Djuwariyah, Kisah Kurir Penyelundup Senjata yang Nyaris Terbongkar

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 2 April 2021 | 20:55 WIB
Adegan reka ulang sejarah dalam Peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949. Serdadu Belanda menggeledah isi tenggok yang dibawa seorang perempuan. Kurir rahasia kerap menyembunyikan surat dan senjata di tenggok mereka. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—“Foto ini ketika saya berusia 15 tahun, saat itu saya bergabung dengan pasukannya Komarudin,” sembari menunjuk foto sederet pemuda pejuang. “Itu Pak Komarudin yang pakai baret. Itu saya yang rambutnya berkelabang.”

Foto itu dibuat setelah mereka selesai melayat seorang pejuang yang gugur dalam serangan di Plered, selatan Yogyakarta. Pada 1949, serdadu KNIL menempatkan pos di Plered. Letaknya, berada di bekas Keraton Plered.

Dalam foto itu Djuwariyah bersama dengan pejuang TNI dan sebagian Pasukan Hantu Maut. Pasukan yang menyandang nama seram itu beranggotakan para pemuda gerilyawan yang bermarkas di Dalem Pujokusuman, timur tembok keraton Yogyakarta.

“Satu yang sangat berkesan buat saya,” kata Djuwariyah membuka kenangannya, “waktu itu saya pernah menjadi kurir.” Dia berbicara di depan para pemerhati dan pereka ulang sejarah dalam forum 71 Tahun Semarak Serangan Umum 1 Maret 1949, yang digagas oleh komunitas sejarah Djogjakarta 1945.

Kurir rahasia bertugas membawa surat atau senjata. Selain itu mereka juga memasok kebutuhan pokok yang mendukung para pejuang di garis depan—seperti gula, teh, uang, dan pakaian. Selama masa revolusi di Yogyakarta, banyak perempuan yang terlibat dalam dapur umum, petugas medis Palang Merah Indonesia, atau kurir. Pekerjaan sebagai kurir tampaknya istimewa karena tidak semua orang bersedia mengembannya. Alasannya, tugas ini sejatinya berat dan berisiko.

Baca Juga: Mata-mata Cilik di Balik Gemilang Serangan Umum 1 Maret 1949

Para perempuan Palang Merah yang siap menolong korban pertempuran sekitar 1946. (Album Perang Kemerdekaan 1945-1950, Badan Penerbit Almanak R.I.)

Sejak Belanda menduduki Yogyakarta pada Desember 1948, setiap pukul enam sore sirine digaungkan ke penjuru kota. Saat sirine berbunyi, serdadu KNIL biasanya berpatroli di jalanan kota.

Bersamaan dengan senja yang melingsir, dua gadis masih berjalan di sekitar Alun-alun Selatan, Yogyakarta. Mereka adalah Djuwariyah dan seorang kawan perempuannya dari kesatuan Tentara Pelajar.

Keduanya boleh jadi pejalan yang kemalaman. Namun, mereka bukan sekadar keluyuran. Djuwariyah hendak kembali ke markasnya di Desa Jejeran, dekat dengan Plered. Mereka adalah kurir penyelundupan senjata, yang mendukung para gerilyawan di luar kota. Untuk  dapat  memperoleh  informasi  tentang  keadaan  lawan, saat itu  banyak mata-mata Republik untuk  mengumpulkan keterangan. Mereka biasanya perempuan, Tentara Pelajar,  dan  rakyat sipil.

Awalnya Djuwariyah menolak menerima titipan senjata berupa pistol dan pelurunya. “Lha saya itu tidak mau,” kenangnya. “Saya takut, tetapi dipaksa-paksa.”

Namun, kawannya memaksa dirinya untuk membawa senjata itu untuk disampaikan ke markas.

“Kamu ngga kasihan kepada saya, Dju? Kalau nanti di sini saya kena pembersihan Belanda,” ucap Djuwariyah menirukan permohonan kawannya dengan memelas.

“Saya terpaksa menerimanya,” ujarnya. “Kemudian saya taruh di bagian paling bawah. Di atasnya saya kasih bermacam-macam barang—tas, makanan.

Ketika mereka tiba di Alun-alun Selatan itulah sirine kota meraung, tanda jam malam bermula.

“Tahu-tahunya, itu mak mbendunduk…” kata Djuwariyah, “sudah ada Belanda pakai jip di belakang saya.”

Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya

Djuwariyah, veteran SWK 101. Ketika berusia 15 tahun turut membantu perjuangan gerilyawan dengan menyelundupkan senjata. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tanpa disangka-sangka, satu jip patroli dengan serdadu-serdadu Belanda sudah berada di belakang mereka. Djuwariyah melihat satu per satu personel di dalam jip itu. Di kemudi depan, terdapat dua orang Koninklijke Landmacht—serdadu bule Belanda. Sementara, salah seorang yang duduk di belakang adalah seorang Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) Jawa.

“Setelah saya mengetahui kedatangan mereka, kayaknya nyawa saya sudah melayang,” kenangnya. “Wahduh, mau gomong apa saya nanti kalau ditanya bawa apa?”

Namun, tampaknya Tuhan masih bersama Djuwariyah. Salah satu KNIL adalah lelaki asal Yogyakarta, sehingga bisa berkomunikasi dengan Djuwariyah.

Nduk, kowe saka ngendi?” demikian serdadu KNIL menanyakan tujuan perempuan itu.      

“Saya disuruh orang tua saya,” jawab Djuwariyah dengan gemetar.

Kowe nggawa apa kuwi?” demikian si serdadu KNIL menanyakan apa yang dibawa Djuwariyah.

“Ini belanjaan, Tuan,” jawab Djuwariyah mengawali dramanya.

Ngerti ora kalau sudah ada sirine?”

“Aduh… Maaf Tuan, saya tidak dengar.”

"Kowe arep nang ngendi?

“Mau pulang, Tuan.”

 “Rumah kamu di mana?”

 “Suryadiningratan.”—kebetulan tidak jauh dari Alun-alun Selatan.

Untuk beberapa saat, KNIL tadi bercakap-cakap berbahasa Belanda dengan serdadu KL.

“Naik-naik!” ujar serdadu KNIL kepada kedua perempuan itu. Ternyata serdadu-serdadu justru meminta kedua perempuan tadi untuk ikut bersama di kabin jip.

Perasaan Djuwariyah semakin tidak menentu. Satunjip bersama serdadu musuh, membuat dia yakin bahwa hidupnya segera berakhir. “Tidak ada harapan hidup,” kenangnya. “Sedikit pun tidak ada harapan hidup.”

Namun, Djuwariyah heran. Jip itu membawanya ke arah selatan, yang berarti menuju rumahnya di Suryodiningratan.

Tak terke ning omahmu,” kata serdadu KNIL tadi bahwa mereka akan mengantar sampai ke rumah kedua perempuan itu.

Ketika jip mendekati rumah Djuwariyah, dia meminta untuk turun sembari menunjuk dengan asal salah satu rumah. Tentu, dia tidak akan memberitahu kepada serdadu-serdadu tadi rumahnya yang sejati. Keduanya turun, lalu jip itu pun melaju kembali ke arah berlawanan untuk melanjutkan berpatroli.

Baca Juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta

Serdadu Belanda dalam Aksi Polisional II, Desember 1948. (Gahetna/Het Nationaal Archief)

“Setelah saya diturunkan, malah saya tidak bisa berdiri,” ujar Djuwariyah dengan mimik jenaka. “Langsung ndeprok di jalan.”

Dia bersimpuh. Pengalamannya bersama serdadu patroli tadi membuatnya ketakutan sampai terkencing-kencing. “Ini sudah basah semua. Saking takutnya saya, sudah tidak bisa berdiri—basah dan [bau] pesing sekali.”

Kawannya segera mengajaknya untuk segera berlari. Namun, dia kesulitan untuk berdiri, alih-alih berlari.

“Berlari bagaimana? Aku tidak bisa berdiri. Kamu jalan duluan ke markas, saya tidak kuat jadi di sini saja,” kata Djuwariyah kepada kawannya.

“Wah tidak bisa begitu, kita hidup dan mati harus bersama,” kawannya menimpali.

Setelah sirene berakhir, suasana jalanan memang senyap. Tidak ada orang satu pun orang yang melintas lewat di jalanan selain patroli Belanda. Kemudian, Djuwariyah pelan-pelan bangkit dan berjalan.

Mereka berjalan blusukan dalam gelap, hanya diterangi cahaya kilat yang datang bersama gemuruh guntur. Demi menghindari jalan raya, mereka rela memintas lewat permakaman di Krapyak, yang luasnya hampir satu hektar. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari tempat mereka diturunkan dari jip tadi. “Mau maju, nendang nisan, mau mundur juga nisan,” kenangnya. “Ngubek-ngubek selama satu jam di kuburan itu mencari jalan keluar.”

Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya

Tentara Nasional Indonesia—Brigade Garuda Mataram, Militer Akademi, Brigade 16 (Kris), TP dan TGP, di bawah pimpinan Letkol. Soeharto sebagai Komandan Wehrkreise III. Mereka bergerilya melawan pasukan Belanda di Kota Yogyakarta dan sekitarnya sejak Desembar 1948 hingga Juni 1949. (IPPHOS)

Dia mengisahkan situasi pinggiran Yogyakarta, beberapa minggu sebelum Serangan Umum1 Maret. Karena jalan-jalan sengaja dirusak dan jembatan dibom, semakin panjang waktu yang ditempuh untuk perjalanan menuju ke markas. Mereka berjalan dalam gelap sembari dibayangi rasa takut tertangkap Belanda. Penderitaan ini harus dilalui bersama bawaan berat sejauh 15 kilometer.

“Jalan-jalan dibuat rintangan. Pohon-pohon ditebang untuk menghalang-halangai jalan,” kenangnya. Saat menjumpai pohon besar yang melintang, mereka harus melewatinya. Saat menjumpai jembatan yang miring karena sudah dibom, mereka menuruni lembah dan merayapi bukit di seberangnya. “Sampai di markas itu paling tidak jam sepuluh.”

Seringkali Djuwariyah mengenang kembali peristiwa yang harus dilaluinya meski harus bertaruh nyawa pada masa silam. Dia sungguh berlega hati karena masih menyaksikan dinamika zaman. "Seringkali saya di rumah itu sering mengenang, waktu dulu seperti itu," ungkapnya. "Sekarang masih bisa mengenang terjaning jaman."

“Saya bersyukur masih bisa bertemu dengan anak cucu saya ini. Saya masih bisa bercerita. Saya mohon doanya juga, mudah-mudahan saya masih diberikan umur panjang lagi dan saya masih bisa memberikan cerita-cerita hidup saya...”