BNPB Belajar Mitigasi Tsunami dari Smong, Kearifan dari Simeulue

By Utomo Priyambodo, Kamis, 22 April 2021 | 11:00 WIB
Tsunami Aceh 2004. (Zika Zakiya)

Setelah menginjakkan kaki di Simeulue, Doni langsung disambut dengan kalungan syal hasil kerajinan tangan warga lokal oleh Bupati Simeulue Erli Hasan. Kehadiran Doni di pulau lepas pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia itu secara khusus untuk mempelajari tentang hakikat smong atau fenomena tsunami dalam bahasa dan kearifan lokal setempat.

“Kami ingin belajar apa yang dimiliki Simeulue tentang kearifan lokalnya dalam menghadapi fenomena alam khususnya ‘smong’ atau tsunami,” ucap Doni kepada Bupati Erli setibanya di Bandara Lasikin, seperti dalam keterangan tertulis BNPB.

Simeulue memang menjadi nama daerah yang acap kali Doni sebut dalam kunjungan kerja ke beberapa wilayah. Nama daerah ini khususnya kerap ia sebut dalam rangka penguatan mitigasi dan kesiapsiagaan gempabumi dan tsunami.

Hal menarik yang memantik perhatian Doni sehingga merasa harus datang ke Simeulue ini adalah kearifan budaya lokal yang dirawat masyarakatnya secara turun temurun terkait upaya penyelamatan dan evakuasi mandiri besar-besaran dari gelombang pasang air laut yang diawali oleh gempabumi. Kearifan lokal ini tersimpan baik dalam syair cerita smong.

Baca Juga: Mengelak dari Sang Ombak: Berkaca dari Bencana demi Kesiapan Kita

Sisa-sisa tsunami Aceh. (Heri Mardinal/Getty Images)

Menurut catatan, istilah "smong" mulai dikenal masyarakat sejak 4 Januari 1907. Kala itu terjadi tragedi tsunami yang melanda wilayah perairan Simeulue.

Peristiwa itu berhasil direkam dalam buku Belanda berjudul S-Gravenhage karya Martinusnijhif pada tahun 1916, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari peristiwa tersebut, masyarakat Simeulue kemudian menyampaikan peringatan tradisional tsunami melalui "tutur" atau lisan secara turun temurun dari generasi ke generasi sehingga menjadi memori kolektif. Bahkan riwayat syair tentang smong dapat ditemukan pada senandung pengantar tidur anak-anak di Pulau Simeulue.

Pada peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam, Pulau Simeulue juga menjadi salah satu wilayah yang terkena gelombang tsunami pertama kali. Lebih dari 1.700 rumah hancur tersapu tsunami yang dipicu oleh gempabumi berkekuatan 9,1-9,3 skala magnitudo, akan tetapi jumlah korban jiwa yang meninggal di pulau itu "hanyalah" 6 jiwa.

Dalam pemodelan sederhana, apabila rata-rata penghuni satu rumah adalah 5 jiwa, maka total manusia di Simeuleu yang rumahnya diterjang Tsunami Aceh 2004 kala itu lebih dari 8.500 jiwa, atau sekitar 10 persen dari jumlah total penduduk Simeulue pada saat itu.

Dari perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan pada saat itu ada proses evakuasi besar-besaran secara mandiri dalam kurun waktu kurang dari 10 menit secara serempak di seluruh wilayah Pulau Simeulue. Peristiwa mobilisasi penduduk secara massal tersebut menjadi luar biasa, mengingat infrastruktur telekomunikasi sangat terbatas pada saat itu.

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon