Tidak mudah merunut jejak kronologinya. Agus Purnomo, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim—lembaga di bawah Presiden yang bertanggung jawab dalam mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim di dalam negeri—saja merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan ini. “Tanyakan saja kepada Pak Presiden,” jawabnya, ketika saya mewawancarainya di ruang kerjanya. Seakan menambah ketidakyakinan, Agus mengatakan bahwa angka itu bukan harga mati. “Dalam dua minggu ke depan mungkin baru akan dirumuskan angka finalnya. Angka itu bisa saja berubah (bukan 26 persen), dan itu hal yang wajar,” ujarnya.
Persoalan mitigasi (upaya untuk meredam dampak) dan adaptasi (upaya untuk menyesuaikan diri) terhadap perubahan iklim, yang merupakan masalah “jangka panjang,” memang pelik. Ditambah lagi, Indonesia bukan termasuk negara yang dibebani tanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon karena tingkat emisi nasional maupun per kapita kita jauh di bawah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara Uni Eropa, dan China, atau India. Menurut data Divisi Statistik PBB, setiap tahunnya, emisi karbon kita hanya 1,2 persen dari total emisi dunia. Bandingkan dengan China (21,5%) dan AS (20,2%). Emisi per kapita kita juga masih jauh dibandingkan dua negara tersebut.
Secara politis, upaya penanggulangan perubahan iklim juga memiliki dilemanya tersendiri. Periode kekuasaan dalam suatu pemerintahan relatif pendek untuk membuat kebijakan dan investasi yang bersifat jangka panjang seperti masalah perubahan iklim.Tidak banyak pemimpin negara yang mau mengambil risiko itu.
Di dalam negeri, persoalannya bahkan lebih berat: minimnya data untuk dijadikan pijakan dalam membuat program-program mitigasi, tidak jelasnya sumber pendanaan, dan—ini masalah klasik—lambannya budaya birokrasi dan lemahnya inovasi dalam proses implementasi (Ingat, Indonesia sudah membuat rencana aksi nasional untuk menanggulangi perubahan iklim sejak November 2007.)
Dengan alasan tersebut, target 26 persen mungkin seperti terapi kejut bagi para pihak yang berkepentingan. Target ini juga mungkin bisa memacu adrenalin negara maju—dan China atau India—untuk berkomitmen secara sukarela mengurangi emisi domestik mereka. Namun, jika tidak ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh, masyarakat dunia akan menganggap presiden Indonesia sedang mengigau.
ANTROPOLOG AS LESLEY WHITE, yang dikenal karena ide-idenya soal evolusi kultural, dan kemudian menemukan istilah “kulturologi,” memiliki ketertarikan yang kuat pada teknologi. Pada 1973, saat membicarakan hubungan antara budaya dan teknologi dia berucap: budaya bisa berkembang seiring peningkatan kualitas dan kuantitas energi per kapita per tahun. Di kemudian hari, teori ini dikenal dengan “Hukum White” dan dijadikan pijakan bagi para mahasiswa jurusan teknik saat mempelajari soal energi.
Negara seperti AS, atau negara maju lain secara alamiah jelas mengikuti kecenderungan Hukum White. Amerika dan Eropa telah mengeksploitasi sumber kekayaan alam selama ratusan tahun, membangkitkan energi dalam jumlah yang tidak terbayangkan untuk kebutuhan industri dan mencukupi kebutuhan (gaya) hidup warganya. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat suatu negara meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi energi. Hasilnya, Amerika menjadi negara dengan tingkat kemakmuran yang sulit dikejar oleh negara manapun, meski pada saat yang sama menjadi pencemar atmosfer nomor satu.
Sementara kemakmuran—yang bisa dilihat dari angka Human Development Index (HDI)—negara-negara maju berada di atas angka 0,9 (dari total 1,0), dan mereka menjadi negara dengan tingkat konsumsi listrik terbesar di dunia. Setiap warga negara Amerika, misalnya, mengonsumsi sekitar 12.000 kWh setiap tahunnya, Jepang sedikit di atas 7.000 kWh, dan warga Inggris hampir menyentuh 6.000 kWh. Sementara konsumsi listrik per kapita Indonesia masih di bawah 1.000 kWh per tahunnya, dengan angka HDI di bawah 0,7.
Belakangan, China dan India sedang meniru AS di masa lampau. Di China, setiap minggunya dibangun pembangkit batu bara baru, membuatnya melampaui AS dalam hal emisi karbon, tetapi sekaligus melahirkan ledakan jumlah masyarakat menengah ke atas di negara tersebut. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat di Negeri Tirai Bambu disertai daya beli yang tinggi memaksa industrialisasi di China kini seperti berlari, dan seterusnya menimbulkan efek domino perusakan lingkungan yang juga dahsyat. Pasalnya, kebutuhan akan energi (konvensional) meniscayakan tingginya emisi karbon. Tentu saja.!break!
Dalam Indonesia Energy Outlook & Statistic 2006 yang disusun oleh Pengkajian Energi Universitas Indonesia, proyeksi emisi karbon dioksida nasional dari sektor pembangkit listrik saja bisa melonjak nyaris tiga kali lipat dalam kurun waktu 15 tahun, dihitung sejak saat ini. Itu baru dari pembangkit listrik, belum lagi sektor transportasi, industri, dan yang lebih pelik, kehutanan dan lahan gambut. Banyak data sudah disajikan, dan hampir semua merefleksikan betapa beratnya langkah kita untuk menurunkan emisi jika melihat realitas kebijakan, implementasi pembangunan yang ramah lingkungan dan perilaku masyarakat kita saat ini.
Kemudian muncul angka 26 persen itu.
Jika dalam keadaan business as usual saja kita masih kesulitan mengejar kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi, bagaimana jika mesti dibebani pula dengan upaya mitigasi? Rasanya tidak adil jika di saat kita masih butuh untuk memanfaatkan sumber daya alam demi mengejar kemakmuran, tetapi kemudian kita pilih untuk memikirkan cara lain—yang jauh lebih sulit—padahal sesungguhnya kita tidak didesak untuk melakukannya.