Jiwa-jiwa yang Gelisah

By , Jumat, 29 Januari 2010 | 15:00 WIB

Dalam sebuah kebudayaan sekaya dan sekuno China, garis sejarah dari masa lalu hingga masa kini tidak pernah lurus sempurna, dan pengaruh-pengaruh yang tidak terhitung jumlahnya telah membentuk dan mengubah sudut pandang orang China tentang kehidupan setelah kematian. Beberapa filsuf Tao tidak memercayai adanya kehidupan setelah kematian, namun kepercayaan Buddhis yang mulai mempengaruhi pemikiran orang China pada abad kedua Masehi, memperkenalkan konsep kelahiran kembali setelah mati. Konsep mengenai hadiah dan hukuman abadi juga terserap dari ajaran Buddha dan Kristen.

Namun banyak unsur dari kebudayaan awal seperti Shang dan Zhou yang tetap dapat dikenali sepanjang milenium. Orang China melanjutkan pemujaan terhadap leluhur mereka, dan mereka tetap membayangkan kehidupan setelah kematian dari segi material dan birokratis. Pengalaman-pengalaman yang nyaris mematikan menghasilkan legenda populer mengenai kecerobohan beberapa juru tulis tingkat rendah di alam baka yang salah menuliskan nama di buku kematian, nyaris mencabut nyawa manusia sebelum kesalahannya diketahui.

David Keightley memberi tahu saya bahwa sudut pandang tradisional China mengenai kematian merupakan pemikiran yang optimis. Tidak ada konsep dosa dasar, sehingga memasuki alam baka tidak membutuhkan perubahan yang radikal. Dunia tidak memiliki kecacatan yang fatal; hanya menyediakan contoh yang sangat layak untuk tahap berikutnya. “Di dunia Barat, kematian adalah mengenai proses kelahiran kembali, penebusan dosa, penyelamatan,” katanya. “Dalam tradisi China, Anda meninggal, namun tetap menjadi diri yang sama ketika masih hidup.”

Keightley percaya bahwa gagasan tersebut berkontribusi dalam menjaga stabilitas masyarakat China. “Kebudayaan yang melibatkan pemujaan terhadap leluhur pasti merupakan kebudayaan yang konservatif,” katanya. “Anda tidak akan menemukan sesuatu yang baru yang menarik, karena hal tersebut akan menjadi tantangan bagi para leluhur.”!break!

Perubahan terbaru yang terjadi di China sama sekali bukan hal yang konservatif, dan kondisi ini berdampak besar terhadap para arwah. Pemakaman seringkali diratakan untuk pembangunan gedung, dan banyak warga China di pedesaan telah berpindah ke kota, membuat perjalanan kembali ke desa untuk melaksanakan ritual Qingming menjadi mustahil. Beberapa orang mencoba pilihan lain dalam merawat makam—terdapat beberapa situs Internet yang membolehkan generasi keturunan merawat makam di dunia maya. Namun, membayangkan masa lalu di negara yang penuh perubahan merupakan hal yang sulit, banyak tradisi yang menghilang dengan mudah.

Tampaknya jumlah orang yang merayakan Qingming tiap tahunnya di Spring Valley makin menurun. Namun hari libur Qingming tetap bertahan, dan beberapa unsur masih mencerminkan ritual kuno. Kuburan desa ditata dengan kecermatan birokratis, setiap generasi di barisannya tersendiri. Kehadiran benda-benda materi masih dirasa penting: rokok, minuman alkohol, dan uang kertas untuk para arwah. Mungkin suatu hari nanti bahkan tradisi semacam ini akan ditinggalkan, namun untuk saat ini hal tersebut masih menghubungkan masa lalu dengan sekarang.

Tiga tahun setelah festival Qingming pertama yang saya ikuti, hanya tujuh penduduk desa yang melakukan perjalanan mendaki gunung menuju ke pemakaman. Pada puncak gunung, sebuah makam baru terbentang di barisan pertama, dihiasi sebuah lilin yang bertuliskan “Muda selamanya.” Saya bertanya kepada tetangga saya siapa yang dikuburkan di sini.

“Wei Minghe,” katanya. “Anda memberikan tumpangan pulang kepadanya beberapa tahun yang lalu. Ia meninggal tahun lalu. Saya tidak ingat bulan apa.”

Lelaki lain berbicara. “Ini pertama kalinya kami menandai makamnya.”

“Tahun lalu ia menimbun tanah di kuburan orang lain,” kata yang lainnya. “Tahun ini kami menimbun tanah di kuburannya.”

Saya mengambil sekop dan membantu menimbun. Seseorang menyalakan sebatang rokok Red Plum Blossom dan menancapkannya di timbunan tanah. Wei Minghe akan menyukai penataan seperti itu, dan ia akan menghargai pemilihan waktunya. Kami meninggalkan pemakaman sebelum fajar—para leluhur, paling tidak selama satu tahun berikutnya, dapat menikmati atap genteng mereka.