Lebih lanjut, studi tersebut menyatakan aksi para pelaku bom bunuh diri itu sebenarnya telah melalui proses "analisis biaya-manfaat sederhana" (“simple cost-benefit analysis”). Para pelaku merasa manfaat atau keuntungan dari aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan akan lebih besar daripada biaya atau harga yang harus mereka bayar. Para teroris itu merasa manfaat yang akan mereka dapatkan dalam hal keanggotaan kelompok, pencapaian tujuan kolektif, janji surgawi di akhirat, dan sebagainya sangatlah besar. Jauh lebih besar sehingga lebih besar daripada harga apapun yang timbul dari aksi bunuh diri mereka.
“Dilihat dari sudut pandang ini, bom bunuh diri dapat dijelaskan dalam kerangka tindakan yang dimotivasi secara rasional, dan bukan dalam istilah motif teologis dan/atau irasional,” kata Stevens seperti dilansir Scince Daily. “Untuk mendapatkan manfaat kolektif dari partisipasi dalam kelompok yang ketat membutuhkan pengorbanan diri, seringkali dalam tingkat yang ekstrem."
“Pemboman bunuh diri hanyalah perpanjangan dari pengorbanan diri (dalam kelompok) ini—perpanjangan yang terakhir. Manfaatnya dianggap sangat besar sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut. Untungnya ini hanya terjadi dalam kasus-kasus ekstrem, dalam keadaan-keadaan tertentu."
Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia