Kemukus, Si Emas Hitam yang Nyaris Hilang di Jalur Rempah Nusantara

By Agni Malagina, Minggu, 13 Juni 2021 | 22:03 WIB
Lada Jawa (Piper cubeba L.) adalah spesies yang termasuk dalam famili Piperaceae. Tanaman ini tersebar luas dan dibudidayakan di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatera) tetapi juga di daerah tropis lainnya. Kegunaannya sebagai tanaman obat, bumbu, dan sumber minyak atsiri. (Antropocene)

 

Kini, kemukus (Piper cubeba) merupakan salah satu tanaman rempah yang melangka. Padahal, Purseglove dalam bukunya Tropical Crops Dycotyledonae, terbit 1968, mengungkapkan tanaman ini meru­pakan endemik Indonesia. Dahulu tanaman ini tumbuh liar di barat Nusantara. Ketika zaman Hindia Belanda, penghasil utamanya: Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Kalimantan Tengah.

Namun, laman Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan IPB menyebutkan, saat ini di Jawa Barat, Sumatra Utara, dan Balikpapan sudah tidak ditemukan lagi petani kemukus. Menurut tim survei Balittro, dalam laporan studi penyerapan bahan obat alami di Indonesia pada 2003, tanaman kemukus hanya dijumpai di Jawa Tengah dengan luasan sekitar 517 hektare.

Ketika saya mencoba menelusuri tanaman kemukus, tersebutlah Desa Muncar. Desa ini terletak di ketinggian 560 meter dari permukaan laut dan berjarak 24 kilometer dari ibu kota Kabupaten Temanggung.

Baca Juga: Selidik Getir Kopi Pedagang Arab, Penyambung Lidah di Jalur Rempah

Suparno dan kebun kemukusnya di Desa Muncar, Kabupaten Temanggung. Produksi nasional buah kemukus saat ini hanya sekitar 223 ton/tahun, dengan luasan 517 hektare. Padahal kemukus termasuk rempah berharga tinggi. (SIGIT PAMUNGKAS)

Desa sejuk ini terletak di lembah perbukit­an hijau. Kopi, cengkih, vanili, kapulaga dan kemukus di kebun warganya. Salah satu warganya, Suparno, sedang memastikan tanaman kemukusnya bisa dipanen tahun depan, biasanya jatuh pada Agustus.

Dia menanam kemukus karena orang tuanya juga mengenalkan tanaman ini sejak kecil. Namun, sejak lima tahun lalu dia baru mencoba menanam sendiri. Berawal dari 50 pohon kemukus, panen pertama datang setelah masa tanam tiga tahun. Hasilnya, 30 kilogram kemukus kering. “Panen tahun berikutnya saya dapat setengah kuintal, itu yang bikin saya semangat memperbanyak tanaman saya,” ungkapnya sambil menunjukan biji kemukus.

“Kita bercocok tanam kemukus ini harus dengan cara nanem, yaitu nandur (menanam) dan nemu (menemukan),” ujarnya.

Baca Juga: Selidik Getir Kopi Pedagang Arab, Penyambung Lidah di Jalur Rempah

Ilustrasi piper cubeba dari botani medis, 1836. Raja Portugal pernah melarang impor kemukus dari Jawa, hanya untuk memperkuat penjualan lada hitam mereka. (Freepik)

Tanaman ini tidak perlu perawatan khusus. Kemukus juga tidak perlu dipupuk, sekalipun pupuk kandang. Semua jenis pupuk akan berakibat kematian bagi tanaman ini. “Terutama pupuk kimia, walaupun ladang tetangga yang dipupuk maka tanaman kemukus dan vanili kita akan mati,” kata Suparno.

Warga bersepakat bercocok tanam dengan pola organik dan tidak menggunakan pupuk kimia. Kemukus di desa Muncar rupanya dianggap sebagai “emas hitam” oleh warga. Tak hanya soal bertani rempah bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga sebagai kalam atau penunjuk ke­subur­an tanah yang bebas pupuk dan substansi kimia lainnya.

Sebelum pandemi, ketika panen rempah tiba, beberapa pejalan mancanegara berwisata di keindahan alam Muncar. Sepuluh rumah warga telah disiapkan untuk rumah tinggal pejalan.

Semoga kebangkitan petani kemukus turut membangkitkan pelestarian, pemanfaatan tanaman, dan ekowisata berbasis komunitas.

Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia