Membungkam Kaum Fanatik

By , Senin, 26 Oktober 2009 | 09:08 WIB

DIA SENDIRILAH YANG MEMBUKAKAN PINTU. Tidak ada pengawal bersenjata, tidak ada upaya untuk bersembunyi. Abu Bakar Baasyir tinggal di sebuah rumah satu lantai yang bersahaja di pondok pesantren yang ikut ia dirikan di desa Ngruki yang tenang, di tengah-tengah dataran tinggi pada pusat pulau utama di Indonesia, Jawa. Baasyir berusia 71 tahun, berperawakan kurus, berjanggut putih, dan dengan mata hitam berbinar yang tampak lebih besar di balik kacamata berbingkai emas. Dia dituduh sebagai pemimpin spiritual kelompok Islam militan, Jemaah Islamiyah yang terkait dengan sedikitnya setengah lusin peristiwa pengeboman di Indonesia selama 10 tahun terakhir, termasuk ledakan yang meluluhlantakkan klub malam di Bali pada 2002 dan, mungkin, bom bunuh diri di sejumlah hotel mewah di Jakarta pada Juli 2009.!break!

Baasyir menyangkal dirinya terlibat dalam tindak kekerasan dan, seperti seorang pemimpin mafia yang sukses, mengelak dari keterkaitan yang bisa dibuktikan dengan setiap serangan itu. Dia menjalani hukuman penjara dua kali—total keduanya kurang dari empat tahun—atas dakwaan ringan yang tidak terkait langsung dengan pengeboman itu. Namun, pondok pesantren yang didirikannya jelas-jelas merupakan pusat jaringan kaum jihad yang bermaksud mendirikan negara Islam di Asia Tenggara; beberapa orang lulusan Ngruki pernah dijatuhi hukuman atas keterlibatan mereka dalam beberapa upaya pengeboman besar. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Baasyir telah menjadi inspirasi bagi ratusan, mungkin ribuan, upaya pembunuhan atau serangan terhadap kelompok Muslim “sesat” yang berada di luar arus utama Islam. Meski demikian, dia sendirilah yang membukakan pintu rumahnya. “Silakan masuk,” katanya dalam bahasa Indonesia. “Silakan diminum jusnya.”

Baasyir mengenakan kemeja panjang yang longgar, topi haji putih, dan arloji besar. Tidak ada kursi di kamar tamunya dan tidak ada hiasan, hanya ada dinding putih, tanaman dalam pot, dan sebuah meja rendah tempat toples plastik berisi kue wijen. Dia duduk di lantai, bertelanjang kaki, di karpet berwarna hijau daun. Putranya yang sudah dewasa Abdul Rahim menyuguhkan jus melon dalam gelas tinggi yang bening.

“Islam tidak mengenal kekerasan,” kata Baasyir dengan suaranya yang parau dan berat sambil menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti seorang konduktor. “Tetapi, jika ada gangguan yang dilancarkan musuh, kami berhak menggunakan kekerasan untuk melawannya. Itulah yang kami namakan jihad. Tidak ada kehidupan yang lebih mulia daripada mati syahid.” Dia memuji peristiwa 11 September dan bom Bali. Pengeboman-pengeboman itu, begitu dia bersikeras, bukanlah aksi terorisme. Pengeboman itu hanyalah “reaksi atas perbuatan musuh-musuh Islam.”

Indonesia terhampar di sudut peta dunia, tebaran pulau tidak jauh di utara Australia. Meski begitu, kekerasan di kawasan ini dapat terasa getarannya di seluruh dunia. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia dengan jumlah mencapai 207 juta orang—36 juta lebih banyak daripada negara berpenduduk Muslim terbanyak kedua di dunia Pakistan dan dua pertiga dari jumlah penduduk di semua negara Timur Tengah. Penduduk Muslim di negeri ini sangat taat; survei terkini oleh Pew Global Attitudes menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang penduduknya paling religius di dunia. Indonesia juga negara demokrasi yang sedang tumbuh pesat, negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan Amerika Serikat.!break!

Namun, Indonesia adalah negara demokrasi baru, masih tertatih-tatih—baru sekitar satu dasawarsa lebih diktator maya negara ini, Suharto, disingkirkan. Berakhirnya masa pemerintahan Soeharto memberi bangsa Indonesia kebebasan baru dalam berekspresi, meski hal itu juga berarti membebaskan kaum radikal semacam Baasyir yang mengasah pandangan ekstremnya selama masa pembuangan yang panjang di Malaysia; ke negara itulah dia melarikan diri setelah ditahan karena menentang Suharto. Setahun setelah bom Bali 2002, terjadi pengeboman pertama hotel JW Marriott di Jakarta, lalu pada 2004 serangan bom menghantam Kedutaan Australia, juga di Jakarta, dan pada 2005 terjadi tiga kali serangan bom bunuh diri, lagi-lagi di Bali. Baru beberapa bulan lalu, setelah cukup lama tidak terjadi pengeboman yang membuat banyak pakar mulai yakin bahwa ancaman terorisme sudah sangat berkurang, terjadi lagi pengeboman di Hotel Ritz-Carlton dan sekali lagi di JW Marriott. Semua kejadian ini tersebar di beberapa titik saja di negara yang luas ini. Namun, seperti peribahasa Indonesia, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”

Memang begitulah, 17.500 pulau di Indonesia kadang dapat terasa seperti begitu banyak kelereng di atas meja yang goyah. Dimiringkan sedikit saja, semua kelereng itu bergulir ke satu arah. Belum lama ini, pada 2005, Indonesia tampak seperti condong ke paham Islam radikal, menegaskan kekhawatiran dunia barat bahwa negara itu menjadi tempat berlindung para teroris. Selama beberapa dasawarsa, masyarakat Indonesia semakin terbuka keislamannya: Jama’ah mesjid bertambah banyak dan busana Muslim menjadi semakin populer. Pada 1990-an, semakin banyak pemerintah daerah yang mulai memberlakukan peraturan yang diinspirasi oleh syariah atau hukum Islam, dan dukungan untuk partai politik Islam terus meningkat. Makin lama, kelompok militan Islam yang mendukung perjuangan dengan kekerasan untuk membentuk Indonesia sebagai republik Islam tampaknya telah menenggelamkan suara mayoritas Muslim Indonesia yang berpendapat bahwa keimanan mereka dapat hidup berdampingan dengan mulus bersama kehidupan modern dan nilai-nilai demokrasi.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, meskipun orang Indonesia terus mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi mereka dengan penuh semangat, cukup jelas bahwa kebanyakan orang Indonesia tidak menginginkan agama memasuki ranah politik. “Begitu banyak orang yang menyamakan kesalehan Muslim dengan paham radikal,” kata Sidney Jones, pakar tentang Indonesia dari organisasi nirlama International Crisis Group yang sudah bermukim di negara ini selama lebih dari 30 tahun. “Indonesia sarat dengan contoh yang menunjukkan mengapa anggapan itu keliru.” Di saat sejumlah politisi Islam bergerak untuk mengatur tata busana kaum wanita dan melarang kegiatan seperti yoga, Muslim moderat mulai menyuarakan pendapat mereka. Pada pemilihan calon legislatif Indonesia pada April 2009, para calon yang didukung organisasi Islam mendapatkan suara kurang dari 23 persen, merosot dari 38 persen pada 2004.

Meskipun peristiwa pengeboman belum lama ini menjadi sebuah kemunduran, belakangan ini Indonesia dipandang sukses menyikapi kaum ekstremis yang mendukung kekerasan. Pihak berwenang berhasil menangkap sedikitnya 200 anggota Jemaah Islamiyah dalam lima tahun terakhir, meskipun beberapa tokohnya yang berbahaya masih tetap buron. Banyak penganut paham radikal beralih mendukung penegakan hukum Islam. Bahkan Abu Bakar Baasyir, sejak dibebaskan dari penjara pada 2006, menjaga jarak dengan faksi Jamaah Islamiyah yang lebih militan, dan mulai menggalakkan perjuangan mendukung syariah sebagai cara bagi umat Islam meraih sasaran mereka guna mengubah negara demokrasi menjadi republik Islam.!break!

Baasyir yakin bahwa lembaga penyusun undang-undang buatan manusia—parlemen, pengadilan—adalah penghinaan terhadap kekuasaan Tuhan. “Allah sudah mengirimkan buku petunjuk mengenai cara memperlakukan manusia,” katanya. “Buku itu adalah Quran.” Menurut pandangannya, tidak perlu lagi ada aturan lain. “Islam dan demokrasi,” dia menyimpulkan, “tidak bisa hidup berdampingan.” Setelah Suharto tidak berkuasa lagi dan pemerintah terpusat sudah melemah, pemerintah daerah dapat menentukan sendiri apakah akan memberlakukan peraturan berdasarkan hukum syariah. Di sejumlah tempat yang sudah melaksanakan hal ini, kata Baasyir, segala sesuatunya menjadi lebih baik. Jauh lebih baik. “Saksikan saja sendiri,” katanya.

PROVINSI ACEH yang berada di ujung barat laut kepulauan Indonesia, sekarang mungkin paling dikenal karena penderitaannya akibat terjangan hebat tsunami pada Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 160.000 jiwa. Namun selama berabad-abad, wilayah Aceh dikenal sebagai salah satu dari kawasan Muslim yang taat di seluruh Asia. Julukan Aceh adalah “serambi Mekah” dan banyak penduduknya tampak seperti duduk di serambi ini dengan membelakangi kawasan Indonesia lainnya, mengamalkan Islam dengan cara yang lebih mirip dengan yang dilaksanakan di seberang samudra, di Jazirah Arab. Di sini, tidak seperti di kawasan lain di Indonesia, kita dapat menyaksikan penerapan hukum Islam secara lebih ketat. Pada 1999, pemerintah pusat membuka jalan bagi Aceh untuk menjadi provinsi pertama yang menegakkan hukum syariah sebagai hukum pidana.

Devi Faradila adalah seorang wanita yang modis, 35 tahun, ibu dua anak, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah di Provinsi Aceh. Ketika aku mengunjungi Aceh, dia adalah pemimpin unit Polisi Syariah Banda Aceh yang seluruhnya wanita. Polisi Syariah adalah polisi kota yang bertugas mengawasi kepatuhan menjalankan peraturan daerah di ibukota provinsi itu. Pada hari Jumat—menurut peraturan provinsi Aceh pada hari itu semua pria Muslim harus ke mesjid—Faradila menyiapkan unitnya untuk bertugas, menghentikan permainan tenis meja di posnya, menggerak-gerakkan jarinya kepada dua orang petugas yang sedang asyik ber-sms.

Faradila dan 13 orang rekannya yang wanita mengenakan topi hitam untuk melengkapi pakaian seragam mereka—sepatu hitam, celana panjang hitam, blus hitam, dan jilbab hijau daun—lalu naik ke mobil pikap yang dilengkapi pengeras suara. Faradila, yang mengemudikan pickup itu, mengenakan sarung tangan kulit, mengoleskan lipstik, lalu mengenakan kacamata hitam. Wakilnya naik ke mobil dan duduk di sebelahnya. Yang lain duduk di bak mobil pickup itu.!break!