Data Twitter Bisa Bantu Prediksi Wilayah yang Akan Terdampak COVID-19

By Utomo Priyambodo, Kamis, 24 Juni 2021 | 16:08 WIB
Data di Twitter. (Gloria Samantha)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi yang dirilis oleh para peneliti dari University of Southern California (USC) mengklaim bahwa Twitter dapat membantu memprediksi di mana wabah-wabah COVID-19 berikutnya kemungkinan akan terjadi. Selain itu, penelitian terbaru ini juga telah mengembangkan alat yang dapat membantu para pejabat kesehatan dalam perencanaan menghadapi potensi wabah COVID-19 ke depan.

“Kami menunjukkan bahwa pandangan anti-sains selaras dengan ideologi politik, khususnya konservatisme,” ujar Kristina Lerman, penulis utama studi tersebut dan seorang profesor di Viterbi School of Engineering USC, seperti dilansir Times of San Diego.

"Meskipun itu belum tentu baru, kami menemukan ini sepenuhnya dari data media sosial yang memberikan petunjuk terperinci tentang di mana COVID-19 kemungkinan menyebar sehingga kita dapat mengambil tindakan pencegahan."

Menurut para peneliti, mereka menemukan bahwa pandangan "anti-sains" yang tinggi antara Januari dan April 2020 di berbagai negara bagian Amerika Serikat yang kemudian terkena dampak lonjakan COVID-19 yang dahsyat.

Lerman mengatakan temuan penelitian ini dapat membantu para politisi dan otoritas kesehatan masyarakat menyesuaikan komunikasi untuk mengurangi skeptisisme ilmiah. Selain itu, mereka juga perlu mempersiapkan untuk menangani potensi epidemi penyakit tertentu jika sikap anti-sains tumbuh di satu bagian negara.

Studi yang berjudul Political Partisanship and Anti-Science Attitudes in Online Discussions About COVID-19 ini telah terbit pada Juni 2021 di Journal of Medical Internet Research.

Dalam studi ini, para peneliti mempelajari sikap kesehatan masyarakat berdasarkan 27 juta tweet dari 2,4 juta pengguna Twitter di Amerika Serikat antara 21 Januari dan 1 Mei 2020. Mereka mengurai data berdasarkan demografi dan geografi dengan cara yang memungkinkan pemantauan hampir real-time dari sikap partisan dan "pseudosains" yang dapat disempurnakan dengan sangat rinci dengan bantuan program komputer.

Baca Juga: Penggunaan Ivermectin sebagai Obat COVID-19 Sedang Diuji oleh Oxford

Kita membutuhkan teknologi terintegrasi untuk penanganan bencana seperti Covid-19. (Natali_Mis/Getty Images/iStockphoto)

Menurut keterangan di laman University of Southern California yang dikutip oleh Science Times, para peneliti memeriksa pendapat para pengguna Twitter tersebut di tiap waktu dan di seluruh lokasi untuk mengamati bagaimana mereka berubah. Selanjutnya, para peneliti masuk ke topik tertentu yang relevan untuk masing-masing kelompok.

Konservatif anti-sains tertarik pada isu-isu politik seperti kampanye pemilihan ulang dan konspirasi QAnon. Sebaliknya, kaum konservatif sains tertarik pada isu-isu lingkungan. Sementara itu, kaum konservatif pro-sains berkonsentrasi pada wabah global virus dan pada upaya pencegahan untuk "melandaikan kurva."

Kristina Lerman, seorang ilmuwan komputer dan ahli dalam menambang data media sosial untuk indikasi tentang perilaku manusia di Information Sciences Institute USC, mengatakan bahwa penelitian ini memberi para peneliti kemampuan untuk menganalisis dialog publik seputar virus corona dan menghubungkannya dengan konsekuensi epidemiologis.

Para peneliti mengatakan orang-orang dapat memanfaatkan data media sosial untuk tujuan ilmiah. Ini termasuk membuat peta spasial dan temporal opini publik di sepanjang garis ideologis, seperti garis pro-sains dan anti-sains.

"Kita juga dapat melihat topik apa yang penting bagi segmen masyarakat ini, dan kita dapat merencanakan secara proaktif untuk mencegah terjadinya wabah penyakit," ujar Lerman.

Baca Juga: Studi Baru: Ada Jaringan Otak yang Hilang dari Para Penyintas COVID-19