Serbia yang Terbelah

By , Jumat, 26 Juni 2009 | 12:36 WIB

Di sebuah bukit sebelah barat Velika Hoca, di bawah pos pengamatan yang ditempati oleh penjaga perdamaian NATO selama hampir satu dekade, terdapat sebuah makam yang memiliki pemandangan yang luas: diantara kumpulan rumah tua dan perkebunan anggur sisi bukit yang memasok pabrik anggur kota tersebut, dimiliki oleh biara Ortodoks Serbia, lebih dari selusin gereja kecil tersebar di lembah tersebut. Beberapa diantaranya merupakan harta peninggalan abad pertengahan yang dihiasi lukisan-lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan Kristus, ikon-ikon santo, dan Hari Kiamat. Tidak seorang pun termasuk pendeta setempat yang mampu menjelaskan mengapa kawasan pertanian sederhana tersebut menjadi tempat investasi bagi hal-hal yang suci selama berabad-abad.

Beberapa gereja di desa tersebut, menurut Bojan Nakalamic, dibangun pada masa kekuasaan Raja Stefan Dusan di abad ke-14. Sebagai pemimpin terbesar bangsa Serbia, ia mendirikan kerajaan Serbia terbesar dibandingkan sebelum maupun sesudah masanya. Kosovo berada di pusat kerajaan ketika Dusan menamakan dirinya ”Kaisar dan Penguasa Mutlak bangsa Serbia dan Yunani, Bulgaria dan Albania.”

Seraya terkekeh, namun dengan tangannya di atas jantung, Nakalamic berkata: ”Di luar aku tampil sebagai seorang politisi Kosovo. Namun di dalam, aku seorang Dusan.”!break!

Hanya beberapa dekade setelah kematian Dusan pada 1389, sebuah pasukan yang mungkin terdiri atas 25.000 orang Serbia berhadapan dengan kekuatan superior Ottoman di Padang Kosovo. Kemudian menurut banyak orang Serbia, pasukan Serbia tumbang dalam sebuah kekalahan yang agung. Serbia lumpuh di hadapan Kekaisaran Ottoman yang melebarkan sayapnya, yang mengakibatkan terhapusnya negeri Serbia dari peta dalam kurun satu abad lebih sedikit. Namun Pertempuran di Kosovo terus hidup dalam literatur dan lagu bangsa Serbia sebagai simbol perjuangan melawan dominasi asing.

Serbia memeroleh kembali kemerdekaannya pada abad ke-19 dan merebut Kosovo pada abad ke-20 pada masa keruntuhan Kekaisaran Ottoman. Meski begitu, dominasi bangsa Turki selama beberapa abad tidak hanya membentuk kesadaran bangsa Serbia akan sebuah ketertindasan, tetapi juga memencarkan mereka ke bagian barat semenanjung Balkan. Pada penutupan abad ke-20, gelombang sejarah kembali berbalik dengan runtuhnya Yugoslavia. Banyak keturunan Serbia yang sebelumnya melarikan diri dari pemerintahan Ottoman kini kembali bermunculan, menambah bab baru dalam kisah penderitaan bangsa Serbia.

Namun bagaimanapun, penderitaan yang diakibatkan oleh bangsa Serbia merupakan hal yang paling jelas diingat dunia. Di bagian pasar tua etnik Turki di ibukota Bosnia, Sarajevo, seorang pria bernama Dragan Tanic memegang lenganku dan memutar tubuhku ke arah perbukitan yang menjulang di selatan. ”Jika Engkau berdiri di sini selama 10 detik pada hari yang salah saat perang—dor!” Ia menepuk tangannya di tengah dadaku untuk mengindikasikan bahwa diriku baru saja terbunuh oleh penembak runduk. ”Orang-orang Serbia di pegunungan membunuhmu. Itu hari yang normal di Sarajevo.”

Di luar dugaan, mereka yang akrab dengan nama Slavia mungkin dapat menebak bahwa Tanic sendiri adalah orang Serbia. Seperti ribuan warga Serbia Bosnia lainnya di seputar Sarajevo, Tanic turut mengangkat senjata melawan pasukan Serbia yang mengepung kota tersebut tidak lama setelah Bosnia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Yugoslavia pada 1992. Dalam situasi tersebut, warisan agama tidaklah sepenting siapa yang tengah menembakinya. ”Mereka menyerang tempat tinggal saya dan jika seseorang melakukannya, aku akan melawannya.”!break!

Namun Tanic adalah anggota kelompok minoritas. Warga Serbia Bosnia lainnya—yang tidak rela bermukim di negara yang bakal didominasi oleh muslim Bosnia atau Bosniak—memilih untuk melawan kemerdekaan Bosnia. Mereka mengontrol gudang senjata Tentara Rakyat Yugoslavia dan menguasai 70 persen wilayah Bosnia pada bulan-bulan pertama perang, memaksa penduduk non-Serbia meninggalkan tanah yang mereka kuasai. Perintah yang berlaku saat itu adalah keharusan untuk membersihkan wilayah yang dihuni oleh populasi minoritas yang besar dan bermasalah, yang tidak cocok untuk diikutsertakan dalam Serbia yang bersatu.

Di akhir peperangan, pembersihan etnik berubah menjadi semata pembantaian di seputar kota Srebrenica, Bosnia timur. Di kota itu, pasukan Serbia Bosnia mungkin menewaskan 8.000 jiwa, kebanyakan warga sipil laki-laki dan anak lelaki Bosniak—korban dijejerkan lalu ditembak, yang mencoba lari diburu. Peristiwa tersebut menjadi episode tunggal paling berdarah di Eropa sejak berakhirnya Perang Dunia II—kejadian genosida pertama di Eropa sejak Holocaust, berdasarkan ketetapan Pengadilan Internasional.

Srebrenica adalah peristiwa yang menentukan dalam sejarah modern bangsa Serbia. Walaupun pengadilan menetapkan bahwa Serbia tidak langsung terlibat, orang-orang Serbia Bosnia yang jadi pelaku turut menciptakan citra bahwa semua orang Serbia adalah pembunuh yang haus darah—hal ini merusak kepentingan nasional yang mungkin lebih parah dibandingkan serangan musuh manapun.

Ketika perang berakhir pada 1995 dan tak lama kemudian pengepungan Sarajevo yang telah berlangsung selama empat tahun juga berakhir, Bosnia secara garis besar telah terpecah-pecah ke dalam beberapa kelompok etnik. Kini, meski umumnya warga masyarakat saling bergaul dengan baik, para pemimpin etnik masih bersitegang. Politikus Bosniak mengecam separatisme etnik Serbia dan penjahat-penjahat perang yang masih hidup bebas, sementara para pemimpin etnik Serbia—37 persen dari total populasi Bosnia—membuat etnik Bosniak gusar dengan retorika mengenai pemisahan diri. Di ibukota, sebagian besar warga etnik Serbia telah pindah ke kawasan-kawasan Bosnia yang dikuasai oleh etnik tersebut, sementara etnik Bosniak mengalir ke arah yang berlawanan. Sarajevo tetap mempertahankan penampilannya yang multietnik—Tanic dan istrinya yang Muslim-Kroasia, Sanja, sebagai contoh. Namun kenyataannya, kota tersebut kini dapat dikatakan menjadi kota muslim yang homogen, tidak seperti yang diingat oleh Dragan Tanic ketika masih kecil. !break!

Di sebuah cafe di Jalan Ferhadija yang ramai, hanya beberapa langkah dari lokasi pembantaian banyak warga sipil oleh peluru Serbia pada masa perang, Tanic berkata: ”Saya tumbuh besar tidak jauh dari sini, di mana ibu saya masih tinggal. Namun saya bisa duduk di sini selama dua jam dan tidak menemui siapapun yang kukenal.”