Di Indonesia, angkong secara resmi dilarang pada tahun 1946 tanpa alasan yang jelas. Azmi Abubakar menulis bahwa setidaknya terdapat 40.000 angkong yang dibakar di Medan supaya tidak digunakan kembali.
Keberadaan angkong juga masih menjadi perdebatan di Kalkuta, kota terakhir yang masih melegalkan angkong hingga saat ini. Dilanisir dari liputan "Last Days of the Rickshaw" dari Calvin Trillin untuk National Geographic, sejumlah orang menganggap angkong sebagai warisan kolonial yang memperbudak penarik angkong. Banyak penarik angkong yang berpenghasilan rendah dan hidup dalam kondisi tidak layak, dan pemerintah Kalkuta bahkan sudah berencana untuk menggantikannya.
Akan tetapi, peneliti menilai bahwa angkong di Kalkuta tidak bisa dihilangkan begitu saja. Angkong menjadi satu-satunya transportasi yang mampu menembus banjir yang sering menerjang Kalkuta. Beberapa penarik angkong bahkan bekerja serabutan di rumah orang-orang kelas menengah. Selain itu, mereka juga menjadi langganan anak sekolah, dan bahkan dikontrak menjadi penjaga rumah di malam hari. Kontrak sosial yang terbentuk ini membuat penghilangan angkong malah berpotensi menimbulkan masalah sosial yang lebih luas.
Dalam perkembangannya, angkong juga berevolusi menjadi transportasi baru. Perkawinan angkong dan sepeda melahirkan becak, sementara persekutuan angkong dan mesin menghasilkan bentor atau bajaj. Angkong akhirnya digantikan oleh becak dan bajaj di sejumlah kota seperti Singapura dan Medan.
Angkong mungkin sudah tidak lagi ditemui di kota-kota besar masa kini. Akan tetapi, ruang kosong yang ditinggalkannya akan kembali terisi dengan kendaraan yang lebih modern di masa depan.