Konsep Darwin tentang seleksi seksual diabaikan dengan sopan oleh sebagian besar pemikiran zaman Victoria yang merasa tidaklah pantas berpikir bahwa perempuan secara aktif memilih pasangan, alih-alih menerima dengan malu-malu pendekatan lelaki. Bahkan ahli biologi membuang gagasan itu selama kira-kira seabad karena terobsesi dengan pendapat bahwa sifat bawaan berevolusi demi manfaat spesies, bukan individu. Namun, kini kita tahu bahwa Darwin selama ini benar. Pada berbagai spesies, dari ikan dan burung hingga serangga dan katak, betina mendekati jantan yang paling bergaya dan mengajak jantan tersebut kawin.
Darwin tidak banyak membahas tentang mengapa betina memilih jantan yang paling berhias. Ini menjadi pertanyaan yang masih menarik bagi para ahli biologi karena mereka punya dua jawaban yang sama baiknya. Pertama karena kebiasaan semata: ketika betina memilih jantan yang tampan, betina lain harus melakukan yang sama atau terancam punya anak yang tidak menarik bagi betina. Jawaban lainnya lebih subtil. Menumbuhkan ekor itu melelahkan dan berbahaya bagi merak. Ini hanya dapat dilakukan dengan baik oleh jantan yang paling sehat: parasit, kelaparan, dan perawatan yang sembrono akan menghasilkan bulu yang lebih kusam. Jadi, bulu yang cemerlang adalah apa yang disebut para ahli biologi sebagai “indikator kebugaran yang jujur.” Merak yang tak memenuhi standar tidak bisa meniru keindahannya. Dengan demikian, merak betina yang secara naluriah memilih jantan terbaik, tanpa sadar mewariskan gen terbaik kepada anak-anaknya.!break!
Dalam salah satu renungannya, Darwin berpendapat bahwa seleksi seksual mungkin dapat menjelaskan perbedaan ras manusia: “Kita melihat bahwa setiap ras memiliki gaya keindahannya sendiri.… Pemilihan wanita yang lebih menarik oleh pria yang lebih berkuasa dalam setiap suku yang rata-rata meninggalkan jumlah anak yang lebih besar, setelah beberapa generasi berlalu [akan] mengubah karakter suku itu dalam kadar tertentu.” Wasit belum memutuskan perihal gagasan khusus ini, tetapi ada tanda-tanda bahwa Darwin mungkin setidaknya benar sebagian.
Mata biru misalnya. Darwin seperti kebanyakan orang Eropa bermata biru. Pada awal 2008, Hans Eiberg dan rekan-rekannya di Københavns Universitet mengumumkan bahwa mereka menemukan mutasi genetik yang sama pada semua orang yang murni bermata biru. Mutasi itu adalah perubahan satu huruf, dari A menjadi G, pada rantai panjang kromosom 15 yang meredam ekspresi gen bernama OCA2. Gen ini terlibat dalam pembuatan pigmen yang menggelapkan mata. Dengan membandingkan DNA orang Denmark dengan DNA penduduk Turki dan Yordania, Eiberg menghitung bahwa mutasi ini baru terjadi sekitar 6.000-10.000 tahun lalu, lama setelah penemuan pertanian, pada orang-orang tertentu di sekitar Laut Hitam. Jadi, Darwin mungkin mendapatkan mata birunya karena huruf yang salah eja dalam DNA pada bayi seorang petani Neolitikum.
Mengapa perubahan genetik ini menyebar demikian luas? Tidak ada bukti bahwa mata biru membantu orang bertahan hidup. Mungkin sifat bawaan ini berkaitan dengan kulit yang lebih pucat, yang membuat lebih banyak cahaya matahari yang diperlukan untuk sintesis vitamin D masuk. Itu sangat penting karena orang di daerah utara yang kurang cahaya matahari menjadi lebih tergantung pada padi-padian yang kurang mengandung vitamin D sebagai makanan pokok. Di sisi yang lain, orang yang bermata biru mungkin punya anak lebih banyak karena kebetulan lebih menarik bagi lawan jenis di kawasan geografi tersebut. Yang manapun itu, penjelasan tersebut kembali mengarah kepada dua teori Darwin—seleksi alam dan seksual.
Yang Menarik, perubahan ejaan yang menyebabkan mata biru tidaklah terjadi dalam gen pigmen itu sendiri, melainkan pada kutipan kitab DNA di dekatnya yang mengendalikan ekspresi gen tersebut. Ini sejalan dengan ide yang semakin populer dalam biologi evolusi dan genetika: evolusi terjadi tidak hanya dengan mengubah gen, tetapi juga dengan mengubah cara gen tersebut diaktifkan atau dipasifkan. Menurut Sean Carroll dari University of Wisconsin at Madison, “Bahan bakar utama evolusi anatomi ternyata bukan perubahan gen, melainkan perubahan dalam pengaturan gen yang mengendalikan perkembangan.”
Konsep saklar genetik menjelaskan kejutan yang memalukan bahwa manusia ternyata tidak memiliki gen khusus manusia. Dalam dasawarsa terakhir, saat ilmuwan membandingkan genom manusia dengan genom makhluk-makhluk lain, diketahui bahwa kita mewarisi tidak hanya jumlah gen yang sama dengan tikus—kurang dari 21.000—tetapi bahkan sebagian besar gennya sama. Itu sama halnya seperti kita tidak memerlukan kata-kata yang berbeda untuk menulis buku yang berbeda, sehingga gen baru juga tidak diperlukan untuk membuat spesies baru: cukup diubah urutan dan pola penggunaannya.!break!
Mungkin seharusnya lebih banyak ilmuwan yang menyadari hal ini lebih awal. Lagi pula, tubuh tidaklah dirakit seperti mesin di dalam pabrik; tubuh tumbuh dan berkembang, jadi evolusi akan selalu tentang proses pertumbuhan, dibandingkan menentukan hasil akhir pertumbuhan itu. Dengan kata lain, jerapah tidak memiliki gen khusus untuk leher panjang. Gen pertumbuhan lehernya sama dengan yang ada di tikus; tetapi mungkin gen itu diaktifkan untuk waktu yang lebih lama, sehingga akibatnya leher jerapah lebih panjang.
Sebagaimana Darwin menarik pelajaran dari fosil armadillo serta burung rhea dan pipit yang hidup (baca “Petunjuk Pertama Darwin,” halaman 34), para penerus ilmiahnya menggabungkan pengetahuan dari gen dan dari fosil untuk memahami sejarah kehidupan. Pada 2004, Neil Shubin dari University of Chicago dan rekan-rekannya menemukan fosil berumur 375 juta tahun di Arktika Kanada—makhluk yang pas untuk menempati celah antara ikan dan binatang yang hidup di darat. Mereka menyebutnya Tiktaalik yang bermakna “ikan air tawar yang besar” dalam bahasa Inuktitut di daerah itu. Walaupun jelas-jelas merupakan ikan dengan sisik dan sirip, Tiktaalik memiliki kepala pipih ala amfibi dengan leher yang khas dan tulang di dalam siripnya cocok dengan tulang lengan atas, bawah, dan bahkan pergelangan tangan binatang darat: inilah rantai yang hilang, jika memang ada. Satwa tersebut mungkin dapat hidup di air dangkal atau merayap di dalam lumpur saat menghindari pemangsa.
Sama menariknya adalah hal yang diungkap Tiktaalik kepada Shubin dan rekan-rekannya di dalam laboratorium. Gen fosil itu sudah hilang dalam kabut waktu. Namun, terilhami oleh temuan ini, para peneliti tersebut mempelajari penggantinya yang masih hidup—ikan-bertulang primitif yang bernama ikan moncong bebek (Polyodon spathula)—dan menemukan bahwa pola ekspresi gen yang membentuk tulang dalam siripnya sama dengan yang membentuk tungkai pada embrio burung, mamalia, atau satwa darat lainnya. Perbedaannya hanyalah bahwa gen itu diaktifkan lebih singkat pada ikan. Temuan ini menjungkirkan konsep yang lama dipercaya bahwa untuk mendapatkan tungkai perlu peristiwa evolusi yang radikal. “Ternyata perkakas genetis yang diperlukan untuk membuat tungkai sudah ada di sirip,” ujar Shubin. “Hal itu tidak melibatkan pembentukan gen baru dan proses pengembangan. Hal itu melibatkan pemakaian ulang resep genetis lama dalam cara baru.”
Walaupun membenarkan Darwin dalam berbagai cara, genetika modern juga menyoroti kesalahan terbesarnya. Ide Darwin tentang mekanisme pewarisan ternyata kacau—dan salah. Darwin berpendapat bahwa organisme menggabungkan sifat-sifat induknya dan di kemudian dalam kehidupannya, dia mulai meyakini bahwa organisme juga mewariskan sifat yang diperoleh semasa hidupnya. Darwin tidak pernah memahami, seperti pemahaman yang dimiliki pendeta Moravia Gregor Mendel yang sederhana, bahwa organisme sama sekali bukanlah gabungan kedua orang tuanya, melainkan hasil kumpulan dari banyak sekali sifat individu yang diteruskan oleh ayah dan ibunya dari orang tua mereka, dan kakek neneknya. Makalah Mendel yang menerangkan tabiat pewarisan itu diterbitkan pada 1866 dalam sebuah jurnal Moravia yang tak dikenal, hanya tujuh tahun setelah The Origin of Species. Dia mengirimkannya dengan penuh harap kepada beberapa ilmuwan terkemuka saat itu, tetapi tidak berhasil menarik perhatian. Menjadi nasib pendeta itu meninggal bertahun-tahun sebelum orang menghargai nilai penting penemuannya. Namun warisannya, seperti juga warisan Darwin tetap hidup hingga sekarang.