24 April 1957, Terusan Suez Dibuka Kembali Setelah Krisis Sinai

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 24 April 2021 | 19:43 WIB
Terusan Suez selama krisis tahun 1956. (R.E Pink/National Army Museum)

 

Nationalgeographic.co.id—24 April 1957, Terusan Suez kembali dibuka sepenuhnya setelah sebelumnya ditutup karena konflik dalam perang Arab-Israel Kedua. Konflik ini diawali dari pemblokiran barang Israel oleh Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser.

Upaya ini, dalam arsip USA Today tahun 2001, membuat Amerika Serikat menarik bantuan proyek Bendungan Aswan yang semestinya menjadi kerjasama dengan Mesir. Mengetahui kerjasama ini ditarik, Gamal Abdel Nasser pun kecewa dan menasionalisasi Terusan Suez pada 26 Juli 1956.

Secara kepemilikan, Terusan Suez sebagian dimiliki oleh Inggris setelah dibeli sahamnya sejak 1875. Hal ini diungkap oleh Barry Turner dalam bukunya berjudul Suez 1956: the Inside of the First Oil War (2007).

Baca Juga: Bulan Purnama Bantu Membebaskan Kapal 'Ever Given' dari Terusan Suez

Meski sejatinya terusan ini dibangun pada 1869 atas kerjasama pemerintah Prancis dan Mesir, nyataya Konvensi Konstantinopel 1888 membuat Terusan Suez jadi kawasan netral di bawah perlindungan Inggris.

Mengetahui nasionalisasi yang dilakukan Gamal Abdel Nasser, Inggris pun segera mengambil tindakkan dengan Prancis.

 

Konfrontasi pun bermula dari penyerangan Israel atas Sinai pada 29 Oktober 1956. Konfrontasi itu menyebabkan Terusan Suez ditutup, dan membuat akses penguruman barang lewat Selat Tiran-Teluk Aqabah dibuka kembali.

Awalnya, Inggris dan Prancis mengutuk tindakan Israel. Kedua negara meminta agar militer Israel dan Mesir mundur dari wilayah itu. 

Nasser justru menolak mundur. Akibatnya, Inggris dan Prancis pun menurunkannya di sepanjang Terusan Suez pada 5 November 1956. Tindakan ini memicu kebencian orang Mesir atas dominasi Inggris sejak 1880-an.

Baca Juga: Pengalaman Masuk Kapal Selam KRI Nanggala-402: Hati-hati Kepala Anda!

Vughan Lowe dan tim dalam buku The United Nations Security and Council War: the Evolution of Thought and Practice since 1945 (2008), Amerika Serikat mengkhawatirkan dampak politik dari konfrontasi ini.

Presiden Amerika Serikat, David Eisenhower meminta DK PBB untuk menghentikan konfrontasi dan mengadakan gencatan senjata. Melihat Uni Soviet berhasil melakukan uji coba bom hidrogen pada November 1955, Eisen Hower takut negeri komunis itu mengancam serangan roket ke London, Paris, dan Tel Aviv.

Kekhawatiran Barat lainnya juga ditulis oleh G. C. Paden dalam The Historical Journal (Vol. 5 Issue 4 tahun 2012), bahwa sejak 1954, Nasser mengadakan propaganda anti-Inggris, menolak perjanjian Baghdad, dan mulai mengimpor senjata dari negeri-negeri Soviet.

Maka usaha pertama kali yang dilancarkan oleh Amerika Serikat adalah memberi tekanan finansial pada Inggris, dan menolak bantuan Prancis atas embargo minyak yang dilakukan Arab Saudi.

Usaha ini akhirnya berhasil menarik militer Inggris dan Prancis pada Desember 1956 lewat masuknya tentara UNEF di Sinai. Israel yang menolak kehadiran UNEF akhirnya meninggalkan baru meninggalkan Sinai pada Maret 1957, setelah menghancurkan berbagai infrasktruktur dan pemukiman di sana.

Berdasarkan catatan Vughan Lowe dan tim, akhirnya Terusan Suez dibuka kembali sepenuhnya tanggal 24 April 1957.

G. C. Paden menulis, bagi Inggris, tekanan dari Amerika Serikat berdampak jelas pada posisinya di NATO. Kesulitan Inggris lainnya di masa itu, juga dibutuhkan Inggris untuk mendukung Malaysia yang mengalami konfrontasi dengan Indonesia.