Kratom Jarang Digunakan di AS, tapi Familiar bagi Para Pencandu Opioid

By Utomo Priyambodo, Kamis, 29 April 2021 | 21:30 WIB
Kratom familiar bagi para pencandu opioid di Amerika Serikat. (Pixabay)

Nationalgeographic.co.id—Kurang dari satu persen orang di Amerika Serikat menggunakan kratom, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Preventive Medicine. Tanaman ini biasa digunakan untuk mengatasi rasa sakit dan membantu berhenti dari kecanduan opioid.

Meski legal, menurut para peneliti, penggunaan kratom ini berisiko menimbulkan kecanduan dan efek samping berbahaya. Oleh karenanya, penggunaan zat nabati ini lebih umum ditemui pada orang-orang yang menggunakan obat-obatan, terutama mereka yang mengalami gangguan atau kecanduan penggunaan opioid.

Berasal dari pohon asli Asia Tenggara, kratom dapat dikonsumsi sebagai pil, kapsul, atau ekstrak, atau bahkan juga bisa diseduh sebagai teh. Zat ini bekerja pada reseptor opioid di otak.

Dalam dosis rendah, kratom merupakan stimulan. Sementara dalam dosis yang lebih tinggi ia dapat meredakan nyeri.

Baca Juga: Hasil Berbagai Riset Ungkap Manfaat Daun Patikan Kebo bagi Kesehatan

Sebagian orang mengaku menggunakan kratom sebagai pengganti opioid dalam upaya membatasi penggunaan opioid dan menghentikan kecanduan mereka pada opiodi. Sebagian lainnya menggunakan kratom sebagai rekreasi untuk relaksasi pribadi atau mengobati rasa sakit, kecemasan, atau depresi.

Kratom legal di tingkat federal dan di sebagian besar negara bagian, tetapi masalah keamanan telah menyebabkan banyak peringatan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA) dan Badan Narkotika Nasional AS (Drug Enforcement Administration/DEA) yang mengidentifikasinya sebagai "obat yang mengkhawatirkan".

Penggunaan jangka panjang atau sering dapat menyebabkan ketergantungan, dan efek samping. Efek samping ini telah banyak dilaporkan, mulai dari yang ringan sampai yang parah.

Kratom juga telah dikaitkan dengan ribuan keracunan dan ratusan kematian di AS. Namun demikian, sebagian besar dari ribuan kasus itu juga melibatkan penggunaan obat lain, terutama opioid.

"Beberapa studi nasional telah meneliti penggunaan kratom di antara populasi umum, dan studi semacam itu dapat memberi kita gambaran yang lebih baik mengenai siapa yang telah menggunakan zat tersebut," ujar Joseph Palamar, profesor kesehatan populasi di NYU Grossman School of Medicine sekaligus peneliti yang terafiliasi dengan Center for Drug Use and HIV/HCV Research (CDUHR) di NYU School of Global Public Health. Dilansir Eurekalert!, Plamar adalah penulis studi tersebut.

Baca Juga: Mengapa Pecandu Sulit Berhenti Memakai Narkoba? Ini Penjelasannya

 

Dengan menggunakan Survei Nasional Penggunaan Narkoba dan Kesehatan 2019 yang menghimpun data 56.136 remaja dan orang dewasa di AS, Palamar meneliti berapa banyak orang yang menggunakan kratom dan zat lain apa yang mereka gunakan. Dia menemukan bahwa sekitar 0,7 persen orang dewasa dan remaja menggunakan kratom dalam setahun terakhir.

Penggunaan kratom lebih umum di antara orang-orang yang menggunakan obat lain, termasuk ganja, stimulan, dan kokain, dan terutama umum di antara mereka yang menyalahgunakan opioid. Ada 10,3 persen orang dengan gangguan penggunaan opioid mengaku juga mengonsumsi kratom.

Pria, orang kulit putih, dan mereka yang mengalami depresi dan penyakit mental serius juga lebih mungkin melaporkan menggunakan kratom. Remaja dan orang dewasa di atas 50 tahun cenderung tidak melaporkan penggunaan kratom.

"Studi ini menambah pemahaman kami tentang prevalensi kratom dan hubungannya dengan penyalahgunaan opioid," kata Palamar.

"Diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan keefektifan zat dalam mengobati penghentian opioid, dan lebih banyak penelitian diperlukan untuk menentukan seberapa aman zat ini bila dikombinasikan dengan obat lain," tegasnya.