Di satu masa dalam babakan geologis yang disebut Kala Pleistosen (1,75 juta-10 ribu tahun lalu), kawasan yang sedang kupijak ini adalah bagian dari meander Bengawan Solo yang berupa dataran diselingi padang-padang rumput ala sabana. Di sini terdapat sebuah ceruk yang kaya nutrisi—mungkin bekas kanal air limpasan yang terputus koneksinya dari sungai. Dedaunan dan potongan-potongan rumput yang terbawa air bertumpuk di atas tanah berlumpur di dasar kubangan. Pada suatu hari, seekor gajah yang mungkin berjalan agak jauh dari iring-iringan mendekati ceruk tersebut. Ia mungkin terdorong untuk berkubang. !break!
Si gajah masuk ke dalam kubangan. Sayang, satwa yang sebenarnya tergolong pintar itu tidak menyadari bahwa tanah berlumpur yang dipijaknya terlalu gembur untuk dapat menopang bobotnya yang berat. Lebih dari itu, semacam pasir isap telah menanti di bawah lapisan lumpur. Terperosoklah si gajah, meronta sia-sia. Alih-alih terbebas, tubuh tambunnya justru semakin terbenam. Ia mati dalam bekapan pasir isap.
”Beberapa waktu kemudian sepertinya terjadi banjir dari Bengawan Solo, menyapu tempat ini. Mungkin berulang-ulang, lalu perlahan-lahan mengering sehingga akhirnya bangkai gajah itu tertutup lapisan tanah lempung yang tebal,” ucap paleontolog Iwan Kurniawan pada suatu pagi di pengujung April lalu, berselang ratusan ribu tahun dari hari ketika si gajah mati terperosok.
Ketika aku menjejakkan kaki di tempat yang kini masuk wilayah Dusun Sunggun, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tersebut, fosil tulang-tulang si gajah malang masih terus digali dari apa yang semula merupakan tebing tanah. Penggalian dilakukan oleh Iwan dan timnya, para paleontolog dari Tim Riset Vertebrata Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. !break!
Sekarang wilayah ini bukan lagi meander nan datar. Ceruk yang menjadi makam si gajah telah terangkat oleh proses geologis menjadi tebing setinggi tiga-lima meter, dihitung dari dasar yang berupa dataran kira-kira seluas lapangan sepak bola. Lokasi galian itu tidaklah jauh dari peradaban. Di tengah-tengah lapangan, ada kolam genangan hujan yang biasa dimanfaatkan warga untuk mencuci sepeda motor atau memandikan ternak. Selain itu, sejumlah rumah penduduk berdiri beberapa puluh meter dari tepi atas tebing.
Pada dasar lubang galian tergeletak tulang-tulang gajah purba yang malang itu dalam kondisi yang mencengangkan menurut ukuran dunia paleontologi: relatif lengkap, semua tulang-tulang inti ditemukan di satu lokasi. Tulang kering, tulang paha, dan tulang pinggul masih berada pada posisi yang benar. Bahkan tulang paha dan pinggul masih tersambung. ”Penemuan penting, bahkan bisa disebut sensasional,” sebut Fachroel Aziz bersemangat. Paleontolog senior yang juga kepala Tim Vertebrata itu melanjutkan, ”Sepanjang sejarah penggalian fosil di Indonesia, belum pernah ada penemuan fosil vertebrata selengkap ini.”
Skenario kematian si gajah bisa dikemukakan oleh para ahli ini dengan beberapa alasan ilmiah. Iwan mengajakku mengamati lapisan tanah persis di bawah tumpukan fosil tulang selangka, tulang pinggul, tulang paha, dan tulang kering gajah. Tanah di sekitarnya sengaja dicangkuli menjadi irisan vertikal agar menampilkan alur-alur lapisan tanah, yang berselang-seling antara abu-abu gelap dan abu-abu yang lebih cerah.
Dengan telunjuknya Iwan menunjukkan, sebenarnya ada pola di sana. Ada bagian-bagian di mana alur lapisan tanah membentuk kurva setengah lingkaran yang terbuka ke atas. Di beberapa tempat lain, di mana tidak ada fosil gajah di atasnya, alur pada lapisan tanah cenderung mendatar.!break!
”Pola alur yang seperti kurva ini tanda terjadinya pembebanan oleh tubuh si gajah ketika lapisan tanah di sini belum mengeras,” jelas Iwan. Jemari tangannya menggerak-gerakkan bolpoin mengikuti pola alur tanah yang melengkung. Iwan lantas menunjukkan suatu pemandangan yang juga luput dari mata awamku: lapisan tanah tempat fosil gajah ini terawetkan merupakan tanah berpasir keabu-abuan. Sedangkan lapisan atasnya adalah lempung kekuning-kuningan dengan ketebalan antara dua hingga tiga meter.
”Tanah lempung itulah yang sebenarnya berjasa dalam mengawetkan fosil si gajah,” sebutnya. Tanah lempung yang padat melindungi tulang-belulang gajah—yang karena proses alam seolah-olah membungkus tanah pasir di bawahnya—dari udara terbuka.
KOTAK SURAT DARI MASA LALUTebing seperti di Dusun Sunggun ini menjadi ciri utama kawasan yang disebut Teras Menden—salah satu dari beberapa teras di sepanjang daerah aliran Bengawan Solo yang dikenal luas di kalangan ahli geologi dan paleontologi. Jarak dari tebing campuran batuan pasir dan lempung ini ke tepian sungai tak kurang dari satu kilometer melintasi jalan setapak yang menyisir hutan jati dan pematang sawah. Pada masa lalu jaraknya barangkali tidaklah sejauh ini. Tanah Teras Menden mengandung endapan dari Bengawan Solo yang cocok mengawetkan fosil. Karena itulah Dusun Sunggun telah lama diperhatikan oleh para paleontolog. Banyak penemuan berharga, bagaikan sebuah kotak surat yang penuh berisi kiriman dari masa silam.
Akhir tahun lalu misalnya, tiga penduduk menemukan fosil gading dan tulang iga gajah purba saat menggali pasir untuk membangun jalan kampung. Mundur ke tahun 2006, Iwan Kurniawan sendiri pernah menemukan satu fosil tulang leher gajah. Adapun penemuan fosil gajah kali ini yang menghebohkan berawal di penghujung Maret silam tatkala Iwan datang untuk melakukan pemetaan geologis demi keperluan studinya. Kebetulan terjadi longsor pada tebing, kejadian yang tak dinyana menyingkap fosil tengkorak gajah lengkap dengan gadingnya. !break!
Beberapa waktu kemudian, Iwan, Fachroel, dan Gert D. van den Bergh—ahli paleontologi vertebrata dari University of Wollongong Australia—kembali ke lokasi. Ternyata, dinding tebing lagi-lagi longsor sehingga merusak fosil gading. Meski begitu, dalam tempo sekitar seminggu mereka berhasil memindahkan fosil tengkorak ke Museum Geologi Bandung. Selain itu, para peneliti juga telah menemukan 38 tulang dari beberapa bagian inti dalam sebulan.