COVID-19 Hantam Sektor Pariwisata: Ini Pelajaran yang Bisa Kita Ambil

By Utomo Priyambodo, Senin, 1 Maret 2021 | 14:12 WIB
Masyarakat Manila ditengah Pandemi COVID-19. [Aaron Favila / AP] (Aaron Favila)

Nationalgeographic.co.id—Pandemi COVID-19 telah menghantam keras industri pariwisata di seluruh dunia. Menurut para peneliti pariwisata berkelanjutan dari Lund University dan University of Otago, ini menunjukkan betapa rentannya sektor pariwisata terhadap ancaman gangguan yang mungkin muncul. Tidak hanya oleh pandemi penyakit yang disebabkan oleh virus corona, tapi oleh potensi gangguan lainnya.

Menurut Stefan Gössling, peneliti dari Western Norway Research Institute sekaligus profesor pariwisata berkelanjutan dari Department of Service Management and Service Studies di Lund University, kondisi pandemi COVID-19 ini mungkin akan berlangsung sementara, tetapi kondisi gangguan yang lain, yakni krisis iklim, bisa berlangsung selamanya dan ini akan menjadi ancaman serius bagi sektor pariwisata. Jadi, tegas Stefan Gössling, “sektor pariwisata harus beradaptasi.”

Dampak serius dari kondisi pandemi saat ini terhadap sektor pariwisata telah membawa pelajaran dan pesan mendesak bagi para pelaku industri ini untuk segera menerapkan model pariwisata berkelanjutan. Menurut Gössling, sektor pariwisata sebenarnya telah berada di bawah tekanan bahkan sebelum terjadinya pandemi saat ini.

Industri penerbangan telah mengalami penurunan keuntungan sejak beberapa tahun terakhir. Biaya atau harga penerbangan sudah menjadi lebih murah.

Baca Juga: Riset: 65% Sampah Laut di Pantai Imbas dari Sektor Pariwisata

Platform bisnis perjalanan seperti AirBnB, booking.com, dan TripAdvisor —sebagai beberapa contoh dari sedikit pemain global yang dominan— sebenarnya telah memperkuat pasar pariwisata. Namun efek keberadaan platform tersebut, wisatawan jadi memesan masa inap yang lebih singkat, yang berarti destinasi wisata harus menarik jumlah wisatawan yang lebih banyak.

"Meskipun kami telah memperingatkan selama beberapa dekade bahwa virus, misalnya SARS, dapat mempengaruhi pariwisata secara signifikan, tidak ada yang mengira bahwa sebuah virus bisa memberikan dampak seperti ini", kata Stefan Gössling, seperti dilansir EurekAlert!.

Di sisi lain, menurutnya, terdapat pertanda bahwa ada krisis lain yang mulai memengaruhi pariwisata. Kematian operator tur Inggris bernama Thomas Cook pada tahun 2019 dikaitkan dengan gelombang panas musim panas yang menyebabkan turunnya jumlah pemesanan layanan pariwisata atau perjalanan. Dan gelombang panas itu, tentu saja, terkait dengan perubahan iklim.

"Bayangkan beberapa krisis yang besarnya sama dengan COVID-19. Cuaca ekstrem dan tidak terduga, kekurangan pangan global atau konsekuensi lain dari perubahan iklim. Dan karena ini mungkin akan berlangsung lebih lama dari pandemi saat ini, industri pariwisata akan sangat menderita," ujar Stefan Gössling.

Baca Juga: Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?

Gössling mengatakan ada beberapa pedoman nyata bagi pelaku industri pariwisata dan wisatawan untuk dijalankan. Pedoman ini bisa membuat sektor pariwisata jadi lebih tangguh serta ramah iklim.

Beberapa pedoman seperti mendorong destinasi yang lebih dekat dengan pelancong, membuat masa tinggal lebih lama, dan menjaga keuntungan lokal dengan membeli jasa dan barang dari penduduk sekitar, merupakan cara untuk menghindari terbentuknya emisi dari produk-produk yang padat volume dan padat energi sekaligus memperkuat ketahanan sektor pariwisata.

Membuat masa tinggal lebih lama dapat dilakukan dengan meningkatkan lama tinggal atau lamanya hari dalam paket pariwisata yang dilakukan. Adapun berfokus pada pasar yang lebih dekat perlu dilakukan karena pelancong jarak jauh adalah orang-orang yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca yang sangat besar.

Selain itu, para pelaku industri pariwisata juga perlu memikirkan makanan yang mereka sajikan untuk para pelancong. Mereka harus tahu bahwa menyediakan makanan organik dan makanan yang berasal langsung dari daerah setempat tempat lokasi wisata itu berada dapat bermanfaat bagi lingkungan maupun para petani setempat.

Baca Juga: Memahami Wisata Minat Khusus yang Menyasar Pejalan-pejalan Berkualitas

Bagi para pelancong atau turis atau wisatawan, mereka juga perlu memikirkan pentingnya menerapkan model pariwisata yang bernilai tinggi dengan berbelanja lebih banyak dari penduduk lokal sekitar. Jika mereka lebih memilih membeli produk dan jasa terkait pariwisata suatu daerah dari platform global milik asing ketimbang membelinya langsung dari penduduk sekitar daerah tersebut, hal itu hanya akan mengurangi keuntungan bagi penduduk lokal.

Pikirkan juga terkait perjalanan yang padat karbon, misalnya liburan dengan menggunakan kapal pesiar. Jika ada pilihan liburan yang lebih ramah lingkungan, tentu saja itu lebih baik untuk dipilih.

Terlepas dari saran-saran ini, ujar Gössling, sayangnya ada banyak kondisi yang berada di luar jangkauan para pelaku industri pariwisata di wilayah-wilayah setempat. Sekalipun para pemilik bisnis pariwisata setempat melakukan segalanya sesuai dengan pedoman pariwisata keberlanjutan, mereka mungkin masih akan menderita akibat dampak perubahan iklim.

“Banyak dari perubahan struktural utama yang tentunya harus datang dari para pembuat kebijakan", tegas Stefan Gössling.