Sumpah di Perbukitan Mollo, Kemenangan Kaum Ibu Melawan Pertambangan

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 10 April 2021 | 07:00 WIB
Memainkan musik tradisional, kegiatan lain para ibu di samping menenun dan perkara dapur. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Cerita dan foto oleh Feri Latief

 

 

Nationalgeographic.co.id—Rombongan tetua adat dari tiga suku—Amatun, Amanuban, dan Mollo—berjalan beriringan  melewati rute yang membelah hutan pohon Ampupu. Pada sebuah batu mereka berkumpul. Salah seorang tetua adat memimpin ritual, meletakkan perhiasan dan selembar kertas bertuliskan sumpah adat di atas batu itu. Lalu, dimulailah ritual adat: Tetua adat berdiri, lalu berdoa memohon agar sumpah adat dikabulkan. Itulah acara terpenting dari Festival Ningkam Haumeni di Perbukitan Mollo, Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada beberapa waktu lalu.

Esok harinya, giliran masyarakat adat menghadiri festival dan mengucapkan sumpah itu. Mereka—berjumlah ratusan—berikrar melestarikan alam. Mereka tak akan berburu di hutan, tak akan merusak lingkungan, tak akan menebang pohon.

Trauma kerusakan lingkungan akibat ketamakan perusahaan tambang masih membekas di benak mereka. Saat batu-batu karst itu ditambang, kekeringan dan tanah longsor pun melanda. Mereka tidak ingin hal itu terjadi lagi. Sumpah tersebut juga menggerakkan mereka untuk kembali menanam pohon cendana yang mulai punah dan menjaga madu di hutan-hutan.

Seorang ibu dari Suku Mollo mengajarkan beberapa gerakan tarian kepada anaknya. Sekali-kali ia menegur apabila ada gerakan yang salah. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Koin Kuno Spanyol dan Kisah Rempah Wangi Cendana di Pulau Timor

Kesibukan sehari-hari di salah satu dapur warga di kawasan perbukitan Mollo, Timor Tengah Selatan. tampak tungku dengan menggunakan kayu bakar. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Secara harfiah, Ningkam Haumeni berarti lilin madu dan kayu cendana. Festival ini digelar di Bukit Naususu—artinya, ibu yang menyusui anak. Masyarakat setempat menyebut dengan nama demikian karena di kaki bukit batu ini terdapat mata air jernih.

Dahulu, bukit batu ini ditambang oleh para pendatang. Masyarakat setempat yang terdiri dari tiga suku kemudian bergerak untuk menghentikannya. Dipimpin oleh Mama Aleta Baun, kaum ibu yang berjumlah ratusan mendatangi tambang itu dan mulai menenun di sana. Akhirnya, pertambangan itu berhenti beroperasi.

Selama festival adat Ningkam Humaeni, para peserta mengenakan baju tradisional sebagai upaya kedaulatan adat. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Rempah Timor: Dari Kronik Cina Sampai Kedatangan Penjelajahan Eropa

Para tetua adat dari tiga suku berkumpul di sebuah bukit untuk mengawali sumpah adat dan berdoa untuk melestarikan alam. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Untuk mengenang peristiwa kemenangan kaum ibu itu dibuatlah acara tahunan Festival Ningkam Haumeni. Tahun ini adalah pergelaran yang ketiga kalinya. Agenda festival diisi sajian musik dan tari tradisional. Sambil bergembira, mereka bertukar ilmu dan berbagi pengalaman mulai dari menenun kain, berbagi  bibit tanaman pangan, sampai bergotong-royong membangun rumah adat.

Di Bukit Naususu masyarakat setempat dari tiga suku berkumpul dan berikrar. Hawa dingin di Pegunungan Mutis seolah turut mengembuskan sumpah adat ke desa-desa sekitarnya. Di Naususu pula, masyarakat adat tiga suku memberdayakan diri, menjaga alam, dan mewariskan budaya lestari. Teladan bagi generasi-generasi selanjutnya.

Gotong royong selalu berusaha diterapkan dalam kehidupan sehari-hari suku Amatun, Amanuban, dan Mollo di Timor Tengah Selatan. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Upaya Atasi Kekurangan Gizi dengan Memanfaatkan Panganan Lokal

Stevanus (50 tahun) peserta dari Suku Mollo, menancapkan tiga batang kayu di atas sisa-sisa batu pertambangan. Tiga batang kayu itu menyimbolkan tiga suku masyarakat adat yang menginginkan kembali pengaturan hukum adat atas sumber daya alam mereka. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)