Anggrek Lihai

By , Senin, 31 Agustus 2009 | 14:47 WIB

Para ahli botani dan ahli biologi evolusi telah menghasilkan beberapa jawaban menarik untuk berbagai pertanyaan tersebut. John Alcock, seorang ahli biologi evolusi mengemukakan dua penjelasan tentang mengapa sejumlah anggrek berevolusi untuk menghindari hadiah nektar yang sederhana. Ketika para ahli botani bereksperimen dengan menambahkan hadiah nektar pada anggrek yang tak bernektar, mereka menemukan bahwa para penyerbuk bercengkrama lebih lama dan dengan senang hati mengunjungi bunga-bunga lainnya yang ada pada tumbuhan yang sama maupun yang terletak berdekatan. Kenyataan tersebut tidaklah memenuhi kebutuhan si anggrek karena perkawinan di antara anggrek sejenis menghasilkan benih berkualitas lebih rendah. Sebaliknya, perkawinan silang atau percampuran gen satu anggrek dengan rekan-rekan jauhnya meningkatkan daya kekuatan, variasi keturunan, dan memaksimalkan kebugarannya. Frustasi seksual seekor lebah yang terperdaya ternyata menjadi bagian penting dari strategi reproduksi anggrek. Karena berketetapan hati tak akan mengulangi kesalahan yang sama, lebah akan bepergian cukup jauh dan, jika si anggrek beruntung, si lebah frustasi akan melakukan pseudo-persetubuhan (dan meninggalkan paket serbuk sarinya) dengan anggrek lain yang cukup jauh. Anggrek jauh itu akan terlihat dan tercium agak berbeda dari anggrek pertama, dan beberapa ahli botani yakin bahwa variasi mulus antara satu tumbuhan ke tumbuhan lainnya menjadi bagian dari strategi anggrek untuk mencegah lebah belajar menghindari bunga.

Alasan lain mengapa begitu banyak anggrek meninggalkan “bisnis restorannya” mungkin terkait dengan keuntungan yang didapat dari mengembangkan hubungan dengan satu jenis makhluk penyerbuk yang sangat setia. Nektar, selain sangat mahal untuk diproduksi oleh si bunga secara metabolik, juga dicintai oleh demikian banyak binatang sehingga kebe-radaannya memikat berbagai jenis kaum jembel yang kemungkinan besar tak akan meng-antarkan serbuk sari ke tujuan yang tepat. Namun jika kita menghasilkan bebauan yang hanya memikat kaum jantan dari satu spesies lebah tertentu, kita dapat memastikan bahwa serbuk sari kita akan berakhir persis di tempat yang diharapkan: di kepala putik saudara jauh anggrek sejenis.

Anggrek telah menjadi sangat maju dalam mengembangkan spesies-spesies baru tetapi kenyataannya, hanya terdapat sedikit jenis anggrek di dunia ini dibandingkan jenis tumbuhan lainnya. Mereka relatif langka di alam dan itu menimbulkan keharusan terhadap strategi-strategi penyerbukan khusus untuk menyebarkan serbuk sari seefisien mungkin—tidak seperti rerumputan contohnya, yang dapat menyebarkan serbuk sari melalui angin semata. Namun, jumlah anggrek yang relatif sedikit turut memastikan kemampuan mereka dalam bertahan hidup. Jika anggrek-anggrek penipu lebih umum lagi keberadaannya, tipu muslihatnya tidak akan terlalu berguna karena mereka turut bergantung pada kejujuran sebagian besar bunga lainnya. Tipu muslihat para anggrek hanya akan bekerja di dunia yang menampakkan alam seperti yang sesungguhnya: di mana bau daging busuk menandakan terdapatnya daging busuk, di mana bunga-bungaan betul-betul menawarkan nektar dan tidak menyamarkan diri sebagai serangga.

Cukup adil untuk mengatakan, jika berurusan dengan seks jenisnya sendiri, anggrek lebih memilih kualitas daripada kuantitas. Karena walaupun tipuan seksual tidak selalu berhasil memerdaya semua penyerbuk, strategi tersebut mampu menipu sebagian serangga pada waktu-waktu tertentu. Bagi anggrek, kenyataan tersebut sudah cukup memuaskan. Hal itu dikarenakan setiap batang serbuk sari mengandung banyak butiran-butiran serbuk sari dan begitu semuanya berhasil dikirim, setiap kantung benih mengandung benih dalam jumlah yang juga banyak. !break!

GASPAR SILVERA adalah pemburu dan pembudidaya anggrek di Panama yang senang menggunakan topi jerami fedora. Dengan latar belakang kepelatihan agronomi, sejak pensiun dari pegawai negeri Silvera telah mengabdi untuk menyelamatkan anggrek dari ancaman pembangunan dan bekerja keras mengembangbiakkan anggrek. Fotografer Christian Ziegler dan aku terbang ke kebun bibitnya di Chilibre setelah Silvera menelepon kami untuk mengabarkan bahwa salah satu Coryanthes-nya, sejenis anggrek ember Amerika Tengah, sebuah spesies yang terkenal sulit dipelihara dalam penangkaran, telah mekar.

Ketika kami tiba di kebun bibitnya, bunga kuning kenari tersebut, yang secara mengejutkan punya bentuk aneh dan sangat rumit, sudah mulai layu, walau masih mengeluarkan aroma kuat yang tercium seperti aprikot dan eukaliptus. Bunga tersebut telah memekarkan kelopaknya yang rumit beberapa hari sebelumnya dan wangi bunga yang pedas-manis berhasil mendatangkan serombongan lebah euglossine dari hutan-hutan sekitar, saudara jauh lebah besar yang mulus, tak menyengat, dan berwarna-warni. Lebah-lebah tersebut saling berlomba untuk mendapat tempat di bunga berbentuk rumit tersebut, persis di atas labellum yang berbentuk sebuah ember dalam, tempat di mana sang bunga meneteskan sejenis cairan yang jernih dan sedikit kental.

Cairan itu bukanlah nektar.Lebah-lebah yang berkunjung sibuk mengambili wewangian dari permukaan berlilin sang bunga, menggunakan kaki depan mereka; kemudian mereka memindahkan wewangian tersebut ke kantung-kantung tulang keringnya yang ada di kaki belakang dan berfungsi seperti dompet-dompet kecil. Apa persisnya yang mereka lakukan tidaklah dipahami hingga 1966 ketika seorang ahli botani bernama Stefan Vogel menyadari bahwa lebah-lebah tersebut tengah mengumpulkan zat-zat kimia tertentu yang dibutuhkan untuk menciptakan wewangian. Sebagian besar binatang yang menggunakan wewangian untuk memikat pasangan biasanya menghasilkannya sendiri; namun tidak demikian halnya dengan lebah euglossine yang mencari serangkaian bahan tertentu, tidak hanya dari anggrek, tetapi juga dari beberapa jenis daun dan jamur, kemudian mencampur parfum tersebut dengan ”tangan”. Setelah merampungkan racikannya, si lebah membalurkan wewangian ke seluruh tubuh dan mengepakkan sayapnya untuk melepas wangi kamper dan bebungaan yang memikat untuk mendapatkan seekor betina.

Namun anggrek ember memasang harga yang tinggi atas kontribusinya terhadap pembuatan parfum. Ketika lebah-lebah saling dorong untuk mendapatkan wewangian, satu atau dua ekor akan terpeleset di permukaan kelopaknya yang licin dan tercemplung ke dalam ember. Ini tidak akan menimbulkan masalah, kecuali cairan kental di dalam ember tersebut akan membuat sayap si lebah jadi tidak berfungsi untuk sementara. Oleh karenanya, si lebah bekerja keras memanjati dinding-dinding ember yang licin hingga akhirnya ia tersandung pada beberapa rangkaian pijakan, yang membimbingnya keluar kolam, melalui jalur sempit yang menuju pintu keluar di bagian belakang bunga tersebut. Ketika si lebah yang pusing dan basah mendorong tubuhnya melewati terowongan, ia melalui sejenis alat berpegas yang menempelkan sepasang kantong serbuk sari kuning di punggung si lebah. Jika semua berjalan sesuai rencana (si anggrek), lebah akan mengeringkan sayapnya, terbang menghinggapi Coryanthes lainnya, tercebur ke dalam ember lagi, dan dalam perjalanannya keluar melalui terowongan, tanpa sepengetahuannya menyangkutkan ransel kuningnya ke kait-kait kecil yang beradaptasi untuk fungsi tersebut. Usai merampungkan penyerbukan, anggrek ember lalu menutup toko, merontokkan kelopak-kelopaknya yang mewah seperti potongan-potongan tisu kuning yang diremas-remas. !break!

Kasus Coryanthes menjadi contoh interaksi bahagia antara anggrek dan makhluk penyerbuknya yang sama-sama diuntungkan, tetapi kondisi seperti itu tidaklah selalu terjadi. Di YouTube ada tayangan video, berupa potongan adegan-adegan porno antarspesies, di mana kita dapat menyaksikan seekor tawon tertipu mentah-mentah, lalu dipermalukan oleh sebatang anggrek lidah Australia. Anggrek lidah (Cryptostylis) memikat makhluk-makhluk penyerbuknya dengan mengeluarkan wewangian yang sangat menyerupai feromon tawon betina (Lissopimpla excelsa). Tawon jantan akan hinggap di labellum yang menyerupai bentuk lidah dengan ekor terlebih dahulu, lalu mulai berkopulasi dengan si bunga, memasuki interior bunga tersebut menggunakan ujung abdomennya hingga akhirnya menyentuh kantong serbuk sari yang lengket, yang menempelkan diri pada pantat si serangga seperti sepasang ekor kuning.

Permainan pasang ekor pada makhluk penyerbuk tersebut baru merupakan permulaan dari rangkaian penghinaan yang bakal dialami si tawon. Seringkali, si tawon, dalam aktivitas seksualnya yang salah arah, berejakulasi ke dalam bunga. Tentunya ini merepresentasikan puncak perilaku yang maladaptif, dan seleksi alam dapat dipastikan akan bertindak kejam terhadap makhluk yang cukup ceroboh untuk menyia-nyiakan gennya dalam hubungan seks dengan sekuntum bunga. Hal itu dapat menjadi berita buruk, baik bagi si tawon maupun anggrek yang menggantungkan diri padanya. Namun sama seperti hal-hal aneh lainnya yang terjadi dalam dunia seks anggrek, masalah ini tidaklah sesederhana itu.

Tampaknya pada beberapa spesies serangga, seperti Lissopimpla excelsa, betina dapat bereproduksi dengan atau tanpa sperma jantan. Dengan sperma, mereka dapat menghasilkan keturunan jantan dan betina dalam rasio yang umum; tanpa sperma, mereka hanya menghasilkan keturunan jantan. Betapa menguntungkan—bagi anggrek lidah tentunya. Dengan merayu tawon untuk membuang sperma di bunganya, anggrek lidah mengurangi jumlah sperma yang tersedia bagi tawon betina dan dengan demikian memastikan populasi makhluk penyerbuk yang lebih besar lagi. Tidak hanya itu, tawon jantan dalam jumlah berlebih akan meningkatkan pencarian terhadap betina. Pada akhirnya, itu membuat tawon-tawon yang putus asa mengurangi sikap pemilih dalam mencari pasangan sehingga lebih besar lagi kemungkinan mereka untuk tertipu oleh sekuntum bunga.

Lalu bagaimana dengan si tawon yang malang? Mengapa seleksi alam belum memusnahkan serangga yang demikian bodoh karena mau berhubungan seks dengan bunga? Penjelasan terbaik yang pernah kudengar adalah dari John Alcock yang mengatakan, walaupun si tawon terkadang menyia-nyiakan gennya pada tumbuhan, ”hasrat seksnya yang berlebihan” masih menjadi strategi reproduksi yang lebih baik bagi serangga daripada berhati-hati dalam memilih pasangan. Sebagai penyeimbang, berhubungan seks dengan segala macam hal yang bergerak akan menghasilkan lebih banyak keturunan, walaupun terkadang berakhir dalam bencana percintaan.!break!

Mempelajari begitu banyak hal tentang anggrek juga berarti mengaguminya lebih besar, tetapi mungkin sebaliknya kita mengurangi rasa cinta kita padanya. Kita juga kembali berpikir, apakah kita telah menjadi korban dari karismanya yang menipu? Seperti lebah euglossine yang mengumpulkan wewangian, kita pun memanfaatkan anggrek untuk mengkomunikasikan pesan cinta kita, mengambil ekstraknya untuk parfum dan memakainya pada rangkaian korsase. Bunga anggrek telah melayani kita dalam kapasitas tersebut setidaknya sejak 1818, ketika William Cattley, seorang penanam tumbuhan dari Inggris, menyelamatkan sebuah umbi tumbuhan anggrek yang terbuang setelah digunakan sebagai bahan pengemas tumbuhan tropis saat dikapalkan. Ketika spesimen tersebut berkembang, hasrat terhadap anggrek lantas tumbuh dan hingga kini belum menyurut.

Aku menyaksikan Gaspar Silvera menggunakan tang untuk memindahkan kantong serbuk sari dari sebatang anggrek ember yang gagal menjebak lebah euglossine. Bekerja dengan kecermatan seorang ahli perhiasan, Silvera menggunakan tang tersebut untuk mengambil bagian dasar kantong itu, kemudian memasukkannya ke dalam celah di batang bunga lainnya. Lima tahun dari sekarang, Silvera bisa memperoleh jenis bunga baru yang berharga—dan si anggrek akan memperoleh keturunan yang mungkin tidak ia miliki sebelumnya.

Sejak berkembangnya bunga anggrek hasil perkawinan silang yang dilakukan oleh manusia (catatan pertama di dunia Barat terjadi pada 1856), kita, manusia, pun telah berperan sebagai makhluk penyerbuk anggrek yang juga penting—lebih atas dasar pamrih dibandingkan lebah anggrek, tetapi sama-sama terpikat untuk beraksi atas kepentingan si anggrek, turut membantunya dalam upaya si anggrek menguasai dunia. Saat ini, terdapat sekurangnya 10.000 anggrek hibrida yang terdaftar, sebagian besar di antaranya merupakan hasil keturunan dari perkawinan yang mustahil terjadi di antara tumbuhan-tumbuhan yang hidup berjauhan, dan itu telah diatur oleh (dan tak mungkin terjadi tanpa) kita.

Hal tersebut tidak pernah terdapat dalam perencanaan awal si anggrek. Dalam proses evolusi tidak pernah terdapat perencanaan, hanya kebetulan semata. Namun sejak anggrek menemukan salah satu kunci terhadap hasrat manusia dan menggunakannya untuk membuka hati kita, mereka berhasil menguasai sebuah dunia yang baru—dunia kita—dan mempekerjakan sejumlah besar anggota baru yang terdiri atas makhluk-makhluk yang mudah tertipu dan dengan senang hati bersedia melakukan tugasnya. Hadapi saja kenyataannya: Kita semua sekarang menjadi korban penipuan si anggrek.