Malam ini—malam terakhir—kabut menari di sekujur gurun, begitu tebal dan sulit ditembus seperti badai pasir. Kabut membuat bintang-gemintang tampak bak misteri dan mata-mata melintasi gumuk pasir dalam kegelapan. Mereka mencari dari kemah ke kemah dalam udara yang tak lazim, mencari sesuatu yang istimewa. Pada awalnya pencarian tidak berlangsung seperti itu, yang sarat dengan kegiatan memata-matai dalam gelap. Selama sebulan menjelang malam bulan Januari itu, karavan suku Badui menempuh perjalanan panjang melintasi Jazirah Arab, dari Oman, Arab Saudi, Qatar, dan tempat lain. Mereka tiba di daerah terpencil di Keemiran Abu Dhabi untuk ikut serta dalam acara itu: lomba kecantikan unta.!break!
Selama sembilan hari, semua hewan itu berparade di depan podium—Segala jenis unta, dan yang paling bergengsi adalah beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan 35 unta betina—dan juri yang berkuasa akan menepiskan kelompok unta yang biasa-biasa saja, juga para pemiliknya. Seiring pergantian hari demi hari, para juri memberlakukan standar tertentu dengan cepat, menciutkan jumlah peserta dari semula sekitar 24.000 ekor.
Pada hari kesepuluh, hanya tersisa dua orang Badui beserta unta pemenang. Kedua lelaki itu—yang karena sebagai kepala keluarga menyandang nama keluarga masing-masing, Bin Tanaf dan Rames—akan saling berhadapan dalam sebuah pertemuan yang sarat dengan intrik dan persaingan, mengingat keduanya bersaudara misan dari suku yang sama. Selama bertahun-tahun keduanya bersaing ketat untuk meraih status dan gengsi di beberapa lomba yang lebih kecil, dan hasil lomba ini akan menentukan posisi masing-masing, bukan hanya di dunia peruntaan, tetapi juga dalam suku mereka sendiri. Memang benar, si juara akan mengantongi berbagai hadiah istimewa, tetapi yang lebih penting, memenangi kehormatan keluarga.
Jadi, kedua belah pihak mengirimkan mata-mata. Mata-mata kecantikan itulah yang menggeledahi tenda-tenda untuk mencari seekor unta nan sangat menawan hati yang—jika sudah dibeli—dapat memberi pemiliknya keunggulan di kala Matahari terbit dan penjurian dimulai.
Coba bayangkan sejenak saja si unta. Perhatikan baik-baik punuknya yang besar, gundukan lemak yang terkulai lemas yang berayun-ayun setiap kali kakinya yang kurus itu melangkah. Lututnya yang bengkok letter x, dan kakinya yang rata tidak terlalu gembira saat harus berlari dengan gerakan yang ajaib. Amati juga lehernya, melekuk ke bawah seolah beban kepalanya terlalu berat. Lantas, kepala itu sendiri: bulu mata yang ganjil berkedip-kedip di atas lubang hidung yang lonjong dan bibir mirip karet. Dari bibir itu menetes cairan putih yang kental. Ini bukanlah makhluk yang pantas dinamakan cantik, yang pasti, ini makhluk hasil rakitan beberapa suku cadang.
Hanya saja, para juri di Abu Dhabi melihat unta-unta itu dengan kacamata yang berbeda, memeriksa mereka dengan cermat dari hidung sampai ke ekor, lalu kembali ke hidung, menilai setiap unta sesuai dengan patokan yang ketat. Telinganya harus keras. Punggungnya harus tinggi, punuknya besar dan simetris. Pantat yang tidak terlalu besar dan cukup ada tempat untuk memasang sadel. Rambutnya tentu saja harus berkilau. Kepala yang bagus adalah yang masif. Hidungnya harus memiliki lekukan yang kuat pada tulang penghubung, menukik ke bibir bawah yang terjuntai seperti perhiasan mainan. Leher panjang dianggap menarik. Seperti juga kaki yang panjang. Selain itu, para juri memeriksa kedua jari kaki, mengamati “panjang jarak jari kaki” sebagaimana yang tercantum dalam panduan.Sebab dalam begitu banyak lomba kecantikan, pada dasarnya yang dinilai adalah “belahan” si peserta.!break!
Bin Tanaf, lelaki berperawakan kecil berkaki timpang dan berjanggut hitam rapi yang membuatnya tampak awet muda, duduk di sebuah gundukan pasir sambil memperhatikan unta-untanya dan bercerita tentang kehidupoannya sebagai pengelana. tumbuh dewasa dalam kehidupan berkelana bersama keluarganya dari satu oasis ke oasis lainnya dalam upaya tak kenal henti untuk mencari padang penggembalaan dan air. Pada musim panas, unta dapat bertahan tanpa air selama lima hari, dan bahkan selama berminggu-minggu pada musim dingin. “Bersama unta, kami bertahan hidup,” katanya sambil menengok ke arah unta-untanya.Hubungan ini, jalinan cinta antara pengelana dan unta, dimulai ribuan tahun lalu di jantung Jazirah Arab. Unta, pertama-tama dan terutama, adalah alat angkutan untuk mengarungi gurun. Hewan itu juga jadi tunggangan kala menyergap suku pesaing, untuk mengklaim atau mengklaim kembali unta lainnya. Selama separuh awal hidup Bin Tanaf, unta keluarganya menghasilkan susu untuk diminum dan rambut untuk ditenun menjadi selimut dan tenda. Kotoran unta digunakan sebagai bahan bakar. Bahkan air kemihnya digunakan untuk mencuci rambut agar tidak menjadi sarang kutu.
Karena suku Bedouin selalu hidup berpindah-pindah, tanah tidaklah berarti apa-apa bagi mereka; sebaliknya, untalah yang menjadi ukuran kemakmuran seseorang. Dengan demikian, terdapat banyak sekali kosakata untuk menjabarkan hewan ini. Asayel adalah unta merah yang mulia. Majahim adalah unta berwarna gelap. Unta betina yang masih bayi disebut houraa, induk yang baru melahirkan disebut bikr. Unta jantan yang sudah dewasa dinamakan fahl, dan betinanya jathaa. Jika si betina sudah digauli unta jantan, dan perutnya membuncit, dia dinamakan laqha. Semua tahapan dalam kehidupan unta, semua saat pertumbuhan atau kegairahannya, selalu mendapatkan perhatian. Kedua makhluk tersebut, manusia dan unta, mengalami suka duka bersama-sama.
Kemudian, begitu ujar Bin Tanaf, terjadi perubahan. Setelah ribuan tahun segalanya selalu sama, kehidupan tiba-tiba berubah secara radikal. Inggris angkat kaki pada 1971 dan menyerahkan pengendalian semburan minyak yang menghujani suku Badui. Para emir suku bersatu padu membentuk Uni Emirat Arab dengan Abu Dhabi sebagai ibu kota, dan uang—gelombang uang raksasa datang menerjang—membanjiri gurun.
Bin Tanaf menggeluti bisnis mobil. Penduduk yang kaya-minyak membeli mobil secepat kilat, dan Bin Tanaf mendatangkan mobil dari pabrik di mancanegara ke negara keemiran itu, Arab Saudi, Kuwait. Rekan-rekan sebangsanya memperoleh peruntungan dalam bidang konstruksi, perkapalan, atau dalam bidang perminyakan itu sendiri. Selama ini mereka tumbuh bukan saja dalam keadaan miskin, tetapi tanpa memiliki konsep tentang kemiskinan, sementara sekarang uang mereka begitu berlimpah ruah. Karena mereka sendiri buta huruf, putra-putra mereka dikirim belajar bahasa Inggris ke London dan bahasa Prancis di Paris. Mereka berpindah untuk yang terakhir kalinya, dari tenda rambut unta ke gedung pencakar langit dari kaca di Abu Dhabi dan Dubai.
Di sebagian besar wilayah jazirah itu, kaum pengelana berhadapan dengan dua gagasan yang saling bertolak belakang. Pada mulanya, penduduk kota—yang sebetulnya juga hampir tidak pernah meninggalkan gurun—memandang suku Badui yang kadang koto berdebu sebagai tamu karena rasa penasaran orang desa, orang udik yang membawa harta miliknya dalam karung. Namun, citra itu kini digantikan oleh yang lebih romantis: kaum pengelana sebagai orang Arab sejati, lambang kebebasan. Orang Arab yang tidak peduli pada minyak, tetapi hanya memikirkan pangan dan air untuk untanya di saat dia menunggangi hewan itu menuju matahari terbenam.
Baik sebagai orang udik ataupun pahlawan, tidak disangkal lagi bahwa orang Badui mirip koboi Amerika. Dan sama seperti orang Amerika yang sukses, yang mengembangbiakkan, menungganginya sebagai hewan balapan, dan memamerkan kuda mereka, begitu pulalah kaum Bedouin dengan unta mereka. Orang Arab yang santun, seperti orang Amerika, menghabiskan akhir pekan mereka di kandang unta. Dia memeriksa hewan-hewannya, memberikan pakan khusus, menyiraminya dengan kasih sayang. Dia mengomeli unta, lalu menyanyikan lagu permintaan maaf. Dia mencintai unta. Dan dia mempersiapkan diri, setiap saat, untuk menghadapi persaingan sengit.!break!
Ajang lomba kecantikan itu sendiri mencerminkan gaya hidup kaum pengelana dalam tingkatan yang paling mewah. Kaum Badui mendirikan panggung bertingkat, dipenuhi kursi mewah dan dipasangi televisi layar lebar yang menampilkan tayangan langsung dari lomba yang berlangsung di bawahnya, dan semua kemewahan ini berada di dalam tenda. Para pelayan laki-laki mondar-mandir membawakan teh dan berkaleng-kaleng dupa menyala yang diayun-ayunkan para lelaki ke lapisan kafiyeh atau penutup kepala mereka. Di luar, helipad menunggu tibanya para sheikh dan para pangeran. Para wanita menghabiskan hari-hari mereka dengan berbelanja di suq terdekat, pasar seukuran kota kecil, yang dibangun khusus untuk acara tersebut.
Kemah-kemah suku Badui tersebar di sekiling lokasi lomba dan setiap subuh, para peserta menuntun unta mereka menuju arena. Kendaraan SUV mewah—lebih dari 140 Range Rover, Nissan, Toyota, semuanya hadiah untuk para pemenang—diparkir baris demi baris memagari arena lomba. Para juri memberikan hadiah kedua kepada sejumlah unta lajang, unta yang masih belia, bahkan unta jantan.
Pada hari puncak dalam lomba terbesar tersebut—parade unta sebanyak rombongan pengelana di gurun—Bin Tanaf dan saudara misannya Rames memeriksa unta-unta mereka. Mata-mata mereka telah memilih dengan baik malam itu. Saat Matahari terbit, diam-diam Rames telah menghabiskan uang sekitar 20 miliar rupiah untuk membeli beberapa ekor unta yang sangat sedap dipandang. Bin Tanaf pernah menghabiskan uang lebih dari 10 miliar rupiah untuk membeli seekor unta saja. Sekarang, kedua lelaki itu bergerak santai, bahkan di saat Matahari sudah tinggi. Budaya mereka, yang berakar pada kebutuhan kaum pengelana untuk selalu bergerak, menghargai kemewahan relatif untuk tidak bergerak dan duduk dengan tenang. Ditunggu orang lain menyiratkan peringkat dan status. Jadi, setiap orang ingin datang paling akhir di arena, agar penampilan mereka ibarat seekor burung merak yang menampilkan keagungan lemah gemulai.
Salah seorang penata lomba tiba di tenda Rames dan memintanya bergegas. “Rames, aku khawatir para juri akan menutup pintu gerbang.”Rames memandang ke sekeliling dengan tenang. Gayanya seperti seorang raja saja layaknya. “Jangan khawatir,” katanya. “Mereka tidak akan menutup pintu gerbang.”
Agak jauh dari sana, Bin Tanaf mondar-mandir di antara unta-untanya, menunggu kabar bahwa Rames sudah meninggalkan kandang untanya. Bin Tanaf adalah sheikh dalam sukunya yang memberinya posisi sebagai orang punya kewenangan, bahkan juga terhadap Rames. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, Rames telah menjalin persahabatan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Zayed Al Nahyan—yang, kebetulan saja, berperan sebagai pelindung acara ini—sehingga menguntungkan Rames, mungkin, dalam urusan lomba unta maupun kedudukan dalam keluarga.Bin Tanaf menunggu. Kemudian, saudara misannya mulai bergerak menuju arena. Bin Tanaf memberi isyarat agar unta-untanya juga bergerak. Perlahan, dia mendekati arena dan—astaga! Rames yang baru naik daun itu menyelimuti unta-untanya dengan jubah perak yang menyilaukan seperti rombongan penyanyi opera yang berjalan ke panggung. Rames menghabiskan dana sekitar 200 juta rupiah sebulan untuk pakan-unta yang istimewa dan hasilnya tampak jelas. Di pintu gerbang, para pengurus untanya melepaskan jubah unta untuk memperlihatkan leher yang menawan dan punuk yang jelas tampak simetris.
Kedua kelompok hewan itu berparade di depan penonton. Kemudian, kedua lelaki itu duduk di kursi kehormatan di panggung, menunggu keputusan juri. Para penyanyi berkumpul, dan pelantang suara memperdengarkan suara mereka keras-keras ke dalam tenda. Beberapa helikopter berputar-putar di atas, terbang miring sehingga anggota keluarga bangsawan ini atau itu dapat menyaksikan arak-arakan. Sementara itu, kedua saudara misan duduk dengan sama-sama menyunggingkan senyuman gelisah, seakan-akan sama-sama menyeringai.Akhirnya pengumuman yang ditunggu-tunggu: Bin Tanaf.!break!
Dengan penuh suka cita para lelaki dari keluarga Bin Tanaf melemparkan kain kepala mereka ke udara, meneriakkan pujian, dan memanggul sheikh mereka yang berseri-seri. Masih belum puas, mereka naik ke meja pualam dan memanggulnya lebih tinggi lagi; seluruh tumpukan manusia itu tumbang ketika meja pecah, menumpahkan jeruk, anggur, dan para lelaki di depan panggung. Mereka menata diri di tanah di bawah dan menarikan tarian liar, mengayun-ayunkan tali unta di atas kepala.
Dari satu segi, imbalan untuk Bin Tanaf dapat dengan mudah diuraikan secara modern: sebuah truk besar untuk perjalanan jarak jauh, uang tunai, sebuah piala. Tetapi, kemenangannya yang sejati—kemenangan mengatur siasat, dan kecintaan, serta mata-mata dalam kegelapan—mencerminkan sesuatu yang jauh lebih berharga dan lebih hebat.
Pesta lanjutan di tenda Bin Tanaf berlangsung sepanjang malam. Dua ratus lelaki Badui menyanyi, membaca puisi, dan menceritakan aneka kisah tentang unta. Kelompok lain menabrakkan Land Cruiser mereka dengan kecepatan tinggi ke gumuk pasir yang disinari cahaya rembulan, melempar pasir ke sekelompok anak-anak yang tertawa ria. Bin Tanaf dan putra sulungnya Mohamed duduk di lantai tenda yang terbuka, bercakap-cakap dengan teman-teman mereka mengelilingi tampah besar yang dipenuhi nasi dan daging. Wajah sang ayah berseri gembira. “Inilah hari terindah dalam hidupku,” katanya. Tidak lama kemudian, dua orang lelaki menghampiri sambil membawa tampah lagi, isinya seperti gundukan mungil kekuning-kuningan. “Ah,” kata sang anak. “Punuk unta.”Itulah hal lainnya yang diberikan unta selama berabad-abad di gurun.
Punuk yang begitu dikagumi itu memberikan pangan bergizi, pertama-tama, bagi unta dan selanjutnya, makanan bergizi bagi penunggangnya. Jadi, kecantikan unta adalah kecantikan yang praktis: punuk yang bentuknya bagus bermakna makanan bergizi. Lubang hidung mirip celah sempit dapat tertutup rapat jika ada hembusan pasir. Kakinya yang panjang dan kurus membuat tubuh unta menjauhi sengatan panas lantai gurun.Kaki unta yang lebar dan datar, dengan dua jari kaki yang berjarak, mungkin tampak aneh bagi orang asing. Namun, yang dilihat oleh orang Badui hanyalah tapak kaki berbentuk hati yang merambah gundukan pasir Arab, dan melintasi waktu pergeseran pasir.