Peristiwa Geologi Bumi Kita Berulang Seperti Pola Denyut Nadi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 24 Juni 2021 | 20:06 WIB
Bumi dan alam semesta (titoOnz/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Manusia dewasa saat tak melakukan banyak aktivitas, kecepatan detak jantungnya bisa 60 hingga 100 kali. Selama denyut itu, jantung memompa dan menerima darah dari dan ke seluruh tubuh.

Tentunya semua hewan juga memiliki denyut yang sama dengan interval yang berbeda. Tetapi, baru-baru ini para peneliti menemukan denyut yang dimiliki oleh Bumi.

"Denyut Bumi", begitulah mereka menyebutnya, terjadi akibat lusinan peristiwa geologis besar yang dialami. Mulai dari perubahan permukaan laut hingga letusan gunung berapi, yang terjadi selama 260 juta tahun terakhir. Peristiwa ini memiliki pola berirama ketika diamati.

"Dalam waktu yang cukup lama, beberapa ahli geologi bertanya-tanya, apakah ada siklus sekitar 30 juta tahun dalam catatan geologis," kata Michael Rampino, penulis utama, dikutip dari Live Science.

Temuannya ini dipublikasikan di Geoscience Frontiers, yang tersedia Kamis (17/06/2021).

Menurut Rampino, hingga saat ini penanggalan peristiwa seperti itu masih kurang baik. Sehingga, pembuatan pola itu sulit dipelajari secara kuantitatif.

"Banyak [yang membuat], tapi mungkin sebagian besar, [ahli geologi] akan mengatakan bahwa peristiwa geologi sebagian besar terjadi secara acak," kata Rampino.

Maka, Rampino dan timnya membuktikan apakah peristiwa geologis selama jutaan tahun itu memang acak, atau ada pola yang sama untuk mendasarinya.

Dalam laporannya, mereka mengulik ragam literatur dan menemukan 89 peristiwa besar yang terjadi selama 260 juta tahun terakhir. Beberapa di antaranya terkait kepunahan, peristiwa anoxic laut--masa di mana laut mengadung racun akibat penipisan oksigen, fluktuasi permukaan laut, aktivitas vulkanik besar, dan perubahan pada lempeng tektonik bumi.

Lewat analisis Fourier, mereka menempatkan peristiwa dalam urutan kronologis dari yang terlama hingga yang terbaru, untuk mengambil lonjakan frekuensi perisitwa.

Baca Juga: Laut Paratethys, Danau Purba Raksasa yang Pernah Ada di Eurasia

Rentetan peristiwa geologis yang setiap klasternya memiliki denyut dalam pola waktu yang sama, dalam 27,5 miliar tahun. (Michael R.Rampino et al)

Hasilnya, mereka menemukan sebagian besar fenomena yang pernah terjadi dapat dikelompokkan dalam 10 waktu terpisah, dengan rata-rata berjarak 27,5 juta tahun.

Meski dianggap kurang tepat, cara itu cukup sebagai perkiraan dengan interval statistika sebesar 96%, yang artinya tidak mungkin terjadi secara kebetulan atau acak, ujar Rampino.

Di sisi lain, walau penanggalannya secara akurat dimulai dari 260 juta tahun terakhir, Rampino dan tim memperkirakan hasilnya bisa meluas lebih jauh ke masa yang lebih lampau.

Misal, permukaan laut kembali terjadi 600 juta tahun lalu, lebih jauh dari yang dalam rentang waktu mereka. Rampino menduga kejadian itu menggambarkan adanya pola yang sama di waktu yang lebih lampau, seperti pola denyut yang berulang.

Klaster pola terakhir terjadi pada 7 juta hingga 10 juta tahun yang lalu. Para peneliti memperkirakan klaster itu akan terjadi lagi dalam 10 juta hingga 15 juta tahun mendatang.

Baca Juga: Peristiwa Misterius 19 Juta Tahun Lalu Hampir Memusnahkan Semua Hiu

Di sisi lain, walau penanggalannya secara akurat dimulai dari 260 juta tahun terakhir, Rampino dan tim memperkirakan hasilnya bisa meluas lebih jauh ke masa yang lebih lampau.

Misal, permukaan laut kembali terjadi 600 juta tahun lalu, lebih jauh dari yang dalam rentang waktu mereka. Rampino menduga kejadian itu menggambarkan adanya pola yang sama di waktu yang lebih lampau, seperti pola denyut yang berulang.

Klaster pola terakhir terjadi pada 7 juta hingga 10 juta tahun yang lalu. Para peneliti memperkirakan klaster itu akan terjadi lagi dalam 10 juta hingga 15 juta tahun mendatang.

Kendati demikian tidak jelas apa yang menyebabkan denyutan itu terjadi menyerupai pola, dalam aktivitas geologis. Bisa jadi didorong secara internal oleh lempeng tektonik, dan pergerakan di dalam mantel.

Atau bisa jadi, ada hubungannya dengan pergerakam Bumi di tata surya dan galaksi, Rampino berpendapat. Contoh, denyut nadi 27,5 juta tahun mendekati osilasi vertikal 32 juta tahun di sekitar bidang tengah galaksi kita, Bima Sakti.

Baca Juga: Ahli Geologi NTU Menemukan Catatan Potensi Gempa Besar di Sumatra

Peta geologis Eropa pertama yang dibuat Phillipe Buache dan Jean-Étienne Guettard 1746. (Wikimedia)

Para peneliti hanya berteori, bahwa tata surya kadang-kadang bergerak melalui bidang yang mengandung materi gelap (dark matter) dalam jumlah yang lebih besar di galaksi. Saat planet bergerak melaluinya, tata surya menangkapnya, sehingga dapat memusnahkan dan melepaskan panas. Akibatnya, dapat menghasilkan denyut pemanasan dan aktivitas geologis di Bumi.

Teori mengenai materi gelap ini sebenarnya masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan akan ada atau tidaknya.

Para peneliti berharap agar bisa mendapatkan data yang lebih lengkap terkait penanggalan geologis tertentu, dan menganalisis periode waktu yang lebih lama untuk melihatnya jauh ke masa lalu.

Bahkan, suatu hari nanti mereka berharap bisa mendapatkan angka yang bisa memahami pergerakan astronomi Bumi dalam tata surya, dan Bima Sakti. Sehingga bisa memperkuat mengenai korelasi siklus astronomi dengan geologi.

Baca Juga: Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London