Deja terkenal karena karyanya dalam Beauty and the Beast (1991), Aladdin (1992), dan The Lion King (1994).
Dengan animasi yang semakin mahal, membosankan, dan memakanw aktu di pertengahan abad ke-20, Xeroxing mengizinkan animator untuk menyalin gambar pada lembar seluloid transparan menggunakan kamera Xerox. Tidak lagi dengan bantuan asisten seniman dengan tangannya.
Sebelum eksperimen dengan hal itu, seniman pertama-tama menggambar konsep seni untuk membuat karakter. Mereka membuat sketsa karakter di kertas animasi atau kertas koran murah dan kemudian asisten mereka membersihkan sketsa dan memastikan tiap detailnya bahkan hingga kancing jaket.
Setelah gambar siap mereka beralih ke tinta. Membuat sketsa di sisi depan lembaran sel mengilap. Setelah kering, sel tersebut kemudian dibalik untuk melukis karakter sel di dalam garis-garis itu. Pekerjaan ini menjadi lebih rumit karena warna, bobot, dan ketebalan yang berbeda sangat penting untuk memberikan karakter animasi yang realistis. Warna cat juga menuntut perhatian yang ekstrim.
Baca Juga: Kisah Nyata Kehidupan Pocahontas yang Tak Diungkap Film Animasi Disney
Film Disney cenderung memiliki 12 sampai 24 gambar atau sel per detik, yang berarti bahwa ribuan sel masuk ke dalam satu film animasi. Sleeping Beauty misalnya, membutuhkan hampir satu juta gambar.
Disney menggunakan animasi Xerox selama 30 tahun berikutnya, membuat The Sword in the Stone (1963), The Jungle Book (1967), The Aristocats (1970), dan The Little Mermaid (1989).
Film berikutnya Beauty and the Beast (1991) menggunakan sistem produksi animasi komputer atau CAPS menggantikan metode Xerox.
Sistem tinta dan cat digital ini memungkinkan seniman untuk memindai sketsa ke dalam komputer dan dengan mudah mewarnai di area tertutup dan menyentuh keseluruhan gambar.
Ini tidak hanya menghemat lebih banyak uang tapi juga memperluas alat digital untuk animator, membuat proses pembuatan film menjadi jauh lebih fleksibel.
Baca Juga: Berdasar Kisah Nyata, Berikut 9 Fakta di Balik Cerita Aladdin yang Memesona