Legenda Bajak-bajak Laut Sriwijaya yang Meraja di Selat Malaka

By National Geographic Indonesia, Selasa, 6 April 2021 | 17:59 WIB
Gambar litografi kapal dagang yang melewati perairan China dan Asia Tenggara. Dua bendera di kapal menunjukkan hubungan antara Kesultanan Islam di Nusantara dengan Tiongkok. (Jan Huyghen van Linschoten)

 

Oleh Reynold Sumayku

 

Nationalgeographic.co.id—Lima orang bersenjata memanjat suatu kapal tanker yang mengambang di atas gelombang. Kelima orang itu mengikat semua awak kapal, kemudian memaksa agar muatan kapal dipindahkan ke tangki yang telah mereka siapkan. Peristiwa perompakan itu terjadi di Selat Malaka beberapa tahun silam, menurut laporan International Maritime Bureau.

Saat ini, setiap hari diperkirakan sekitar 200 kapal berlayar melewati Selat Malaka. Sementara itu, bajak laut menjadi kisah yang terus membayangi jalur pelayaran paling sibuk di dunia itu. Sejatinya, fenomena ini telah berlangsung sejak masa Kerajaan Sriwijaya.

Antara abad ketujuh hingga ke-11 atau hampir empat abad lamanya, Sriwijaya “mengendalikan” Selat Malaka. Mereka menjadi perantara dalam lalu lintas komoditas dari barat dan timur.

Baca Juga: Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan

Gambaran kapal pada relief Borobudur, candi megah di Jawa Tengah. (Michael J. Lowe/Wikimedia Commons)

Disebut-sebut, salah satu kunci sukses Sriwijaya adalah dengan menggandeng para orang-orang laut dan kelompok-kelompok bajak laut. Oleh Sriwijaya, mereka dijadikan semacam garda depan dalam memantau pelayaran. Beberapa manuskrip kuno yang menyiratkan hal ini.

Seorang komisaris perdagangan Cina bernama Chau Ju-kua menulis Chufanchi (Zhu Fan Zhi—catatan tentang bangsa-bangsa asing/barbar) pada 1225. Terdapat sekelumit indikasi dalam karya Chau yang diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan WW Rockhill pada 1911.