Berakhirnya Pangan dan Minyak Murah

By , Rabu, 18 Maret 2009 | 10:56 WIB

Ita duduk menjengkang. Pagi ini tidak terlalu ramah, baru jam sembilan matahari Jakarta terasa begitu panas. Angin menerbangkan debu jalanan sampai ke rambutnya. Muka perempuan 35 tahun itu kuyu kurang tidur, setelah semalam ia pulang larut karena berkeliling menyanyi bersama rombongan dangdut dorongnya. Cuma sepuluh ribu rupiah yang dibawanya pulang, senilai satu bungkus nasi di warung depan gang rumahnya. Dia dan suaminya Mandra, tinggal di rumah kontrakan, di sebuah gang sempit kawasan Manggarai, Jakarta Pusat, yang padat dan kumuh. !break!

Dompet yang tandas menjelang tengah hari sehingga tak ada sisa untuk makan siang sudah menjadi menu kesulitannya tiap hari. Tagihan listrik tak dipikirkannya. Toh ia bisa menunggak dulu. Nasi juga masih bisa digantinya dengan goreng-gorengan yang berminyak, lumayan untuk mengganjal perutnya seharian. Suaminya Mandra, 37 tahun, buta huruf. Alhasil cuma bisa bekerja serabutan sebagai pengumpul botol air kemasan bekas.

Meskipun sudah ditambah penghasilan suaminya, mereka tetap tak bisa mencukupi gizi si bungsu yang berusia tiga tahun. ”Kasihan anak saya, tidak bisa makan yang bergizi,” katanya. Si sulung, 13 tahun, sudah lama tak sekolah dan dititipkan pada neneknya di Depok.

Ita-Ita yang lain di Jakarta jumlahnya 380 ribu orang, yang tidak mampu makan sehari tiga kali, apalagi pakai nasi dan daging. Di Indonesia jumlahnya bahkan mencapai 52 juta orang, sekitar 25 persen dari jumlah penduduk.

Ketika mengamen dangdut dorong, seringkali Ita melewati Jalan Latuharhary dan Sultan Agung, tepat di atas rumah Saripah, kalaupun itu bisa disebut rumah: ”atap” kokoh dari beton, kerangkanya baja, tapi dindingnya hanya triplek dan koran, menggantung di atas kali Ciliwung. Ia memang tinggal di kolong jembatan, dan setiap saat bila ngelindur, bisa nyemplung lalu hanyut terbawa air. ”Sudah ada kejadian nyebur ke kali,” ujarnya sambil tersenyum lirih.

Dia mengaku baru saja mengambil jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan uang tunai Rp 300 ribu dari pemerintah untuk meringankan beban kelompok miskin akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Mengaku menghindari sulitnya hidup di kampung tanpa pekerjaan, ia datang ke Jakarta bersama suaminya, bekerja sebagai pemulung. Kadang ada dermawan yang datang memberi nasi bungkus dan pakaian, tapi tetap saja penghasilan mereka tak cukup bahkan untuk sekedar makan nasi dengan telur tiga kali sehari.!break!

Dina Andriani tinggal di Bogor, hidup bersama suami dengan satu anak berumur dua tahun. Mereka bekerja di Jakarta, dengan penghasilan yang cukup untuk makan tiga kali, membeli susu bayi dan sesekali pelesiran keluarga. Karena jarang makan di rumah, mereka cuma menghabiskan Rp 40 ribu sebulan untuk membeli lima kilogram beras organik. Kenaikan harga beras yang sepuluh persen beberapa minggu lalu tidak terlalu memengaruhi kondisi keuangannya. ”Tapi kami harus berhemat karena harga apa saja sekarang naik terus,” katanya.

Bulan April lalu ketika PBB menetapkan 37 negara dalam krisis pangan, Indonesia justru mencapai prestasi yang tak terbayangkan sebelumnya: surplus produksi beras seperti swasembada tahun 1984. Menurut perhitungan Departemen Pertanian tahun ini produksi beras nasional akan mencapai 60 juta ton atau surplus dua juta ton. Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani memberikan data lebih rinci: Produksi beras meningkat 4,8%, jagung 14,4%, gula 6,1%, CPO 6,1%, daging sapi 5,6%. Akan tetapi kedelai turun 20,8% karena pilihan rasional petani yang lebih memilih padi, namun ini akan diperbaiki di 2008,” katanya di depan DPR. ”Surplus ini menjauhkan Indonesia dari krisis pangan,” kata pengamat pertanian Bustanul Arifin.

Keluarga Ita, Saripah, dan Dina memang tak menganggap harga beras yang Rp6.000 - Rp7.000 per kilogram itu sebagai masalah, dengan alasan berbeda-beda. Namun, sampai kapan harga beras ”murah” ini bertahan, itulah pertanyaan besarnya.

Dalam bulan Mei saja kenaikannya Rp 500 per kilogram. Sementara catatan demografi menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia mendekati 210 juta orang, dengan pertumbuhan 1,6 persen per tahun, setara dengan menyuapi tambahan mulut baru 3,36 juta orang pada tahun depan. Bila setiap orang butuh beras 120 kilogram per tahun sama seperti jatah beras untuk pegawai negeri, maka diperlukan tambahan beras lebih dari empat juta ton tahun depan dan akan terus naik.

Bustanul Arifin mengungkapkan cara penghitungan produksi beras model Departemen Pertanian. Menurutnya, perhitungan produksi tahun lalu telah dilipatduakan pemerintah karena dianggap sebagai tahun basah, meskipun memang ada sedikit peningkatan produksi beras. Bustanul mengingatkan krisis pangan bisa segera datang bila kekeringan yang mungkin terjadi tahun ini tidak diantisipasi dengan manajemen stok beras oleh Bulog. Belum lagi dampak perubahan iklim yang telah menimbulkan ketidakpastian musim tahun-tahun belakangan. ”Kalau tahun ini menjadi tahun kering, maka produksi akan mengalami penurunan,” tegasnya.!break!

Bila prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) tidak melenceng, untuk memberi makan nasi 425 juta penduduk pada tahun 2030, Indonesia memerlukan 59 juta ton beras, dengan asumsi konsumsi per kapita sebesar 139 kg per tahun.

Pemerintah tetap memerlukan setiap kilogram surplus beras untuk disimpan di gudang Bulog, karena luas lahan sawah terus berkurang. Bila sawah di Jawa mampu berproduksi enam ton per hektare, maka untuk memberi surplus satu juta ton saja dibutuhkan 166 ribu hektare sawah baru. Kenyataannya, produksi nasional rata-rata hanya 4,76 ton per hektare.

Masalahnya, Pulau Jawa sebagai pemasok sebagian besar beras nasional sedang sekarat. Anggota tim Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa Hariadi Kartodihardjo mengungkapkan, sebagian besar Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa menginginkan pendapatan jangka pendek yang cepat. Akibatnya semua Perda yang dikeluarkannya tidak melalui konsultasi dengan masyarakat luas. Menurut data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, luas tutupan hutan di Pulau Jawa tahun 2007 hanya tersisa 8,2 persen atau 1,08 juta hektare dari total luas daratan yang mencapai sekitar 13,2 juta hektare. Menurut kajian tim yang bekerja selama tahun 2006, dalam lima tahun saja (2000-2005), hampir semua kawasan hutan dan semak belukar di Jawa mengalami penurunan tutupan, tetapi kawasan permukiman justru bertambah hingga 31 persen.

Setiap tahun, lebih dari 100 ribu hektare hutan di Jawa yang dikonversi untuk kepentingan nonkehutanan seperti perkebunan dan permukiman. Akibatnya, awal tahun ini Jawa seperti tenggelam dalam banjir yang tak berkesudahan, tanah longsor dan kekeringan yang meluas ketika musim kemarau yang menyebabkan pusonya ratusan ribu hektare sawah.

Pakar ekologi Universitas Indonesia Hasroel Thayib punya hitungan sendiri soal daya dukung sawah di Jawa. Menurutnya, karena dibutuhkan minimal 0,7 hektare bagi setiap petani agar bisa disebut hidup layak, maka Pulau Jawa hanya cukup menampung 15 juta orang, karena tanah pertanian produktif yang ada cuma 13,21 juta hektare dan tanah yang layak diubah menjadi sawah cuma 10,5 juta hektare. Sisanya adalah tanah dengan kemiringan curam yang tidak cocok untuk sawah, atau kawasan penyangga fungsi-fungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan air bagi sawah-sawah yang ada. Jadi, sedikit saja konversi lahan sawah berakibat pada menyusutnya produksi padi nasional. !break!

Menurut dia, pangkal masalahnya adalah kebiasaan orang Indonesia makan nasi bukan makan pangan dari hutan seperti sagu. «Padahal sagu dimakan ratusan tahun sebelum beras, »katanya. Ia mengusulkan membuka hutan sagu di Kalimantan seukuran setengah kali Jawa Barat atau sekitar 150 kilometer persegi. «Sagu sebanyak itu bisa memberi makan 450 juta orang setahun, tanpa terputus, »katanya, « dan lingkungan pasti terselamatkan karena sagu hidup di hutan, tak perlu dipupuk.” Tambahan lagi, sagu tak menghasilkan gas metana yang merupakan salah satu gas rumah kaca. Kandungan vitamin dan proteinnya pun dapat disesuaikan dengan metode transgenik. Apalagi katanya, ia mengaku sudah berhasil mengganti kedelai dengan biji saga, karena kandungan vitamin dan mineralnya sama. “Mari mengganti sepiring nasi dengan sagu atau sukun untuk menyelamatkan Pulau Jawa,” ujarnya.

Empat mobil berhenti di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang megah di Jalan Latuharhary, Jakarta Selatan beberapa meter di seberang rumah kolong Saripah, di atas Kali Ciliwung. Sekitar 20 perempuan turun dan mengadu ke Komnas tentang pecahnya konflik dengan perkebunan kelapa sawit. Mereka bekerja sebagai buruh dan petani sawit rakyat di sembilan provinsi seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, yang terimbas ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala besar yang mencaplok lahan mereka.

Laju pembukaan kebun kelapa sawit skala besar di Indonesia memang seolah tak bisa dihentikan dan membuat cemas para aktivis lingkungan. Setiap tahun sekitar 400 sampai 600 ribu hektare hutan dikonversi menjadi kebun sawit. Pada tahun 1968, luas areal baru 120.000 hektare dan menjadi 5,16 juta hektare pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 diproyeksikan mencapai 6,046 juta hektare. Kebun sawit di Pulau Sumatera terdiri dari perkebunan rakyat, perkebunan swasta skala besar dan perkebunan negara skala besar, sedangkan di Pulau Kalimantan dan Sulawesi dikembangkan perkebunan swasta skala besar dan perkebunan rakyat.

Ekspansi perkebunan sawit, kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sawit Didiek Hadjar Goenadi, memberikan devisa kepada negara 12 miliar dolar. Didiek menyebut luas perkebunan sawit di Indonesia tahun 2007 mencapai 6,2 juta hektare dan menghasilkan 17,2 juta ton minyak sawit mentah (CPO). Deputi Direktur Sawit Watch Abed Nego memperkirakan luas total pembukaan perkebunan sawit di berbagai daerah di Indonesia mencapai 20 juta hektare, sebagian besar merupakan hasil konversi hutan tropis dan lahan gambut yang banyak menyimpan karbon.

Pembukaan kebun sawit skala besar, antara lain dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi yang menembus batas psikologis US$100 perbarel. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memerintahkan percepatan pencarian sumber-sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, dan minyak sawit menjadi alternatif paling cepat untuk menggantikan solar (biodiesel). Beberapa bulan setelah Presiden bicar, kelangkaan minyak goreng di berbagai daerah yang menyebabkan harganya melonjak dari Rp6.000 menjadi Rp15.000 perkilogram, dan menjadi pukulan pertama terhadap untuk rencana pemerintah mencari energi pengganti minyak. Pada saat bersamaan ada kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) karena tingginya permintaan biodiesel dunia. Rupanya rencana Uni Eropa untuk mengganti bahan bakar fosil dengan biofuel pada sektor transportasi hingga 5,8-10 persen secara bertahap sampai tahun 2020 telah mendorong kenaikan permintaan CPO.!break!

Pengusaha minyak goreng tidak memiliki kewajiban memenuhi konsumsi dalam negeri seperti pada minyak bumi, memilih melempar CPO ke pasar ekspor. Data Food Agriculture Organisation (FAO) tahun 2007 juga menunjukkan produksi biji-bijian dunia seperti padi, jagung, gandum mencapai rekor tertinggi yaitu 2,1 miliar ton atau naik lima persen dari tahun sebelumnya tetapi ternyata hanya 1,1 miliar ton dikonsumsi, sedangkan sisanya diolah menjadi bahan bakar nabati.

Christian Purba dari Forest Watch Indonesia menyarankan agar pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tegas kepada para pengusaha kelapa sawit dan bahan bakar nabati, untuk bertanam di lahan kritis. «Toh para pengusaha juga yang membiarkan lahan itu menjadi kritis karena cuma ingin kayu saja, »ungkapnya, »sekarang saatnya membuktikan bahwa budidaya tanaman untuk biofuel bisa dilakukan di lahan kritis, bukan dengan membuka hutan.» Bustar Maitar dari Greenpeace Indonesia menyebut angka 32 juta hektare hutan yang telah dilepas izinnya untuk kelapa sawit, tetapi cuma 6,6 juta hektare yang sudah ditanami, padahal jika dalam waktu tiga tahun lahan itu tidak dikerjakan, izinnya harus dicabut, « Sebagian izin itu dikeluarkan tahun 1990-an,» kata Bustar, «dan kami sangat khawatir sebagian pengusaha itu memang cuma mau mengambil kayu saja.»

Di Jakarta Convention Center, sekitar 20 kilometer di selatan rumah Ita dan Saripah, awal Juni lalu berlangsung konferensi tiga hari sekitar seratus perusahaan kontraktor minyak dan gas. Konferensi yang terang benderang oleh listrik itu menghabiskan biaya lima miliar rupiah, setara membagi BLT Rp 300 ribu untuk 16.667 orang. ”Ini kan cuma forum kangen-kangenan, tidak pernah ada hasil yang penting dari sini,” kata seorang peserta.

Optimisme datang dari Kepala Badan Pengelola Migas Prijono, produksi minyak Indonesia akan bisa ditingkatkan menjadi satu juta barel perhari pada akhir tahun 2008. Produksi itu, tentu saja tidak bisa mengerem laju kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia tetapi akan memperbesar peluang pemerintah untuk membantu kelompok miskin seperti Ita dan Saripah. Tanda-tanda kenaikan itu belum juga terlihat sampai pertengahan tahun, dan seperti pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kenaikan produksi tinggal angan-angan. Bahkan produksi dari lapangan mudah dieksploitasi seperti lapangan Cepu yang dikelola Pertamina dan ExxonMobil Indonesia di Jawa Timur, tidak juga mengucurkan minyak. ”Sebagian besar lapangan minyak Indonesia adalah lapangan tua, jadi sulit diangkat produksinya,”kata Prijono.

Bukan cuma penurunan produksi tetapi konflik pertanahan dan rendahnya investasi menyebabkan produksi minyak Indonesia terus merosot, meskipun jarang diakui para kontraktor minyak. ”Kami tidak ada masalah di lapangan, tapi memang butuh waktu tiga tahun untuk berproduksi,” kata jurubicara ExxonMobil Indonesia, Deva Rachman, setelah berbulan-bulan dipusingkan masalah harga tanah yang tak kunjung kelar. Sekarang, ExxonMobil memerlukan anah 20 hektare untuk tahap awal dan 700 hektare setelah berproduksi dalam skala penuh. ”Kami akan mendapatkannya,” kata Deva. dan seandainya tanah itu berhasil dibeli, sebagian besar adalah lahan sawah yang produktif. Kontraktor asal Houston, Amerika Serikat itu memang sedang mengejar tenggat produksi dari lapangan Banyu Urip di Cepu, setidakanya pada tanggal 10 Desember, tepat di hari ulang tahun Pertamina. !break!

Lapangan minyak tua (mature) juga menjadi salah satu masalah serius bagi kontraktor migas. ”Penurunan produksi lapangan Chevron tergolong alami, karena lapangannya sudah tua,”kata General Manager Exploration, Production Technology & Operation Support Chevron Asia, Bambang Pratesa. Saat ini produksi Chevron di Riau menyumbang hampir 50 persen produksi minyak nasional. Alhasil, tanpa penemuan lapangan baru dalam sepuluh tahun terakhir, produksi minyak Indonesia tahun lalu rata-rata 910 ribu barel perhari atau terendah dalam 35 tahun terakhir. Kesenjangan antara angka produksi dengan konsumsi yang besarnya berkisar 200-300 ribu barel perhari menyebabkan Indonesia sudah menjadi net oil importer sejak tahun 2005.

Pengamat perminyakan dan mantan Kepala Badan Pembinaan Pengusahaan Kontaktor Asing (Sekarang BP Migas) Effendi Situmorang mengatakan sulit bagi lapangan Banyu Urip menghasilkan devisa pada akhir tahun ini, karena mereka belum menyiapkan fasilitas pengelolaan dan pemipaan untuk mengalirkan minyaknya. ”Kalau cuma mengucurkan minyak dari sumur sih mungkin saja,”katanya.

Effendi memperkirakan bila harga minyak dunia naik terus, maka tambahan produksi baru di dalam negeri tidak akan bisa mempertahankan harga bahan bahan bakar minyak tetap seperti sekarang. Pasalnya dari sekitar satu juta barel produksi minyak perhari (bpd), pihak Indonesia cuma memiliki hak sekitar 500 ribu barel, karena dipotong bagi hasil dengan kontraktor dan mengembalikan biaya produksi yang dikeluarkan (cost recovery). Akibatnya, dengan tingkat konsumsi 1,1 juta bpd, Indonesia masih harus mengimpor 500-an ribu bpd, dengan harga pasar. Artinya makin tinggi harga minyak dunia maka subsidinya semakin membengkak. ”Seandainya harga minyak Indonesia tidak dipatok 100 dolar perbarel dalam APBN, maka surplus penerimaan akan tinggi, karena biayanya ekspoitasinya cuma sekitar 15 dolar perbarel,”katanya. Tanpa perubahan kebijakan APBN, kenaikan harga minyak dunia hampir pasti menambah beban hidup untuk jutaan Ita dan Sari di seluruh Indonesia.