Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 1 Juli 2021 | 17:08 WIB
Sebelum pandemi, seperempat perempuan di dunia menghabiskan lebih dari sembilan jam sehari untuk merawat anak-anak mereka. Sekarang sepertiga perempuan menghabiskan setidaknya jumlah waktu itu. Mereka berupaya membagi waktu untuk mempertahankan ekonomi. (FREEPIK)

 

Nationalgeographic.co.id—Kerugian ekonomi yang tidak proporsional terhadap perempuan akibat pandemi ini tampaknya mengejutkan banyak orang. Oleh beberapa orang, kerugian atau kemerosotan ekonomi pada kaum Hawa ini disebut juga sebagai “shecession”.

Namun, sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang tanpa sebab atau tak terprediksi. Sebab, ketidakadilan yang berlangsung lama telah membuat perempuan menjadi sangat rentan.

The Gates Foundation merilis temuan baru hari dari Eurasia Group and the International Labor Organization. Mereka bersama dengan Generation Equality Forum dari Entitas Perserikaan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) telah mendokumentasikan mengapa para perempuan di seluruh dunia paling terpukul dan paling lambat pulih.

“Ini bukan hanya di belahan bumi utara,” kata Anita Zaidi, Presiden Divisi Kesetaraan Gender dari Gates Foundation kepada National Geographic. "Itu ada di mana-mana."

 

Meskipun ada proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan yang kehilangan pekerjaan selama pandemi, lebih sedikit perempuan yang dipekerjakan kembali, menurut data baru ini. Kemungkinan perempuan yang dipekerjakan tahun 2021 ini akan jauh lebih sedikti daripada tahun 2019, yakni berkurang 13 juta dari tahun tersebut.

Salah satu alasan utama kesenjangan pekerjaan itu adalah bahwa ada lebih banyak perempuan bekerja di industri-industri yang masih belum pulih dari penutupan atau pembatasan sosial akibat dampak pandemi ini. Industri-indisutri tersebut antara lain ritel, pariwisata, perhotelan, dan restoran.

Selain itu, ada juga indutsri pelayanan jasa penitipan anak. Dengan sekolah dan tempat penitipan anak ditutup, banyak perempuan di seluruh dunia tidak punya pilihan selain meninggalkan pekerjaan mereka untuk merawat anak-anak mereka.

Sebelum pandemi, seperempat perempuan di dunia menghabiskan lebih dari sembilan jam sehari untuk merawat anak-anak mereka. Sekarang sepertiga perempuan menghabiskan setidaknya jumlah waktu itu. Mereka berupaya membagi waktu untuk mempertahankan ekonomi.

“Orang-orang berpikir tentang pandemi hanya dari perspektif kesehatan,” ujar Zaidi. "Tidak ada yang memikirkan, oke, apa sebenarnya dampaknya pada pendidikan, sekolah, pengasuhan anak?"

Baca Juga: 'Wanita Kelelawar' Kontroversial dari Wuhan Bicara soal Asal Pandemi

Ubud Art Market, Bali. Pandemi telah menyurutkan denyut wisata yang dibangun berpuluh-puluh tahun lamanya. Kini para pelaku bisnis wisata dan seni kreatif menanti angin baru usai pandemi. (sihasakprachum/Getty Images)

 

Visi dan prioritas untuk kehidupan di luar pandemi sebagian besar akan berasal dari siapa yang bertanggung jawab. Banyak gugus tugas COVID-19 telah berkembang biak selama krisis kesehatan dan ekonomi akibat pagebluk ini. Ada 225 gugus tugas di 137 negara, tetapi perempuan hanya mengisi seperempat kursi mereka. Secara lebih luas, sementara perempuan merupakan 70 persen dari petugas kesehatan, mereka hanya menyumbang 25 persen dari pemimpin layanan kesehatan.

Fakta tersebut menghasilkan kesenjangan besar dalam pengetahuan dan juga perawatan yang mendasar bagi kehidupan banyak perempuan. Sayangnya, visi penanganan pandemi yang selama kurang memprioritaskan perempuan itu tidak pernah jadi isu penting untuk diperhatikan.

Program kesehatan perempuan, seperti kontrasepsi misalnya, tidak dianggap sebagai layanan penting selama lockdown, kata Zaidi. Hasilnya, sekitar 12 juta perempuan diperkirakan telah kehilangan akses ke kontrasepsi, yang menyebabkan 1,4 juta kehamilan yang tidak diinginkan.

Baca Juga: Wanita dengan Bulu Mata Terpanjang di Dunia Memecahkan Rekor Lagi

Penjual ikan di sebuah pusat perbelanjaan tradisional di Cirebon. Perempuan berperan penting dalam usaha kecil menengah di Indonesia. Sebesar 51 persen UKM dimiliki oleh perempuan. Foto sebelum pandemi. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Efek kumulatif dari kehilangan pekerjaan, tak ada penyedian pengasuhan anak, sampai kehamilan yang tidak direncanakan itu adalah meningkatnya kemiskinan. Sebelum pandemi, tingkat kemiskinan global menurun pada tingkat 2,5 persen. Tahun ini angka kemiskinan diperkirakan meningkat sembilan persen.

Meski begitu, menurut temuan baru ini, masih mungkin bagi kita untuk membalikkan tren ini. Data dari Eurasia Group menunjukkan bahwa menyediakan pengasuhan anak kepada perempuan akan menambah 3 triliun dolar AS pada ekonomi global, sementara program bantuan tunai —jumlah kecil yang dibagikan kepada perempuan yang berpenghasilan kurang dari dua dolar per hari— dapat mengangkat sebanyak 100 juta perempuan keluar dari kemiskinan.

Gates Foundation berjanji untuk menyumbangkan 2,1 miliar dolar AS selama lima tahun ke depan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan, dan keluarga berencana, dan pengembangan kepemimpinan. “Kemiskinan itu seksis,” tegas Zaidi. Jadi, solusinya, program ekonomi di masa pandemi dan setelahnya harus mempertimbangkan gender.

Baca Juga: Bali Setahun Tanpa Turis: 'Saya Kehilangan Segalanya,' Keluh Warga