Cerita dan foto oleh Zulkifli
Nationalgeographic.co.id—Sawah-sawah menghampar lepas. Punuk-punuk bukit disilau matahari. Ladang-ladang petani tumbuh di lereng-lereng bukit. Sungai mengalir ke hilir. Nyiur kelapa mengibas seturut angin. Harmoni alam ini bak lukisan Wakidi, pesohor mooi indie.
“Kenapa tempat seindah ini bisa melahirkan pemberontak?” Roger Tol, seorang peneliti Belanda, pernah berkata demikian.
Pemberontak yang dimaksud adalah seseorang yang lahir di kampung di tengah Bukit Barisan. Pria dusun yang kemudian hari menjadi orang yang paling dicari oleh Interpol, polisi rahasia Eropa. Namun, mati di tangan prajurit-prajurit republiknya sendiri.
Baca Juga: Di Rumah Achmad Soebardjo, Akhirnya Tan Malaka dan Soekarno Berjumpa
Saya sampai di Kota Payakumbuh ketika langit hitam sempurna. Kota ini adalah kota perlintasan yang menghubungkan Riau dengan Sumatra Barat, juga kota dengan aroma makanan di mana-mana. Kulinernya berserak dari kaki lima hingga kedai kota, Kinyam Café salah satunya. Kedai ini memajang barang-barang lama. Dari piringan hitam, senapan laras panjang, mesin jahit, sampai sepeda motor tua. Saya memilih duduk di beranda, memesan kopi hitam tanpa gula.
Cukup lama saya mematut-matut gambar siluet wajah yang digantung di sudut kafe. Pada bagian bawah gambar tercetak satu kalimat yang menggetarkan. “Merdeka Jangan Setengah-Setengah,” begitu bunyinya.