Menurut Ariel Obadyah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, pertanyaan-pertanyaan ini maklum dilontarkan dalam momen kumpul keluarga, terutama di hari-hari raya.
Hal itu dikarenakan tak semua anggota keluarga besar mengetahui dan melihat perjuangan hidup anggotanya yang lain di luar pertemuan tahunan itu.
"[Pertanyaan-pertanyaan] Ini sebuah metode untuk ngobrol, ini untuk berkomunikasi satu sama lain adalah dengan bertanya," terangnya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Senin (10/05/2021).
"Itu bentuk umum yang mudah dilakukan untuk berkomunikasi. Apa lagi yang setahun sekali."
Ia menambahkan, jika dilihat dari sudut pandang masyarakat Timur yang kolektif dan diadopsi masyarakat Indonesia, batas privasi suatu individu dianggap kurang. Berbeda dengan gaya komunikasi budaya Barat yang individualis, memahami hak individu dan menjaga batasan.
Baca Juga: Makan Malam Imlek: Budaya Kumpul Keluarga dan Meja Bundar
Meski budaya kolektif memandang urusan pribadi harus diketahui secara bersama, pertanyaan-pertanyaan ini memiliki motif yang buram. Bisa saja bukan untuk sekedar basa-basi biasa, melainkan untuk mengetahui pencapaian seseorang atau untuk membandingkan seseorang dengan dirinya.
"Nah, dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu, dia (penanya) itu bisa mengukur apa dirinya payah, apa kita (yang ditanya) tertinggal, apa dia lebih unggul. Jadi ini alat untuk menilai dirinya," lanjut Ariel.
Selain untuk dengan diri penanya, pertanyaan juga bisa digunakan untuk membandingkan seseorang dengan pihak lain. Pihak lain ini bisa saja merupakan bagian anggota keluarga atau bukan.
Orang seperti ini menganggap membanding-bandingkan adalah hal yang wajar, ungkap Ariel. Lewat pertanyaan yang dilontarkannya, cenderung seseorang sudah memiliki pendapat yang dianggapnya ideal
Baca Juga: Mengapa Kita Mudah Memaafkan Saat Lebaran tapi Tidak di Waktu Lain?