI melalui mitranya, Green Initiative Foundation, kemudian memberikan pendampingan kepada empat komunitas di empat RW di desa tersebut untuk mulai menyusun alternatif solusi yang mereka perlukan. Yayasan tersebut membantu mempersiapkan infrastruktur yang warga perlukan, tapi kemudian kelompok warga sendiri yang menggunakan infrastruktur tersebut untuk menjalankan solusi penanganan sampah di desa mereka.
"Dari problem yang ada, kami melihat ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan. Yang pertama lewat komposting karena kami melihat metode ini cukup dikenal oleh masyarakat, hanya saja tidak banyak dilakukan. Problemnya adalah desa ini sering banjir. Jadi kalau musim penghujan seperti sekarang bisa dipastikan kampung itu akan terendam banjir, sehingga pastinya akan menjadi masalah ketika melakukan pengomposan," papar Iman.
"Itulah makanya kami membantu mempersiapkan infrastruktur berupa tong-tong komposter sampah. Saat ini kapasitasnya 20 meter kubik per bulan. Jadi komunitas ini bisa mengelola sampah organik 20 meter kubik per bulan. Hasilnya adalah pupuk organik cair."
Selain bisa mengurangi sampah desa hingga 20 meter kubik per bulan, pupuk organik yang dihasilkan dari metode ini juga bisa dimanfaatkan oleh warga-warga yang berprofesi sebagai petani di sana. Jadi pengelolaan sampah organik ini dilakukan oleh masyarakat desa dan hasilnya digunakan pula oleh masyarakat.
Baca Juga: Upaya Menyelamatkan Citarum
"Intervensi lain yang kami lakukan adalah budidaya maggot BSF (black soldier fly/lalat tentara hitam). Kami membangun satu infrastruktur rumah BSF. kapasitasnya adalah 3 ton per bulan," tambah Iman.
Maggot atau fase larva atau belatung dari BSF ini bisa mengonsumsi sampah organik hingga tiga kali lipat dari berat tubuhnya dalam 24 jam. Jadi, sampah organik warga desa bisa dijadikan makan maggot BSF ini dan cukup efektif untuk mengurangi sampah organik yang sudah dipilah warga. Sisi baik lainnya, kegiatan budidaya maggot BSF ini mampu memberi nilai ekonomi bagi warga setempat lewat penjualan telur dan larva BSF hasil budidaya.
"Rumah BSF berukuran 3 kali 5 meter itu bisa menghasilkan uang 4 sampai 6 juta (rupiah) per bulan yang itu bisa diputar lagi untuk pengelolaan sampah di masyarakat."
Iman mengatakan, jika masyarakat diberi infrastruktur dan tambahan pengetahuan yang memadai, mereka sebenarnya sanggup mengelola sampah rumah tangga mereka dengan baik. Empat komunitas di Desa Bojongsari itu adalah contoh nyata bahwa mereka kini bisa memilah sampah organik dan non-organik sejak dari rumah-rumah mereka dan kemudian mengolahnya untuk jadi komoditas ekonomi seperti pupuk organik dan pakan maggot BSF.
Baca Juga: Mengurai Bahara Citarum
Menurut Iman, masalah utama dalam pengelolaan sampah di masyarakat adalah tidak adanya sistem yang utuh dan kontinu. "Itu problem yang dihadapi di seluruh Indonesia"
Iman mencontohkan, banyak warga Desa Bojongsari sebelumnya malas melakukan pemilahan sampah organik dan non-organik dari rumah mereka karena mereka melihat sampah tersebut akhirnya digabungkan kembali ketika diangkut oleh petugas kebersihan dan akhirnya tercampur lagi di TPS.
"Jadi infrastrukturnya harus ada. Bukan masyarakat cuma disuruh memilah sampah saja. Masyarakat bakal muak dan kesal kalau sampahnya akhirnya dicampur lagi di TPS," tekan Iman.
Baca Juga: Potret Suram Pengelolaan Limbah Citarum
Ridho Malik Ibrahim, Head of Strategic Services Waste4Change, mengatakan bahwa pengolahan sampah di sekitar sungai adalah sektor yang bisa dijadikan komoditas ekonomi. Sebab, pengolahan sampah adalah upaya yang menghadirkan solusi atas masalah yang ada. Pencemaran di Sungai Citarum adalah masyarakat bagi banyak warga di tujuh kabupaten/kota di Indonesia yang dilaluinya. Termasuk juga bagi warga Jakarta yang mengambil air dari Citarum, melalui PDAM, untuk air minumnya. Tercatat, 80 persen pasokan air minum untuk Jakarta berasal dari sungai terkotor di dunia ini, seperti yang pernah diberitakan National Geographic Indonesia pada 2017 lalu.
Ridho mencontohkan, di Amerika Serikat bidang industri yang tingkat pertumbuhan hasil investasinya paling besar nomor dua adalah pengelolaan sampah (waste management). "Karena secara bisnis, pengelolaan sampah memang bisa jadi komoditas ekonomi," ujarnya.
Prinsipnya, "segala sesuatu yang menyelesaikan masalah, selalu ada jalan untuk me-monetisasi-nya," tegas Ridho dalam acara webinar yang sama bersama Iman. Webinar ini diadakan untuk memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Tema perayaan HPSN tahun ini adalah “Sampah Bahan Baku Ekonomi di Masa Pandemi”.