Nirwana Es

By , Senin, 6 April 2009 | 13:58 WIB

Dari abad ke-17 hingga ke-19, para pemburu berlayar ke Svalbard untuk memburu paus di wilayah itu. Paus yang tebal lapisan lemaknya dapat diubah menjadi minyak paus dan menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Dalam perjalanan menuju Svalbard pada 1612, kapten dari sebuah kapal Belanda melaporkan bahwa Laut Barents begitu penuh paus sampai-sampai haluan kapal membelah makhluk-makhluk tersebut seolah memotong melalui onggokan es. Di akhir abad ke-18, selera dunia yang tidak terpuaskan akan minyak paus telah hampir memusnahkan satwa tersebut. Perahu-perahu Belanda saja telah mengambil sekitar 50.000 paus kepala lengkung, mamalia yang paling lama hidup di planet ini. Penjagalan komersial ini membuat spesies tersebut mendekati kepunahan (saat ini lebih dari 10.000 paus kepala lengkung bertahan hidup, kebanyakan di Laut Bering, Laut Chukchi, dan Laut Beaufort). Setelah menyembelih paus, para pemburu mengalihkan perhatian mereka kepada walrus—untuk gadingnya—dan hampir menghabisi spesies itu juga.!break!

Pada akhir Perang Dunia I, Perjanjian Svalbard memberikan Norwegia kedaulatan atas kepulauan yang sumber daya–sumber dayanya juga diincar oleh Swedia dan Rusia itu. Perjanjian tersebut terbukti menjadi titik balik. Selama sisa abad ke-20, para pejabat Norwegia menghentikan perburuan yang bebas untuk semua dan mengubah salah satu lahan pembunuhan hidupan liar terbesar di dunia menjadi salah satu suaka paling dilindungi. Saat ini 65 persen pulau-pulau Svalbard dan 75 persen daerah-daerah lautnya terletak di dalam taman nasional atau cagar alam. Suatu hal yang luar biasa terjadi ketika Anda memberi tempat tinggal dan kedamaian kepada satwa-satwa: jumlah mereka melimpah. Populasi walrus Svalbard yang menurun jadi beberapa ratus ekor pada 1950-an telah melonjak kembali hingga lebih dari 2.600 ekor pada 2006. Hanya seribu rusa kutub merumput di lembah-lembah pada 1920-an. Saat ini beberapa ahli yakin bahwa mungkin terdapat sekitar 10.000 ekor.

Hari-hari di mana terjadi pembantaian terang-terangan telah berlalu, tetapi manusia terus menekan hidupan liar di sini dalam cara-cara yang tidak langsung. Racun seperti PCB dan senyawa-senyawa yang mengandung fluorine terbawa ke Svalbard di udara dan arus samudra kemudian terperangkap di jaringan-jaringan lemak burung camar biru keabuan, burung laut besar, rubah kutub, dan anjing laut bercincin, membahayakan sistem kekebalan mereka. Beruang kutub membawa kadar polutan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kerabat-kerabat mereka di Alaska dan Kanada. Sementara itu, perubahan iklim memaksa pemunduran dari onggokan es musim panas, membahayakan beruang-beruang kutub di wilayah itu. Hidupan liar yang berlimpah di Svalbard telah beradaptasi pada salah satu habitat paling keras di Bumi. Seiring suhu meningkat, burung, ikan, dan mamalia tersebut akan dipaksa untuk beradaptasi lebih jauh lagi.

Barangkali ada alasan bagi harapan akan cara-cara aneh hidupan liar Svalbard yang telah menyesuaikan diri dengan manusia, pemangsa yang berubah jadi pelindung. Di tempat tinggal terpencil di pertambangan batu bara di Barentsburg, lusinan kittiwake berkaki hitam memperlakukan bangunan-bangunan yang ditinggalkan seolah tebing-tebing. Satwa tersebut membuat sarang di pinggir-pinggir jendela. Pada tengah malam atau tengah hari—tidak ada bedanya bagi burung--induk-induk melompat keluar dari pinggiran untuk membuntuti ikan yang berkelompok di pelabuhan di bawahnya. Dalam cara kecil mereka sendiri kittiwake memperluas ujung yang mungkin, ujung jendela demi ujung jendela. Sesuatu yang cerdas tetapi bukannya tidak lazim untuk Svalbard. Di sini peluang dan kelimpahan sering muncul di tempat-tempat tidak terduga.