Yellowstone

By , Jumat, 31 Juli 2009 | 13:37 WIB

Pada 1965 Bob Christiansen menemukan tufa kedua yang amat jelas; tahun berikutnya dia dan beberapa rekannya mengenali yang ketiga. Dengan menggunakan penentuan-umur dengan potasium-argon, mereka menentukan bahwa ketiga tufa itu adalah hasil tiga kali letusan. Setiap letusan membentuk kaldera raksasa, dan letusan yang terakhir boleh dikatakan menutupi semua bukti terjadinya kedua letusan sebelumnya.Kemudian, di suatu hari pada 1973, Bob Smith dan seorang rekannya sedang melakukan penelitian di Pulau Peale, di Sayap Selatan Danau Yellowstone, ketika Smith menyadari ada sesuatu yang ganjil: Beberapa pohon di sepanjang garis pantai tampak terbenam sebagian dan hampir mati. Dia pernah melakukan penelitian di daerah itu pada 1956 dan berencana hendak menggunakan dermaga kapal yang sama seperti perjalanannya terdahulu. Tetapi, dermaga itu juga terendam. Ada apa ini?Karena tergoda, Smith mulai melakukan survei ulang terhadap patok yang ditempatkan pegawai taman di berbagai jalan di seluruh taman nasional sejak 1923. Hasil surveinya menunjukkan bahwa Lembah Hayden yang berada di puncak kaldera sebelah utara danau, naik sekitar 75 cm dalam kurun waktu sekian puluh tahun. Namun, ujung bawah danau sama sekali tidak naik. Akibatnya, ujung utara danau naik dan menyebabkan air mengalir ke bawah ke ujung selatan. Tanahnya membentuk kubah. Gunung api itu ternyata masih aktif. !break!

Smith mempublikasikan hasil surveinya pada 1979, dan dalam sejumlah wawancara menyebut Yellowstone sebagai “kaldera hidup yang bernafas.” Kemudian, pada 1985, setelah diberondong oleh “serbuan” gempa bumi yang kebanyakan berkekuatan kecil, kawasan itu menjadi tenang lagi. Smith mengubah metaforanya: Yellowstone sekarang merupakan “kaldera hidup, bernapas, dan bergoyang.”

Bertahun-tahun sejak saat itu, Smith dan rekan-rekannya menggunakan segala cara untuk memahami apa yang sedang terjadi di bawah taman nasional itu. Secara berangsur-angsur, proporsi dan potensi sistem gunung api bawah tanah pun mulai terkuak. Di level yang paling dangkal, air permukaan merembes beberapa kilometer ke dalam kerak Bumi, memanas, dan mendidih, lalu kembali ke atas, memasok geiser dan fumarol. Di kedalaman sekitar delapan hingga 10 kilometer terdapat puncak kantong magma, sebuah tandon dari sebagian batuan cair yang lebarnya kira-kira 50 kilometer. Magma basaltik terperangkap di dalam tandon oleh lapisan magma sangat asam yang lebih padat, yang terapung di atas basalt cair seperti kepala susu. Para ilmuwan mengamati bagaimana gelombang suara yang diciptakan gempa menyebar melalui bebatuan bawah-permukaan dengan densitas yang beragam. Dari pengamatan itu disimpulkan bahwa kantong magma dipenuhi oleh lapisan batu panas berukuran raksasa yang naik dari mantel Bumi bagian atas, miring ke bawah ke arah barat laut dengan sudut 60 derajat, dan dasarnya mungkin berada 650 kilometer di bawah permukaan. Ketika lapisan itu memompakan panas lebih banyak ke dalam kantong, tanah akan mendesak ke atas. Gempa kecil menyebabkan cairan hidrotermal lepas ke permukaan, mengendurkan tekanan di dalam kantong dan menyebabkan tanah tenang kembali.

Setelah serbuan gempa pada 1985, Yellowstone turun 20 cm selama kurun waktu kira-kira satu dasawarsa. Kemudian naik kembali, kali ini dengan lebih cepat. Sejak 2004, sebagian kaldera mendesak ke atas dengan kecepatan hampir delapan cm setahun, jauh lebih cepat daripada pengangkatan yang terpantau sejak dilakukannya pengamatan cermat yang dimulai pada 1970-an. Permukaannya terus naik, meskipun terjadi serangkaian gempa yang berlangsung 11 hari yang dimulai di akhir 2008. Hal ini menimbulkan desas-desus di internet tentang akan terjadinya kiamat.“Kami menyebut peristiwa ini kaldera yang bergejolak,” ujar Smith. “Hasil akhir setelah berlangsungnya beberapa siklus adalah bahwa pada akhirnya terkumpul magma dalam jumlah yang cukup untuk bisa meletus. Kami juga belum memahami sifat siklus tersebut.”

Jadi, pertanyaan terbesar: Apakah Yellowstone akan meletus lagi?

Letusan jenis tertentu—mungkin letusan ringan seperti letusan Gunung Pinatubo di Filipina yang menewaskan 800 orang pada 1991—sangat mungkin terjadi di suatu saat nanti. Peluang terjadinya letusan hebat yang membentuk kaldera—malapetaka besar yang mungkin dapat menelan korban ribuan jiwa dan menenggelamkan Bumi ke dalam musim dingin gunung api—tak seorang pun tahu; bisa saja hal ini terjadi di masa kini, atau 100.000 tahun lagi, atau lebih lama lagi, atau mungkin juga tidak akan pernah terjadi. Bob Christiansen yang sekarang sudah pensiun menduga gunung api super mungkin tidak akan pernah meletus. Dalam sebagian besar riwayatnya, titik panas Yellowstone membentuk kaldera di bagian lapisan tipis kerak Lembah dan Pegunungan di Amerika Barat. Sekarang titik panas terbenam di bawah kerak yang jauh lebih tebal, kerak Pegunungan Rocky.

“Menurut pendapatku, kegiatan di bawah Yellowstone boleh dikatakan sudah menyeimbangkan diri,” ujar Christiansen. Kemudian, dengan cepat dia menambahkan, “Tetapi, itu adalah penafsiran yang belum tentu benar.”