Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 5 April 2021 | 08:00 WIB
Lukisan dua lelaki Bugis sekitar 1800-an. (KITLV 36A154)

Tak hanya di kalangan masyarakat, homoseksual juga dilakukan oleh pejabat publik seperti Residen Batavia H Fievez de Malines van Ginkel. Selain itu juga terdapat beberapa tokoh lainnya, seperti Walter Spies, Roelof Goris, dan Herman Noosten.

Homoseksual di masyarakat kerap berhubungan dengan praktik pedofilia. Pemerintah kolonial pada 1925 membentuk reserse zedenpolitie di bawah kepolisian.

Selain mengangkut kasus pedofilia, reserse ini juga bekerja sama dengan biro pemberantasan perdagangan manusia—utamanya yang menyasar perempuan dan anak-anak.

Kantor komisariat kepolisian di Surabaya sekitar tahun 1930-an. (KITLV 10898)

Pengusutan kasus pedofilia kemudian mengarah ke pemberantasan homoseksual, terutama di kalangan pejabat publik dan kepolisian. Bermula pada Desember 1936, pengurus Chistelijke Staatspartij (CSP) atau partai kristen yang berada di Volksraad memohon agar gubernur jenderal lebih tegas pada homoseksual yang mencoreng ke-Kristen-an.

Ketegasan yang dilakukan CSP juga memiliki unsur kebanggaan identitas masyarakat Eropa yang bermoral. Inisiatif CSP ini juga demi menantispasi gerakan pembersihan moral yang justru nantinya akan dilakukan oleh pribumi.

Sebenarnya, Evelin Giovani dari Fakultas Kajian Ilmu Budaya Universita Airlangga dalam Jurnal Kata (Vol. 3 No. 1 Tahun 2019), mengungkapkan bahwa regulasi pengetetatan homoseksual sudah ditetapkan sejak 1911 dalam pasal 248bis dalam konstitusi Belanda.

Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial

Menurut sejarawan Belanda, Pieters Koenders dalam bukunya berjudul Tussen Christelijk Réveil en Seksuele Revolutie (1996), pengubahan konsitusi itu disebabkan dominasi partai kristen di parlemen Belanda.

Regulasi ini menaikan usia persetujuan homoseksual menjadi 21 dan heteroseksual tetap 16 tahun. Pengaruh itu pun sampai di kalangan Kristen di tanah koloni.

Rasa moral, dan berpendidikan tinggi kalangan pejabat kolonial inilah yang membuat polisi susila bertindak. Antropolog Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana, mengungkapkan bahwa modernisasi juga telah mengikis tradisi LGBT seperti Bissu dari masyarakat Bugis-Makassar, demikian seperti yang dilansir The Conversation.

"Tradisi keberagamaan gender di Indonesia yang kaya dan unik telah berkurang karena kolonialisme," tulis Irwan. "Kolonialisme mendefinisikan ulang konsep gender dan seksualitas menurut agama dan nilai-nilai modern."