Saya menyaksikan kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol. Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam.
Konon, kapal kecilnya ditambatkan pada sebuah pancang kayu yang sekarang dipermanenkan dengan beton berbentuk kotak yang terletak di samping pagoda kecil tempat pembakar uang kertas.
Sampo Soei Soe pun bertemu seorang wanita bernama Siti Wati, putri seorang pendakwah Islam, yang saat ini namanya dikenal sebagai Embah Areli Dato Kembang dan istrinya yang bernama Ibu Enneng.
Rupanya, Sampo Soei Soe diterima dengan terbuka oleh keluarga Siti Wati. Mereka pun menikah dan bertukar adat istiadat kebiasaan, tak terasa akulturasi budaya terjadi. Suatu ketika datanglah orang-orang Tiongkok bermaksud menemukan Sampo Soei Soe. Namun, mereka mendapati kenyataan bahwa orang yang mereka cari telah tiada. Kemudian, mereka mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk mengenang Sampo Soei Soe. Tempat itu berkembang menjadi klenteng.
Menurut Salmon–Lombard dalam bukunya Klenteng-Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Klenteng Ancol dibangun pada era yang sama dengan Klenteng Jin De Yuan atau yang dikenal dengan nama Klenteng Petak Sembilan, yaitu pada 1650.
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
Klenteng ini mulai banyak dikunjungi umat sejak abad ke-17. Tak hanya umat Konghucu, Buddha, atau Tao, tetapi umat Islam pun datang untuk melakukan ziarah untuk mendoakan keempat orang muslim yang makamnya diyakini berada di dalam area klenteng tersebut.
Khusus untuk altar pemujaan Ibu Siti Wati dan Sampo Soei Soe, serta makam Embah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, umat tidak diperkenankan untuk membawa sajian yang berbahan dasar daging babi. Kemudian Aceng, salah seorang petugas klenteng, berkata kepada saya, “Umat Buddha dan Konghucu di sini sangat menghormati empat orang Muslim ini.”
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon