Sesungguhnya, bukan sekadar sulitnya mengembalikan sifat liar yang membuat memelihara anak orangutan menjadi tidak bijaksana. Berbagai penelitian mengisyaratkan bahwa satu ekor anak orangutan yang dijual di pasar gelap bermakna adanya satu ekor induk yang harus dibunuh. Pasalnya, di alam, anak orangutan akan melekat pada induknya hingga mencapai usia lima tahun. Selama dua tahun setelah itu, si anak pun tidak pernah berani bermain jauh-jauh dari sisi sang induk. Karena sepanjang hidupnya seekor orangutan betina dapat melahirkan dua hingga tiga ekor bayi, kematian seekor induk juga bermakna punahnya peluang kehadiran dua hingga tiga orangutan baru. Dalam laporannya di tahun 2002, Mark Leighton dari Harvard University menyatakan, kematian satu persen orangutan betina di alam per tahun cukup untuk membuat populasi spesies tersebut melorot.
Dua tahun silam, Departemen Kehutanan menerbitkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia. Dalam publikasi itu, terinci berbagai rencana kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Mulai dari masyarakat, para pemegang hak pengusaha hutan, pertambangan, hingga Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Disebutkan pula bahwa kegiatan rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ditargetkan selesai pada 2015.
Sayang, menurut Suci, hingga kini survei menunjukkan, bahwa hutan-hutan yang tersedia untuk pelepasliaran biasanya tidak layak bagi habitat orangutan. Hal ini diakibatkan oleh pohon pakan yang tidak cukup, ketinggian lahan yang tidak ideal bagi kehidupan orangutan yang seharusnya ada di dataran rendah, hingga hadirnya pemburu-pemburu sarang walet di dalam hutan tersebut. Pemburu dan pembalak jelas merupakan ancaman bagi orangutan yang hendak dilepasliarkan. Citrakasih Nente, seorang dokter hewan yang turut terlibat dalam program rehabilitasi orangutan di Kalimantan hingga paruh awal 2009 mengenang, sejak 2002—tahun terakhir pelepasliaran orangutan di hutan Gunung Meratus—dia berkali-kali merawat orangutan yang merupakan hasil pelepasliaran.
Pasalnya, kera-kera itu dibawa ke kantornya di pusat rehabilitasi dengan luka tembak dan luka bacok. Itu terus berlangsung hingga 2006, saat pembalakan liar marak di Meratus. Tahun-tahun berikutnya keadaan semakin membaik. “Setelah itu, sudah jarang orangutan yang datang dengan luka seperti itu,” jelas Citra.
Berbagai persoalan, perdagangan liar dan pemeliharaan ilegal, pembalakan liar, perburuan, dan perubahan lingkungan memang membuat masa depan orangutan tidaklah terlihat indah. “Mungkin ada orang yang berpikir, untuk apa kita memikirkan orangutan. Tapi kami ingin, orangutan itu memiliki kesempatan yang sama dengan orangutan yang kita lihat di alam liar. Kami ingin orangutan eks rehabilitasi punya kehidupan yang alami,” ujar Suci.
“Namun ingat, rehabilitasi bukanlah solusi,” lanjutnya penuh penekanan. Seperti halnya Barita, ia mengatakan bahwa hal yang paling penting adalah menjaga apa yang sudah ada di alam. “Seperti Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatra. Populasi orangutan yang ada di sana sudah sangat bagus. Yang sekarang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya agar luasan taman nasional itu tetap terus terjaga,“ papar Suci.
Mengambil anak orangutan dari induk mereka bisa jadi terlihat “mudah”. Namun, usaha pelepasliaran kembali ke alam membutuhkan usaha yang amat keras. Itulah usaha agar orangutan tidak sekadar dikenal di kebun binatang atau bahkan dalam ensiklopedia.