Sepotong Jejak Budaya dan Sejarah Tarakan, Kota Minyak Hindia Belanda

By National Geographic Indonesia, Rabu, 7 April 2021 | 09:00 WIB
Meriam peninggalan Perang Dunia II yang dapat kita saksikan di Pulau Tarakan, Kalimantan Utara. (Agus Prijono)

Oleh Agus Prijono

 

Nationalgeographic.co.idPrak! Suara perisai yang dihempaskan ke lantai kayu itu mengentak pengunjung. Sore itu, seorang penari Dayak sengaja membanting tameng kayu hingga terbelah dua. Interaksi sang penari dengan penonton menyemarakkan Kawasan Wisata Adat Baloy Tidung.

Diiringi musik tradisional dari pelantam, sang penari berlenggak-lenggok bertumpu pada pergelangan kaki. Kendati nampak sederhana, putaran pergelangan kaki membutuhkan keseimbangan tubuh.

Berteduh di bawah bayang-bayang rumah tingkat dua lubung kilong, yang menjulang di tengah kolam, pengunjung menikmati sajian budaya Tarakan. Lubung kilong adalah tempat untuk menyajikan kesenian Tidung. Dari sinilah, sang penari menuruni tangga, lantas menari. Lekingan telah menggema dari lubung kilong sebelum beranjak turun, dan menari. Sajian budaya ini digelar saban sore pada hari Minggu.

Saya memasuki kawasan budaya ini menjelang sore, sengaja untuk menikmati sajian tari-tarian khas Kalimantan. Langit biru cerah, awan seputih kapas mengambang di angkasa. Para pemuda-pemudi bercengkerama, menyusuri jalan kayu. Sebuah kolam besar, dengan bahtera di tengah-tengah, mengundang anak-anak bermain.

Baca Juga: Nyaris Terlupakan, Balikpapan Menandai Pertempuran Akbar Penutup PD II

Benteng pertahanan peninggalan zaman penjajahan Belanda yang kini menjadi tempat favorit muda-mudi untuk bersua foto dengan latar belakang lautan lepas. Tarakan, Kalimantan Utara. Lebih dari tujuh puluh lima tahun tahun silam benteng pernah terjadi perlawanan sengit dengan serdadu Jepang. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Dari gerbang masuk, saya menatap rumah panggung nan megah. Berbagai ornamen menghiasi atas rumah utama: naga dan rangkong dipahat halus, menghiasi arsitektur adat ini. Sebagian besar rumah adat terbuat dari kayu ulin, berwarna cokelat tua, beratap merah kecokelatan. Rumah baloy menghadap utara, sedangkan pintu utamanya menatap arah selatan.