Gunung batu, kabut debu, mata air, dan pusaran cinta tak berkesudahan memanggil-manggil...
Cerita dan foto oleh Christiantowati
Nationalgeograhic.co.id—“Tak perlu saya bimbing lagi ya. Sudah bisa sendiri ‘kan?” ujar Affandi kepada saya dan Trizki, karib saya, di muka Masjidil Haram. Muthawwif (pembimbing ibadah sekaligus pemandu) saya ini ingin melepaskan kami sendiri untuk umrah. Kami baru kembali dari Hudaibiyah—usai mikat, mengambil niat umrah dari suatu tempat di luar Mekah.Perjalanan saat itu adalah umrah kami kesekian kalinya. Namun untuk menjalankan ibadah itu secara mandiri, kami waswas. Tiba-tiba, pikiran saya lantas membandingkan Affandi dan Busyro, yang membimbing umrah saya pada April 2011.
Busyro selalu mengantar sejak awal. Dari mikat, tawaf (mengelilingi Kakbah), sai (berjalan dan berlari-lari kecil pulang pergi tujuh kali dari Safa ke Marwa), dan tahalul (menggunting beberapa helai rambut untuk menandai berakhirnya masa larangan melakukan sesuatu—seperti tak boleh memakai wewangian kala sudah berniat umrah). Hati saya bertanya, apakah karena Busyro baru dua tahun tinggal di Mekah, sementara Affandi sudah 10 tahun menjadi mukimin (pemukim) hingga merasa tak perlu menangguk pahala dengan umrah berkali-kali sambil mengantar jemaah?Saya menghela napas saat mengangkat buku kecil panduan haji umrah dan terbuka pada suatu halaman. Di sana seuntai kalimat membuat tersenyum: “Jangan terlalu mengandalkan muthawwif.” Affandi tak salah. Saya pun tak pantas berprasangka. Ini bukanlah perjalanan manja, tetapi tidak juga bepergian yang biasa. Ah, bukankah saya telah melewati tiga perjalanan haji kecil ini dengan baik?
Baca Juga: Pertama Kalinya, Foto Super Close-Up Hajar Aswad di Ka'bah Dirilis