Paus Biru

By , Kamis, 5 Maret 2009 | 11:20 WIB

Sebuah cucur kapal dari logam yang disebut “mimbar” tampak menjulang di lambung karet Hurricane. “Mimbar” dibuat khusus untuk penelitian ini. Setiap kali kami berhasil mendekati paus, aku membuntuti Profesor Mate naik ke jeruji besi yang sempit di dek mimbar. Dari selubungnya, yakni tabung plastik tembus pandang yang diikat ke pagar mimbar, Mate mengeluarkan “aplikator” pening satelit, sebuah bedil dari logam merah berlaras panjang dengan popor kayu. Alat ini, yang aslinya adalah penemuan orang Norwegia untuk menembakkan tali pancing di antara kapal dengan kapal, mendapatkan tenaganya dari udara mampat dari tangki alat penyelam. Letusannya dapat disetel. Untuk paus biru, Mate menyetel putarannya pada 6 kilogram per cm persegi untuk tekanan. Untuk paus sperma (Physeter macrocephalus), yang kulitnya sangat keras, Mate menyetel tekanan pada 8 kilogram. Aku dan Mate sama-sama mengenakan harnes pinggang yang kami kaitkan ke tali pengaman di pagar mimbar sehingga tangan kami bebas untuk menembak. Bagian pertama yang kami lihat dari seekor paus hampir selalu semburannya.!break!

Ketika Matahari sudah berada di belakang kami, terkadang kami melihat tebaran warna-warni prismatik dalam ledakan semburan dan uap yang menyebar—pelangi selama sepersekian detik, kemudian warna itu memudar dan pancaran itu berangsur-angsur memutih.Setiap kali paus biru berenang ke permukaan untuk menyembur dalam jarak yang dekat, aku terpukau oleh lubang semburnnya—sepasang lubang hidung yang terbenam di puncak penangkal-percikan yang tampak seperti timbunan daging meruncing, mirip hidung di bagian belakang kepala. Paus balin lainnya juga memiliki penangkal-percikan, tapi tidak seperti yang ini. Hidung yang ini seperti hidung orang Roma. Ukurannya besar dan tidak proporsional, bahkan juga untuk paus terbesar. Ukurannya yang besar tersebut menjelaskan mengapa hembusan napas paus biru begitu nyaring bertenaga—tidak seperti bunyi napas, melainkan seperti ledakan—dan ukurannya yang besar itu menjelaskan mengapa semburan air paus itu setinggi sembilan meter. Semburan yang sangat bertenaga dan diikuti dengan cepat oleh tarikan napas yang juga sangat bertenaga.

Hal kedua yang kami lihat adalah punggungnya. Paus biru “secara keseluruhan berwarna abu-abu muda kebiruan, dihiasi bercak berwarna abu-abu atau putih kelabu,” sebagaimana digambarkan oleh seorang pemandu lapangan, dan memang benar punggung paus biru biasanya menampilkan warna ini, tetapi sering juga punggung itu tampak abu-abu keperakan atau warna kulit yang pucat, tergantung cahaya. Yang mana pun warnanya, punggung paus biru selalu mengilap. Dari dekat, akan terlihat air membilas punggung raksasa itu, mula-mula mengalir seperti anak sungai dan lembaran air, kemudian berupa lapisan tipis yang mengalir dengan indahnya, dengan pola berdenyut-denyut menurun memasuki lautan.

Jika di atas air warna paus biru hanya biru, kurang-lebih, di bawah air satwa itu tak diragukan lagi tampak berwarna biru pirus. Balaenoptera musculus adalah paus pucat, dan ketika dilihat melalui filter biru, yakni lautan, warna pucatnya berubah menjadi biru pirus atau hijau kebiruan atau akuamarin. Tampilan paus biru di bawah air dengan kedalaman 5-15 meter air adalah yang paling menghantui dan menggugah diriku.

Jika warna terelok yang ditampilkan paus biru adalah biru pirus, bentuknya yang tercantik, patung yang terindah, adalah sirip ekornya. Pada pekan pertama upaya kami memasang pening, ekor paus biru selalu tampak seperti melambai-lambai mengucapkan selamat tinggal. “dadah,” begitu lambaiannya. “Boleh juga usahamu. Lain kali lebih beruntung ya.” Manakala paus menunjukkan sirip ekornya—ketika dua bilah yang mirip telapak tangan menjulang tinggi di udara—kami menghentikan pengejaran karena ujung ekor yang menjulang tinggi berarti penyelaman yang dalam.!break!

Namun, ada kalanya kami melihat ujung ekor itu berada di bawah air dekat permukaan. Bagian itu besar sekali, lebih lebar daripada perahu dan saat bergerak sungguh indah memukau. “Tidak ada makhluk hidup lain yang menampilkan garis kemolekan lebih indah daripada yang ditampilkan oleh garis tepi bak bulan sabit dari sirip ekor ini,” tulis Melville dalam Moby Dick.Bagian terakhir yang kami lihat dari paus tesrebut adalah "jejak ekor”nya.

Ketika paus atau lumba-lumba berenang di air dangkal, turbulensi yang diakibatkan oleh sirip ekornya naik membentuk lingkaran air di permukaan; inilah jejak kaki atau jejak sirip ekor. Jejak sirip ekor paus biru amat besar dan lama tak dinyana. Lapisan air yang mulus itu masih tetap ada ketika si paus sudah lama berlalu. “Ini menunjukkan betapa besarnya tenaga yang digunakan pada kayuhan ekor itu,” kata Mate di suatu siang ketika dia melihatku menatap salah satu lingkaran tersebut. Lingkaran jejak ekor benar-benar mulus, kecuali adanya sedikit ombak lemah yang menandai pembalikan massa tenaga itu. Pada akhirnya sayatan air laut mulai mengikis kilapan melingkar itu dari luar ke dalam, tetapi dengan amat lambat.

Jejak ekor yang kuat itu adalah salah satu dari sekian tanda yang mengecilkan hati, yang membuat kami menghentikan pengejaran. “Astaga!” seru Mate di suatu siang, kala kami bergerak masuk ke tengah-tengah lingkaran yang sangat besar. Ladd Irvine, asisten peneliti yang bertugas sebagai jurumudi, tertawa kagum: “Kita tak akan melihatnya lagi untuk sementara waktu.”

Di mimbar, sang profesor merentangkan kedua kaki menyeimbangkan diri, menyenderkan pantat aplikatornya di atas kisi besi dek mimbar, dan mencengkeram laras tepat di bawah ujung tajam pening satelit yang mengisi mulut senapan. Celana khakinya yang cepat mengering menantang angin dan berkibar-kibar dihembus angin laut, dan sesekali angin semilir membawa bau menyengat, bau basi dan apak, kadang bercampur bau kentut yang busuk. Ya ampun, Bruce! Begitu pikirku berkali-kali. Kemudian di suatu hari, di kala angin berdesir di celana khakinya dan kami mendekati semburan di depan, si profesor mengeluarkan ledakan bau yang begitu menyengat, tak manusiawi, dan begitu busuk sehingga aku baru sadar bahwa Mate pastilah tidak bersalah. Yang selama ini kucium bukanlah bau pemimpin kami. Aku mencium bau busuk napas paus biru.!break!

Selama hampir sepekan di perairan kubah, semua paus berkelit dari kami. Pada hari keenam, keberuntungan kami berubah. Kami melihat tiga semburan di arah tenggara pagi itu. Kami pun meluncurkan Hurricane.

Seperti biasa, dua ekor paus yang pertama mempermainkan kami. Membiarkan kami mendekat, lalu menjauh lagi. Yang ketiga membiarkan kami berada dalam posisi yang sempurna. Kami mengimbangi kecepatan si biru pirus raksasa, tetap berada di samping sirip ekor tatkala paus itu meluncur di bawah air di sisi lambung kanan perahu. Di saat berenang ke permukaan untuk menyemburkan udara, satwa itu berubah warna dari biru pirus yang samar-samar menjadi warna yang tajam seperti dalam foto. Irvine menambah tenaga mesin. Di atas mimbar, kulepaskan pengaman busur-silangku. Mate mengepit popor aplikator pening di bahunya, menjulur ke luar pagar mimbar, dan mengarahkan laras merah panjang nyaris tegal lurus ke bawah ke paus yang sedang naik ke permukaan itu, yang sekarang hanya berada tiga meter di bawah permukaan. Paus itu menyembur dan dinding bagian samping tubuhnya yang mengilap menyeruak seperti kurva tajam di atas laut.

Sebagai juru biopsi, aku diperintahkan untuk menunggu suara letusan aplikator pening sebelum menembakkan busur-silangku. Tubuh samping si paus yang mulus memenuhi bidang pandanganku; tidak mungkin tembakanku luput. Ketika terdengar suara letusan aplikator, kutekan picu. Peluru bautkuku melesat dari busur-silang dan sebuah lubang hitam, kecil tetapi penuh darah hitam muncul di bagian yang kubidik. Butuh waktu sepersekian detik ketika kusadari bahwa akulah penyebab luka itu dan kurasakan hempasan rasa sesal dan bersalah. Akukah yang melakukan hal itu? Aku merasa seperti anak lelaki yang bola pukulan kastinya menembus jendela kaca.