Cerita dan foto oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—Rombongan tetua adat dari tiga suku—Amatun, Amanuban, dan Mollo—berjalan beriringan melewati rute yang membelah hutan pohon Ampupu. Pada sebuah batu mereka berkumpul. Salah seorang tetua adat memimpin ritual, meletakkan perhiasan dan selembar kertas bertuliskan sumpah adat di atas batu itu. Lalu, dimulailah ritual adat: Tetua adat berdiri, lalu berdoa memohon agar sumpah adat dikabulkan. Itulah acara terpenting dari Festival Ningkam Haumeni di Perbukitan Mollo, Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada beberapa waktu lalu.
Esok harinya, giliran masyarakat adat menghadiri festival dan mengucapkan sumpah itu. Mereka—berjumlah ratusan—berikrar melestarikan alam. Mereka tak akan berburu di hutan, tak akan merusak lingkungan, tak akan menebang pohon.
Trauma kerusakan lingkungan akibat ketamakan perusahaan tambang masih membekas di benak mereka. Saat batu-batu karst itu ditambang, kekeringan dan tanah longsor pun melanda. Mereka tidak ingin hal itu terjadi lagi. Sumpah tersebut juga menggerakkan mereka untuk kembali menanam pohon cendana yang mulai punah dan menjaga madu di hutan-hutan.
Baca Juga: Koin Kuno Spanyol dan Kisah Rempah Wangi Cendana di Pulau Timor