Selarik Tembang Kenangan Orang-orang Buangan di Boven Digoel

By Lutfi Fauziah, Jumat, 16 April 2021 | 19:23 WIB
Sel penjara Boven Digoel ini diperuntukkan bagi para pemimpin pergerakan yang menjadi tahanan politik. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Sekitar 300 meter dari barak kolonial, terdapat sebuah sumur sebagai sumber air bersih. Akses untuk menuju ke sumur itu berupa jalan yang dulunya dibangun secara paksa oleh para tahanan.

“Inilah tanah hutan belukar yang sunyi, yang terasing dari dunia dan pergaulan luar,” ujar Oen Bo Tik, salah satu tahanan politik di zaman Hindia Belanda yang pernah mencecap kegetiran hidup dalam pengasingan di pelosok timur Indonesia. Sunyi, tak terdengar suara apa pun kecuali angin yang mendesau dan pekik kakatua yang bersahut-sahutan dari dalam rimba. Cuma sebagian saja tanah yang sudah terbuka, di sana-sini, hanya ada hutan dan hutan belaka.

Hanya berjarak sepelempar batu dari bangunan cagar budaya penjara Boven Digoel, patung Mohammad Hatta menjulang kokoh. Patung ini dibangun sebagai pengingat bahwa tokoh pejuang kemerdekaan ini pernah menjalani masa-masa pengasingan nan getir di tempat ini. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Oen Bo Tik menggambarkan suasana Boven Digoel saat pertama kali Ia menginjakkan kakinya di tanah buangan itu pada 1927 dalam karyanya yang berjudul Darah dan Air Mata di Boven Digoel. Pada masa itu, nama Digoel telah menjadi momok yang menggentarkan siapa pun yang mendengarnya.

Tak bisa disangkal, Belanda telah memilih tempat yang amat tepat sebagai tempat pembuangan. Sekali di-Digoelkan, orang ibarat menandatangai kontrak kematian. Dataran terpencil di pelosok Papua itu dikelilingi oleh rimba belantara dan terisolasi sempurna dari dunia luar. Digoel kala itu dikenal dengan alamnya yang bengis, serangan malaria yang mematikan dan suku-suku pedalaman Papua pemakan manusia.

Tetapi, di tanah buangan ini, pembunuh sebenarnya bukanlah malaria, atau pun suku pemakan manusia, melainkan kebosanan dan ketidakpastian. Kebosanan itu, membenamkan orang-orang buangan ke dalam lembah keputusasaan, yang perlahan menggerus kewarasan mereka. Banyak tahanan yang hancur mentalnya, hingga berakhir mengenaskan.

Hampir sembilan dekade setelah kedatangan Oen Bo Tik dan para tapol di Digoel, saya mendapat kesempatan berharga untuk menapak tilas jejak sejarah di bekas tanah buangan ini. Perjalanan darat dari Merauke menuju Boven Digoel memakan waktu sekitar delapan jam, menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Kami membelah rimba dan rawa di Taman Nasional Wasur.

Kemudian, kami menyusuri kawasan perbatasan dan terus menuju arah utara. Sinar lampu mobil kami menembus kegelapan malam. Selain lampu mobil, tak ada penerangan lain. Tiba-tiba, kecepatan mobil menurun. Saya, yang duduk di kabin belakang, menjulurkan kepala di antara supir dan penumpang di depan untuk mengetahui apa penyebabnya. Terhampar di depan sana, jalanan tampak seperti habis disiram berton-ton bumbu pecel.

Saya duduk di dalam mobil angkutan kota berwarna oranye cerah yang tengah merayap di jalanan nan lengang. Wajah Boven Digoel memang telah banyak berubah dari gambaran yang dituturkan Oen Bo Tik. Lebih banyak hutan yang dibuka untuk permukiman, kawasan kantor pemerintahan dan berbagai fasilitas umum. Selain itu, pekik kakatua dari rimba raya tak lagi terdengar.