Cerita oleh Fadhil Ramadhan
Foto oleh Zulkifli
Nationalgeographic.co.id—Desa Tablasupa diyakini sebagai kampung tertua di Teluk Tanahmerah. Rumah-rumah panggungnya menghampar di pesisir, yang sekaligus kaki Pegunungan Cycloop. Awalnya, desa ini dihuni oleh tiga suku besar. Warganya kebanyakan hidup dari hasil tangkapan laut dan berkebun. Laut merupakan jaminan hidup bagi warga Desa Tablasupa.
Darius (55), seorang warga Desa Tablasupa, pertama kali melaut saat dia berusia 17 tahun. Di atas perahu, dirinya duduk di belakang ayahnya dan memperhatikan apa saja yang ayahnya lakukan secara seksama. Lalu pada usia 20 tahun, Darius dibantu oleh ayahnya untuk membuat kapal agar dapat digunakan oleh Darius untuk melaut. Dalam mengambil ikan di laut, warga tidak boleh menggunakan racun atau cara-cara tidak baik lainnya. “Karena kami hidup dari laut, maka kami harus menjaga lautdengan baik,” ucap Darius.
Baca Juga: Proyek Elon Musk di Papua Dinilai Dapat Mengancam Lingkungan
Ikan-ikan hasil dari melaut yang Darius dapat dia kumpulkan di sebuah rumpon; bentuknya berupa saung kecil yang terbuat dari bambu, yang dibiarkan mengapung di laut. Rumpon pertama yang Darius punya yaitu dibuat pada 2007 secara bersama-sama dengan 10 orang kerabat.
Di Kampung Amay, Desa Tablasupa, tempat Darius tinggal, terdapat budaya mengelola sumber daya alam dengan tujuan melestarikan populasi biota laut yang dinamakan sasi. Di Desa Tablasupa, sasi diadakan di Teluk Tanjung Merah. Warga Tablasupa memberikan mandat untuk melakukan sasi kepada suku terpilih. Lokasi sasi pun dipilih berdasarkan musyawarah, dan untuk warga Desa Tablasupa, mereka menentukan Teluk Tanjung Merah sebagai lokasi sasi.
Sebelum sasi dimulai, seluruh warga diberikan sosialisasi perihal lokasi diadakan sasi. Kemudian keluarga terpilih memberikan plang bertuliskan dilarang mengambil ikan di wilayah tersebut. Lalu mereka mulai menanam pohon guna tempat berkumpul juga bertelur bagi ikan-ikan. Bahkan bayangan perahu dan terang lampu pun tidak boleh memasuki wilayah tersebut. Proses Sasi tersebut berlangsung sekitar satu sampai dua tahun, bergantung pada perkembangan jumlah ikan di wilayah Sasi tersebut.
Begitu sudah sampai setahun, kondisi teluk diperiksa oleh suku terpilih yaitu suku Seronto. Apabila populasi ikan yang terhimpun dirasa belum cukup, maka Sasi akan dilanjut selama enam bulan ke depan. Jika pada pengecekan berikutnya diketahui bahwa populasi ikan yang telah dihimpun dirasa cukup, maka akan ditentukan tanggal untuk melakukan pembukaan Sasi.
Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua
Pada tanggal tersebut, plang larangan akan dicabut dan warga diperbolehkan untuk mengambil ikan di sana. Sasi yang dilakukan oleh warga Desa Tabalsupa di Teluk Tanah Merah sudah berlangsung sejak 2016. Penentuan tanggal untuk melakukan pembukaan sasi di Desa Tablasupa masih belum ditentukan, dan warga desa menantikan pembukaan tersebut.
Warga Desa Tablasupa mengambil ikan di laut hanya yang akan laku terjual saja. Jika tidak akan dijual atau ikannya berukuran kecil, warga akan melepaskan kembali ikan tersebut.
Baca Juga: Tambrauw, Memata-matai Burung Nirwana Sampai Jejak Perang Dunia Kedua
“Kami diajarkan oleh orang tua kami untuk mengambil ikan seperlunya saja. Mengambil ikan yang berukuran sedang dan besar saja, ikan yang kecil kami kembalikan ke laut,” terang Darius. “Kalau yang kecil juga kami ambil, besok saat kami datang ke mari, tidak ada ikan. Jadi kami mengambil ikan yang besar saja, ikan yang kecil tidak boleh diambil.”
Sumber air warga Desa Tablasupa berasal dari Pegunungan Cycloop. Warga Desa Tablasupa pun mengambil kayu dari hutan Pegunungan Cycloop hanya seperlunya saja. “Kalau ingin membikin perahu, ya kami mengambil kayu perahu saja. Menebangnya pun harus secara hati-hati; tanpa merusak pohon yang lain,” terang Darius. “Pegunungan Cycloop adalah gudang air bagi kami.”
Warga Desa Tablasupa juga memiliki budaya tarian yang biasa mereka lakukan sebelum melaut ataupun sebelum mengambil sagu di hutan. Ada pula Tarian Terauw, disebut juga tarian makan, yang memiliki arti ungkapan rasa syukur atas makanan yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka.
Budaya ini menjadi bentuk pemuliaan dan pemeliharaan alam, sekaligus bentuk rasa syukur atas apa yang telah alam berikan kepada mereka.
Baca Juga: Tata Kelola Gambut di Papua Demi Keberlangsungan Hidup Warga