Nationalgeographic.co.id—Sudah cukup lama masyarakat Bugis, mengenal dan menghargai keberagaman gender dalam kebudayaannya. Kebudayaan ini sudah lama tertuang dalam I La Galigo, naskah kuno masyarakat Sulawesi Selatan.
Selain maskulin dan feminim, mereka juga mengetahui gender lain seperti, calabai (berjasad laki-laki dengan perilaku feminim), calalai yang merupakan kebalikan dari calabai. Kemudian mereka meletakkan semua jenis gender itu pada golongan pendeta yang disebut dengan bissu.
Bissu tersebar di seluruh Sulawesi Selatan karena dianggap menjadi wakil atas konsep kosmologis masyarakat Bugis. Keberadaan mereka kini dapat ditemukan di Bone, Wajo, Soppeng, dan yang paling terkenal di Segeri.
Baca Juga: La Galigo, Kitab Sakral Orang Bugis
Syamsurijal Ad'han dalam Bissu yang Enggan Membisu (jurnal Al-Qalam Vol.15 Desember 2009) menulis, alasan mengapa bissu terkumpul di Segeri juga dituturkan dalam legenda. Kisahnya diawali ketika bajak kebesaran Bone hilang, sehingga mengancam bencana kelaparan kerajaan itu.
Raja Bone pun mengutus 40 bissu untuk mencarinya, dan berpesan agar tak kembali sebelum membawa pulang pusaka itu. Pusaka itu pun akhirnya ditemukan di Segeri, tetapi masyarakat setempat enggan mengembalikannya.
Karena takut untuk pulang ke Watampone dengan tangan kosong, mereka memilih untuk menjaga bajak itu di sana.
Sejatinya selama bertugas sebagai bissu, para pendeta ini mendapatkan sumbangan dari masyarakat jika bertemu atau melintasi pasar. Tetapi pihak Kesultanan Bone juga menyediakan sawah untuk dikelola dan menjadi sumber penghidupan mereka.
"Dulu ada sawah yang luas di belakang istana ini," ungkap Andi Mappassisi, pewaris bangsawan Bugis.
"Itu dikerjakan oleh para bissu untuk penghidupan bissu. Itu yang dia makan. Tapi sekarang sudah dicabut oleh pemerintah [lewat UU pertanahan tahun 1960], sekarang mereka berkeliaran mencari nafkah," tambahnya dalam dokumenter The Last Bissu: Sacred Transvestites of Sulawesi yang disutradarai Rhoda Grauer.