Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman

By Utomo Priyambodo, Jumat, 19 Maret 2021 | 11:00 WIB
Laksamana Malahayati, pahlawan nasional dari Aceh. (Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Sebelum namanya ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pada 2017, Malahayati telah menjadi sosok legenda dalam masyarakat Aceh. Tak hanya di Aceh, perempuan pejuang itu juga dikenal oleh para sejarawan internasional sebagai laksamana laut perempuan pertama di dunia. Bahkan musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals, pernah mengabadikan nama dan kisah hidup Laksamana Malahayati ke dalam sebuah lagunya yang ia rilis pada tahun 2010. 

Berjudul Malahayati, lagu yang memang Iwan tujukan untuk mengenang keperkasaan Laksamana Malahayati itu memiliki bagian lirik antara lain sebagai berikut.

Dia Perempuan KeumalaAlam semesta restuiLahir jaya berjiwa bajaLaksamana MalahayatiPerempuan ksatria negeri

Cut Rizka Al Usrah dari Universitas Negeri Medan pernah menulis studi sejarah mengenai sosok Laksamana Malahayati. Ia menulis bahwa Laksamana Keumalahayati yang menggeluti aktivitas militer dan politik memiliki peranan dan perjuangan yang sangat besar terhadap Kerajaan Aceh Darussalam dan ikut serta mengantarkan kerajaan tersebut menuju puncak kegemilangan dan keemasannya.

Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun

Kapal dalam Armada Cornelis de Houtman, lulisan abad ke-17. Penjelajahan Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Nusantara. Armada ini tiba pada 27 Juni 1596 di perairan Banten, lalu kembali lagi pada 14 Agustus 1597. ('Bali Chronicle' Willard Hanna)

"Berdasarkan hasil studi pustaka, diketahui bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan laksamana perempuan pertama di dunia modern yang juga menjabat sebagai Pemimpin 2.000 sampai dengan 3.000 lebih Armada Inong Bale (wanita Janda), Diplomat, Komandan Protokol Istana Darut Dunia, Kepala Badan Rahasia Kerajaan serta mendapatkan julukan sebagai Guardian of The Acheh Kingdom. Fakta sejarah menunjukkan bahwa negara-negara besar baik di Eropa maupun Amerika Serikat tidak memilikinya," tulis Rizka dalam laporan studinya.

Rizka menyimpulkan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan seorang perempuan agung sangat dihormati dan disegani baik kawan maupun lawan. Sebagai perempuan Aceh, Malahayati memiliki peran yang luar biasa besar di bidang politik dan militer. Peranan ini, tulis Rizaka, "dapat membantah, melemahkah, atau setidaknya mempertanyakan kembali bahwa aktivitas politik dan militer hanya dapat dimasuki oleh kaum pria."

Kegiatan politik dan militer yang dilakukan oleh Malahayati tidak lepas dari peran kakek dan ayahnya. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Malahayati adalah keturunan dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin yang memerintah Kasultanan Aceh Darussalam sekitar 1530-1539 Masehi.

Ayah dan kakek Keumalahayati, nama lengkap Malahayati, merupakan laksamana angkatan laut pada waktu itu. Jiwa dan semangat yang dimiliki ayah dan kakeknya kemudian turun pada kepribadiannya. 

Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa

Meskipun seorang perempuan, Malahayati sejak kecil ingin menjadi seorang pelaut atau laksamana yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Ketika menginjak dewasa, ia diberi kebebasan untuk sekolah. Ia pun memililih masuk akademi angkatan bersenjata milik kasultanan bernama Mahad Baitul Maqdis. Akademi tersebut terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut.

Di akademi itu kemampuan militer Malahayati terasah. Di sana ia belajar banyak dari para pengajarnya yang merupakan para perwira dari Turki. Pada waktu itu Kasultanan Aceh Darussalam mendapatkan bantuan dari Kasultanan Turki Ustmani.

Di akademi itu pulalah, seperti dikutip dari Kompas.com, ia bertemu dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Mereka kemudian menikah.

Perjuangan Malahayati bermula dari peristiwa perang di perairan Selat Malaka. Pasukan kasultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil yang dibantu dua orang laksamana, salah satunya Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Pertempuran yang berlangsung sengit tersebut dimenangkan oleh pasukan Kasultanan Aceh. Namun, suami Malahayati itu tewas dalam pertempuran tersebut.  

Baca Juga: Kisah Suster Ann Nu Thawng, Berlutut agar Demonstran Tak Ditembaki

 

 

Tahu suaminya tewas, Malahayati pun berjanji akan menuntut balas dan meneruskan perjuangan suaminya. Malahayati kemudian meminta Sultan Al Makammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya merupakan wanita janda yang suaminya tewas dalam peperangan.

Dikutip dari situs Kabupaten Aceh Besar, setelah permintaan itu disetujui, Malahayati pun memimpin pasukan yang diberi nama Inong Balee. Inong berati wanita, sedangkan Balee artinya janda. Jadi Inong Balee artinya adalah wanita janda.

Malahayati melatih para janda tersebut untuk menjadi pasukan Kasultanan Aceh yang tangguh. Bersama pasukannya, ia sering terlibat dalam pertempuran, baik melawan Belanda atau Portugis. Tidak hanya di Selat Malaka, tapi juga di daerah pantai timur Sumatra dan Malaya. 

Inong Balee juga membangun benteng dengan tinggai 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng itu menghadap ke laut lebar tiga meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk. Selain memiliki benteng, pasukan wanita janda itu juga memiliki pangkalan militer yang terletak di Teluk Lamreh Krueng Raya.

Baca Juga: Catatan-catatan Awal Para Pejalan Perempuan Indonesia. Siapa Mereka?

Dalam buku Perempuan Keumala (2007) karya Endang Moedopo, Malahayati disebut sangat gigih dalam berjuang karena menganggap bangsa penjajah yang datang telah merugikan kerajaan. Saat pertempuran pada 1599, pasukan Inong Balee yang dipimping Malahayati secara mengejutkan mampu mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.

Salah satu aksi heroik yang dilakukan Laksamana Malahayati adalah saat ia berhadapan dengan Cornelis de Houtman di atas geladak kapal pada 11 September 1599 dan berhasil membunuhnya. Cornelis de Houtman merupakan penjajah Belanda pertama yang menjejakkan kaki di Nusantara. Menurut catatan sejarah, Cornelis de Houtman tewas setelah kena tikam rencong Laksamana Malahayati.

Perjuangan Laksamana Malahayati yang gigih melawan penjajah bersama Inong Balee harus terhenti pada tahun 1606. Saat pertempuran Inong Balee melawan Portugis di periaran Selat Malaka, Laksamana Malahayati tewas.

Jasad Laksamana Malahayati kemudian dimakamkan di Desa Lamreh, Kecamatan Majid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 35 kilometer dari ibu kota Provinsi Nanggrou Aceh Darussalam atau pusat Kota Banda Aceh. Makam laksamana Malahayati berada di puncak bukit kecil sebelah utara Desa Lamreh.

Laksamana Malahayati baru resmi dinyatakan sebagai pahlawan nasional pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2017 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon