Mata Semesta

By , Kamis, 2 Juli 2009 | 10:10 WIB

Tatkala kita mulai mengamati bintang dengan sebuah teleskop, biasanya kita akan mendapatkan dua pengalaman. Pertama, kita terpukau oleh panorama langit—cincin emas Saturnus, gugus bintang yang berkilauan seperti perhiasan di atas beledu hitam, galaksi dengan cahaya nan lembut yang usianya lebih tua daripada umat manusia—dan oleh kesadaran bahwa kita dan dunia kita adalah bagian dari sistem mahabesar ini. Kedua, kita langsung mendambakan teleskop yang lebih besar lagi.!break!

Galileo, orang pertama yang meneropong langit malam dengan teleskop, 400 tahun silam di musim gugur ini, memelopori program dua-langkah tersebut. Pertama, dia terpesona pada apa yang dia saksikan. Teleskop Galileo menampilkan begitu banyak bintang yang sebelumnya tak terlihat sehingga ketika dia berusaha memetakan semua bintang hanya dalam satu gemintang, Orion, dia menyerah. Dia mengaku “terpukau oleh jumlah bintang yang begitu banyak.” Dia melihat pegunungan di Bulan — bertentangan dengan teori ortodoks yang berlaku saat itu, yang menyatakan bahwa semua benda langit terbuat dari “eter” yang tidak terdapat di Bumi. Galileo melacak empat satelit yang benderang di saat keempatnya bergegas mengelilingi Jupiter seperti planet-planet dalam tata surya mini, sesuatu yang oleh para pengecam kosmologi heliosentrik Copernicus ditepis sebagai sesuatu yang mustahil. Terbukti kemudian bahwa Bumi adalah bagian kecil dari jagad raya yang luas, bukan bagian besar dari alam semesta yang kecil.

Tidak lama kemudian, sebagaimana yang diperkirakan, Galileo membuat teleskop yang lebih besar dan lebih baik. Lensa besar pengumpul-cahaya belum tersedia saat itu sehingga dia mencurahkan perhatian untuk membuat teleskop yang lebih panjang, yang menghasilkan daya pembesaran lebih tinggi dan mengurangi halo aneka warna palsu yang menjadi kekurangan lensa kaca pada masa itu. Para pengamat selanjutnya membuat rancangan teleskop pembias berlensa-kaca yang amat panjang. Di Danzig, Johannes Hevelius menggunakan teleskop sepanjang 46 meter. Teleskop yang digantungkan dengan tali dari sebuah tiang itu pun sudah bergoyang-goyang hanya oleh tiupan angin semilir. Di Negeri Belanda, Huygens bersaudara memperkenalkan teleskop panjang dan ramping yang sama sekali tidak memiliki tabung: lensa objektif diletakkan di atas platform tinggi di suatu lapangan, sementara seorang pengamat berada hingga 60 meter jauhnya meluruskan lensa pembesar dan mengintip melalui lensa itu. Instrumen semacam itu memberikan penglihatan sekilas yang menampilkan planet dan bintang yang, seperti tarian tujuh cadar, semakin mengobarkan hasrat untuk melihat semakin banyak.

Teleskop pemantul atau reflektor yang dirintis oleh Isaac Newton dengan mudah memenuhi hasrat dalam melihat langit malam: cermin hanya perlu dilekatkan di satu permukaan untuk mengumpulkan dan memantulkan cahaya bintang ke titik fokus, dan karena ditopang dari belakang, cermin itu bisa cukup besar tanpa goyah oleh beratnya sendiri sebagaimana yang cenderung terjadi pada lensa besar. William Herschel menemukan planet Uranus dengan teleskop pemantul buatan sendiri—dia mengecor cermin logamnya di kebun dan ruang bawah tanah rumahnya. Suatu saat dia harus menyelamatkan diri dari sungai logam cair yang mengalir deras setelah cetakan yang terbuat dari tahi-kuda itu pecah. Galaksi berlengan-spiral mula-mula tampak sekilas melalui teleskop pemantul besar, dengan cermin primer berdiameter 1,8 meter, yang dirakit Lord Rosse di rumahnya di Irlandia.!break!

Teleskop-teleskop terbesar dewasa ini memiliki cermin yang berdiameter hingga sekitar 10 meter dengan daya pengumpulan cahaya empat kali lipat Teleskop Hale ukuran lima meter yang legendaris di Observatorium Palomar, California selatan. Beberapa di antara teleskop raksasa ini, yang menjulang sebesar gedung perkantoran, sangat otomatis sehingga dapat membersihkan sendiri peralatan optiknya dari debu saat Matahari terbenam, membuka kubah, mengurutkan dan melaksanakan pengamatan sepanjang malam, dan menutup saat cuaca buruk menjelang. Semua dilakukan tanpa bantuan tangan manusia. Akan tetapi, manusia, karena sifat manusiwinya, tetap saja sering ikut campur, meskipun hanya untuk memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang tidak beres: kehilangan hasil kerja teleskop besar satu malam saja sekarang ini sama dengan menghamburkan biaya operasional hingga sekitar 1 miliar rupiah.

Tiga teleskop terbesar dewasa ini—Gemini North, Subaru, dan Keck—berdiri berdekatan di atas puncak Mauna Kea, gunung api tidur yang tingginya 4.205 meter di Hawaii. Ketinggian ini menyebabkan 40 persen atmosfer Bumi berada di bawah ketiga teleskop tersebut—juga kebanyakan uap air dalam atmosfer yang menghalangi panjang gelombang inframerah yang menjadi bahan penelitian para astronom. Ketinggian tersebut juga membuat para astronom dan teknisi yang bekerja di situ sulit bernapas dan berpikir. Banyak di antara mereka memasang selang oksigen plastik-bening di lubang hidung, sama seperti kebiasaan sebagian dari kita mengenakan kacamata. Yang lain mengandalkan kemampuan tubuh untuk beradaptasi, tetapi khawatir tentang hal yang mereka namakan “kesalahan yang menghambat karier.” “Di ketinggian ini, kita tidak bisa berimprovisasi; bisa menimbulkan malapetaka,” kata astronom Gemini, Scott Fisher. “Kita seperti monyet terlatih di atas sini. Pemikiran yang sesungguhnya dilakukan di dataran rendah.”

Observatorium Mauna Kea yang besar-besar ini sama-sama cerdas dan mahal, tetapi masing-masing memiliki kepribadian yang berbeda. Teleskop Gemini yang ukurannya 8,1 meter terletak di dalam kubah perak berbentuk bawang yang dikelilingi oleh serangkaian penutup yang, ketika ditutup di siang hari, membuat observatorium itu tampak canggung seperti gajah bengkak. Rangkaian penutup itu membuka di senja kala, membentuk serangkaian jendela yang besar, setinggi gedung tiga lantai dan merentang hampir tiga per empat keliling observatorium, membuat angin malam masuk dan membentangkan panorama Samudra Pasifik yang biru, jauh hingga ke Maui dan lebih jauh lagi. Empat detektor digital utama Gemini—kamera dan spektrometer yang seberat mobil dan masing-masing harganya sekitar 50 miliar rupiah—dipasang di atas landasan putar yang mengelilingi titik fokus teleskop sehingga alat-alat itu dapat berputar ke satu posisi dalam hitungan menit. Di malam hari, teleskop tersebut dioperasikan oleh komputer untuk melaksanakan pengamatan-pengamatan yang sudah didaftarkan agar tak ada waktu yang terbuang. “Kami sangat berkepentingan untuk menggunakan waktu malam seefisien mungkin,” kata Fisher.!break!

Instrumen teleskop Subaru tersimpan dalam ceruk yang bentuknya mirip botol sampanye di gudang penyimpanan minuman anggur surgawi. (Perbandingan ini tidak sepenuhnya khayali; seorang astronom Jepang ternama memberikan persembahan kepada para dewa di awal setiap pengamatan yang menggunakan Subaru dengan menuangkan sake tua ke tanah di luar kubah pada keempat penjuru mata angin.) Manakala sebuah alat tertentu diperlukan, sebuah robot berupa troli kuning menghampiri ceruk, mengambil alat tersebut, membawanya ke dasar teleskop yang besar, lalu memasang ke tempatnya, memasang kabel data dan pipa untuk sistem pendinginan detektor. Subaru adalah salah satu dari segelintir teleskop raksasa yang pernah benar-benar digunakan untuk melihat bintang langsung dengan mata. Untuk penggunaan perdananya pada 1999, sebuah lensa intip dipasang agar Putri Sayako dari Jepang dapat melihat bintang dengan teleskop itu dan untuk beberapa malam kemudian, para staf Subaru yang penuh hasrat juga melakukan hal yang sama. “Semua yang terlihat pada foto Teleskop Antariksa Hubble—warna, buhul di awan—aku dapat melihatnya dengan mata kepala sendiri, dalam warna-warni yang memukau,” salah seorang berkata sambil mengingat-ingat.

Keck terdiri atas dua teleskop yang identik. Keduanya memiliki cermin sepuluh meter yang terdiri atas 36 segmen; setiap segmen beratnya hampir 400 kilogram termasuk struktur penopangnya, harganya sekitar 10 miliar rupiah. Satu teleskop Keck saja sesungguhnya sudah mumpuni untuk menjadi teleskop kelas kelas-universitas yang bagus. “Tabung” teleskop berupa rangka baja tipis dan panjang yang tampak seperti sarang laba-laba yang rapuh, tetapi rancangannya jauh lebih saksama dibandingkan dengan perahu balap yang tiangnya dirancang untuk menghasilkan kecepatan maksimum. “Kami menggunakan misi dari teleskop ini untuk memotivasi diri kami sendiri,” kata salah seorang astronom Keck. “Jika ada serabut atau sesuatu masuk ke dalam bidang pandang, kami mempersoalkannya. Karena, bila saja cahaya sudah melintasi ruang angkasa selama 90 persen usia alam semesta dan berada telah begitu dekat ke teleskop, kami harus memastikan perjalanannya tuntas.”

Hanya segelintir dari astronom yang memeroleh jatah waktu di teleskop besar itu benar-benar datang ke sana lagi untuk melakukan pengamatan. Kebanyakan mengajukan permohonannya via internet—pada suatu malam belum lama ini di Gemini, proyek-proyek terjadwal itu, mulai dari “Massa Tata Surya Primordial” hingga “Aktivitas Magnetik dalam Bintang Kerdil Mahadingin”—lalu hasil pengamatan dikirimkan kembali kepada mereka. Geoff Marcy, Pangeran Henry, Sang Navigator masa kini, yang timnya tela menemukan lebih dari 150 planet yang mengorbit sejumlah bintang selain Matahari kita, mendapatkan jatah waktu pengamatan lebih banyak daripada kebanyakan astronom di Keck, tetapi sudah bertahun-tahun tidak pernah ke observatorium tersebut. Alih-alih, tim planet luar Tata-Surya yang dipimpinnya melakukan pengamatan dari sebuah fasilitas operasi di University of California Berkeley yang jauh dari observatorium. Selama masa pengamatan, Marcy melaporkan, “kami menjadi terbiasa bekerja sepanjang malam. Semua buku dan bahan rujukan lain tersedia di sini, kami juga menjalani kehidupan yang cukup normal sehingga suami atau istri kami tidak melupakan kami.”!break!

Selain daya pengumpul-cahayanya yang tak tertandingi, teleskop besar masa kini diuntungkan oleh sistem optiknya yang dapat beradaptasi (adaptive optics, AO), yang dapat mengoreksi turbulensi di atmosfer. Turbulensilah yang menyebabkan bintang berkerlap-kerlip; teleskop membesarkan setiap kerlipan itu. Sistem AO menembakkan berkas laser ke dalam lapisan tipis atom sodium setinggi 90 kilometer di atmosfer, menyebabkan atom-atom itu berkilau. Dengan memantau bintang buatan ini, sistem AO dapat menentukan bagaimana udara bergolak, lalu melakukan penyesuaian optik teleskop lebih dari 1.000 kali per detik untuk mengoreksi turbulensi itu. Gemini memberi imbalan sepuluh dolar per jam kepada mahasiswa yang bersedia duduk di luar kubah sepanjang malam, sambil memegang walkie-talkie, siap mengingatkan para astronom untuk mematikan laser apabila ada pesawat terbang mendekat. “Sungguh luar biasa melihatnya,” kata Scott Fisher. “Ketika sistem AO dimatikan, kita bisa melihat bintang yang indah dan cantik tampak agak kabur. Ketika AO dihidupkan, bintang itu langsung byar! Lalu susut menjadi titik kecil.”

Benda di langit malam diukur dalam derajat, bulan purnama membentang selebar kira-kira setengah derajat. Tanpa AO, teleskop berdaya besar pada suatu malam yang cerah dapat membedakan benda-benda yang berjarak satu per 3.600 derajat satu sama lain, atau satu busur detik. Berkat sistem AO Keck, astronom UCLA Andrea Ghez berhasil membuat film tentang tujuh bintang terang yang menggelepar mengelilingi lubang hitam yang tak terlihat di pusat galaksi kita yang berlangsung selama kurun waktu 14 tahun: keseluruhan film itu berlangsung di dalam sebuah kotak yang ukurannya hanya satu busur detik di satu sisi. Berdasarkan kelasakan bintang-gemintang ini dalam cengkeraman si lubang hitam, Ghez memperhitungkan bahwa lubang hitam itu memiliki empat juta matahari, yang membangkitkan gaya gravitasi yang begitu besarnya sehingga cukup untuk menepiskan sejumlah bintang yang melintas terlalu dekat sehingga terpental keluar dari galaksi kita. Beberapa bintang berkecepatan sangat tinggi itu berhasil ditemukan, melesat menuju kedalaman ruang intergalaktik seperti tamu tak diundang yang ditendang keluar dari sebuah klub malam eksklusif.

Selanjutnya apa lagi? Teleskop yang lebih besar, tentu saja, dengan kemampuan memotret gambaran kosmos yang lebih cepat, lebih lebar bidang pandangnya, dan bahkan dengan detail yang lebih baik. Di antara teleskop raksasa yang akan mulai beroperasi dalam satu dasawarsa ke depan adalah Teleskop Magellan Raksasa, Teleskop 30 Meter, dan Teleskop Sangat Besar Eropa berukuran 42 meter—versi lebih kecil dari Teleskop Teramat Besar berukuran 100 meter yang dipetieskan pada tahap perencanaan ketika perkiraan anggarannya pun ternyata teramat besar.!break!