Cerita Sisi Lain Surabaya: Desa, Kota, dan Sepincuk Semanggi

By National Geographic Indonesia, Selasa, 13 April 2021 | 17:00 WIB
Gedung Siola di kawasan Tunjungan yang legendaris. Surabaya menjelma sebagai metropolitan di timur Jawa, yang perlu solusi pengurangan sampah plastik setiap harinya. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Cerita oleh Ayos Purwoaji

 

Nationalgeographic.co.id—Sekilas, makanan ini tak ubahnya seperti sayuran yang disiram bumbu pecel. Tampilan dan porsinya sangat sederhana. Bahkan dapat dikatakan lebih pantas dianggap kudapan daripada makanan. Seperti brambang asem yang biasa ditemui di Pasar Gede, Solo. Namun, justru karena sifatnya yang ringan dan tidak mengenyangkan, semanggi dapat dinikmati kapan saja. Bagi sebagian orang Surabaya yang pergi merantau, semanggi menjadi semacam klangenan pengobat rindu. Karena rasa khasnya tidak bisa ditemukan di daerah lain selain di Surabaya.

Cita rasa itu muncul dari bahan baku utamanya yaitu semanggi (Marsilea crenata) yang termasuk dalam kelompok tumbuhan paku air. Saat disajikan, pecel semanggi dilengkapi dengan kecambah dan kembang turi, lantas disiram saus pedas manis berbahan dasar ketela. Bila ingin paket yang lebih lengkap, pembeli juga dapat meminta penjual semanggi untuk menambahkan rebusan daun ketela dan tempe.  

“Sebetulnya dulu, selain tempe juga bisa dimakan dengan dideh, tetapi karena banyak pelanggan adalah pemeluk Islam yang taat, akhirnya saya disarankan untuk tidak menjualnya lagi…” kata seorang ibu penjaja semanggi. Jamak diketahui, dideh atau marus adalah olahan beku darah hewan yang cukup populer sebagai pelengkap penganan di Jawa pada zaman susah.

 

Semanggi, bagi warga Surabaya, bukan sekadar sajian, tetapi juga ingatan tentang sebuah kota. Ada cerita apa di balik sepincuk semanggi hari ini? (Hafidz Novalsyah)