Menelusuri Angkor

By , Jumat, 26 Juni 2009 | 12:37 WIB

Dari udara, candi berumur ratusan tahun itu terlihat dan hilang silih berganti bagai halusinasi. Mulanya, candi itu tampak seperti sekadar noda cokelat-kemerahan di tajuk hutan Kamboja utara. Di bawah kami terbentang kota Angkor yang hilang, yang kini tinggal reruntuhan dan umumnya didiami oleh petani sawah. Kumpulan rumah Khmer yang berupa rumah panggung untuk mengatasi banjir selama musim hujan bertebaran di atas lanskap, mulai dari Danau Tone Sap, “danau besar” Asia Tenggara yang letaknya sekitar 30 kilometer di sebelah selatan, hingga Perbukitan Kulen yang mencuat dari bantaran banjir, juga sekitar 30 kilometer di sebelah utara. Lalu, tatkala Donald Cooney memandu pesawat ultraringan melintasi pucuk pepohonan, candi megah itu pun muncul. !break!

Banteay Samre, candi Dewa Wisnu abad ke-12 yang dipugar pada 1940-an adalah cermin puncak kejayaan Kerajaan Khmer abad pertengahan. Candi itu terkungkung di dalam dua lapis tembok segi empat yang konsentris. Mungkin dulu tembok ini dikelilingi parit yang melambangkan samudra yang melingkari Gunung Meru, kediaman dewa-dewi Hindu dalam mitos. Banteay Samre hanyalah satu di antara lebih dari 1.000 kuil yang didirikan bangsa Khmer di kota Angkor pada masa pembangunan pesat yang skala dan ambisinya menandingi piramida Mesir. Setelah kami lewat, kujulurkan leher untuk melihat sekali lagi. Candi itu telah menghilang ke dalam hutan.

Angkor adalah tempat di mana salah satu peradaban terbesar dalam sejarah hilang tanpa sepenuhnya diketahui apa sebabnya. Kerajaan Khmer berkuasa dari abad ke-9 hingga abad ke-15 dan pada puncak kejayaannya mendominasi wilayah nan luas di Asia Tenggara, dari Myanmar di barat hingga Vietnam di timur. Hingga 750.000 orang tinggal di Angkor, ibu kota Kerajaan Khmer yang membentang di wilayah sebesar Kabupaten Tangerang, membuatnya menjadi kota terluas di dunia praindustri. Pada akhir abad ke-16 saat misionaris Portugis menemukan menara-menara berbentuk teratai di Angkor Wat—candi terumit di kota itu dan monumen agama terbesar di dunia—ibu kota yang dulu gilang-gemilang itu sudah sekarat.

Para cendekiawan telah mengajukan daftar panjang berisi dugaan penyebab kehancuran itu, termasuk penyerbu yang serakah, perpindahan agama, dan pergeseran ke perdagangan maritim yang meruntuhkan kota pedalaman itu. Hanya saja, sebagian besar isi daftar tersebut adalah tebakan belaka: kira-kira ada 1.300 tulisan di kusen pintu candi dan prasasti yang berdiri sendiri, tetapi warga Angkor tak meninggalkan sepatah kata pun yang menjelaskan tentang keruntuhan kerajaan mereka. !break!

Penggalian baru-baru ini, bukan di candi tetapi penggalian infrastruktur yang mendukung kota luas itu, mengerucut pada jawaban baru. Sepertinya, Angkor hancur justru akibat kecerdasan yang sebelumnya telah berjasa mengubah sekelompok kerajaan kecil menjadi sebuah kekaisaran. Peradaban ini belajar cara menjinakkan banjir musiman Asia Tenggara, lalu memudar saat kendali mereka atas air yang merupakan sumber daya terpenting itu melemah.

Sebuah laporan pengamatan langsung yang menarik menghidupkan kembali kota itu pada puncak kejayaannya. Zhou Daguan, seorang diplomat China, melewatkan hampir setahun di ibu kota itu pada akhir abad ke-13. Ia hidup sederhana sebagai tamu di sebuah keluarga kelas menengah, yang makan nasi dengan sendok sabut kelapa dan minum arak yang terbuat dari madu, daun, atau nasi. Ia menggambarkan suatu praktik mengerikan, yang ditinggalkan masyarakat tak lama sebelum kunjungannya, yang melibatkan mengumpulkan empedu manusia dari donor hidup sebagai minuman penambah keberanian. Perayaan agama menampilkan kembang api dan adu celeng. Pemandangan terhebat terjadi saat sang raja keluar ke tengah-tengah rakyatnya. Iring-iringan kerajaan meliputi gajah dan kuda berhiaskan emas, dan ratusan dayang-dayang berhiaskan bunga.

Ritme harian Angkor juga digambarkan dalam pahatan yang berhasil melewati berabad-abad kerusakan dan, lebih belakangan, perang. Relief-tipis di permukaan candi menggambarkan adegan sehari-hari—dua lelaki menekuri permainan papan, misalnya, dan perempuan melahirkan di paviliun yang teduh—dan memperingati dunia arwah yang dihuni makhluk-makhluk seperti apsara, yaitu bidadari penari memikat yang menjadi utusan antara manusia dan dewa-dewi.

Relief-tipis juga menyingkap adanya masalah di kahyangan. Berselang-seling dengan pemandangan kedamaian di Bumi dan pencerahan surgawi adalah adegan perang. Di salah satu relief-tipis, tergambar pendekar bertombak dari kerajaan tetangga, Champa, berjejalan dari haluan hingga buritan kapal yang menyeberangi Tonle Sap. Adegan ini diabadikan dalam batu, tentu saja karena bangsa Khmer menang perang. !break!

Meski menang dalam pertempuran itu, Angkor dikoyak-koyak persaingan yang membuatnya semakin rapuh terhadap serangan dari Champa di timur dan kerajaan tangguh Ayutthaya di barat. Raja Khmer memiliki beberapa istri dan hal ini membuat suksesi menjadi kabur sekaligus senantiasa menimbulkan intrik saat para pangeran berebut kekuasaan. “Selama berabad-abad, keadaannya seperti War of the Roses. Negara Khmer sering tidak stabil,” kata Roland Fletcher, arkeolog di University of Sydney dan salah satu direktur sebuah upaya penelitian bernama Greater Angkor Project.

Beberapa cendekiawan yakin bahwa Angkor mati di jalan kehidupan yang ditekuninya: dengan pedang. Prasasti sejarah Ayutthaya menyatakan bahwa serdadu kerajaan itu “merebut” Angkor pada 1431. Tentu kota Khmer yang makmur itu merupakan hasil perang yang melimpah: Prasasti sesumbar bahwa menara candinya berlapis emas, hal yang dikonfirmasi oleh laporan Zhou yang deskriptif. Untuk mencocokkan berbagai kisah tentang kemakmuran Angkor dengan reruntuhan tak terurus yang ditemukan pelancong Barat, para sejarawan Prancis seabad lalu lewat catatan sejarah yang menggoda itu menyimpulkan bahwa Ayutthaya menjarah Angkor.

Fletcher yang mengaku terobsesi ingin “memahami apa yang menyebabkan permukiman itu tumbuh lalu mati,” meragukan hal tersebut. Menurut dia, beberapa cendekiawan awal memandang Angkor melalui lensa pengepungan dan penaklukan ala sejarah Eropa. “Sang penguasa Ayutthaya memang berkata dia merebut Angkor, dan mungkin membawa pulang pataka kerajaan ke Ayutthaya,” kata Fletcher. Namun setelah Angkor diduduki, penguasa Ayutthaya menobatkan putranya di singgasana. “Kecil kemungkinan dia menghancurkan tempat itu sebelum memberikannya kepada putranya.”

Intrik di istana mungkin tidak mengganggu sebagian besar rakyat Angkor, tetapi agama adalah hal penting dalam kehidupan sehari-hari. Angkor adalah kota yang disebut para antropolog sebagai kota ritual-kerajaan. Raja-rajanya mengklaim diri sebagai penguasa dunia dalam riwayat Hindu dan mendirikan candi yang memuja diri mereka sendiri. Namun, saat Agama Buddha Theravada perlahan-lahan melampaui agama Hindu pada abad ke-13 dan ke-14, ajarannya tentang kesetaraan sosial mungkin mengancam kaum elite Angkor. “Ajaran itu sangat subversif, seperti agama Kristen subversif bagi Kekaisaran Romawi,” kata Fletcher. “Tentu sangat sulit dihentikan.”!break!

Pergeseran agama seperti itu tentu mengikis wewenang kerajaan. Kota ritual-kerajaan beroperasi dengan ekonomi tanpa uang, mengandalkan upeti dan pajak. Mata uang de facto kerajaan itu adalah beras, makanan pokok bagi buruh wajib yang membangun candi dan ribuan orang yang mengelolanya. Sebuah prasasti di suatu kompleks, Ta Prohm, mencatat bahwa 12.640 orang merawat candi itu saja. Prasasti itu juga merekam bahwa lebih dari 66.000 petani menghasilkan hampir sekitar 2500 ton metrik padi per tahun untuk memberi makan seabrek pendeta, penari, dan pekerja candi ini. Tambahkan saja tiga saja candi besar ke persamaan ini—Preah Khan serta kompleks Angkor Wat dan Bayon yang lebih besar—maka diperhitungkan buruh tani perlu menghasilkan hingga 300.000 ton. Itu hampir setengah dari perkiraan jumlah penduduk Angkor Raya. Agama baru yang egaliter seperti Buddha Theravada mungkin menimbulkan pemberontakan.