Roh di Hamparan Gurun

By , Senin, 22 Februari 2010 | 10:48 WIB

Di lembah-lembah selatan yang teramat kering, para insinyur Nasca kuno mungkin telah merancang cara yang lebih praktis untuk mengatasi kelangkaan air. Sebuah sistem sumur horisontal yang dirancang dengan cerdik menampung arus air yang menuruni kaki bukit Andes, membuat para pemukim dapat mengangkat air bawah tanah ke permukaan. Sistem irigasi semacam ini yang dikenal sebagai puquios masih terus mengairi lembah-lembah selatan.

Mungkin akibat kesulitan yang mereka hadapi, suku Nasca tampaknya sangat sadar lingkungan. Penciptaan puquios menunjukkan kemampuan konservasi air yang sangat canggih mengingat saluran air bawah tanah meminimalkan penguapan. Para petani Nasca menanam benih dengan membuat satu lubang di tanah, bukan dengan cara membajak, sehingga mampu menjaga substruktur tanah. Selama kunjungan ke La Muna, sebuah situs Nasca, Isla menunjukkan lapisan-lapisan vegetatif pada dinding sejumlah bangunan dan teras yang menghiasi permukiman di lereng bukit berbatu itu. Suku Nasca, katanya, telah mendaur ulang sampah mereka sebagai bahan bangunan. "Mereka adalah masyarakat yang mengelola sumber daya dengan sangat baik," kata Isla. "Ini adalah cerminan suku Nasca yang sesungguhnya."

Sekarang ini, kebanyakan orang mengenal Nasca hanya karena gambarnya. Namun, walau Nasca adalah pembuatgeoglyph yang paling produktif, mereka bukanlah yang pertama. Pada bukit yang berbatasan dengan sebuah dataran tinggi di selatan Palpa, terhampar tiga geoglyph berbentuk manusia dengan mata yang besar dan rambut yang aneh, dibuat setidaknya 2.400 tahun silam—lebih awal dibandingkan tanggal munculnya peradaban Nasca di hampir semua buku teks. Kelompok Reindel telah menemukan tak kurang dari 75 kelompok geoglyph di daerah Palpa yang diketahui berasal dari kebudayaan Paracas kuno. Geoglyph Paracas tersebut--yang sering menggambarkan sosok manusia—punya motif visual yang berbeda dari gambar yang diukir di bebatuan (petroglyph). Selama survei kecil baru-baru ini di sebuah situs yang diduga berasal dari zaman Paracas di Lembah Sungai Palpa, Isla menemukan sebuah petroglyph monyet—sebuah inkarnasi mengejutkan dari geoglyph Nasca terkenal yang telah ditunjukkan oleh Isla pada pampa di bawah pesawat kami.

Sejumlah penemuan baru tersebut punya penjelasan penting perihal gambar Nasca: gambar-gambar itu tidak dibuat pada satu waktu, tidak di satu tempat, tidak untuk satu tujuan. Banyak gambar yang diukir menimpa gambar yang lebih tua dengan pengurangan dan penambahan yang menambah kerumitan penafsirannya; sekali waktu, arkeolog Helaine Silverman pernah menyamakan gambar-gambar itu dengan coretan di papan tulis pada jam terakhir di hari yang sibuk di sekolah. Pemahaman populer bahwa gambar-gambar tersebut hanya dapat dilihat dari udara merupakan mitos modern. !break!

Geoglyph dari zaman Paracas kuno diletakkan di sisi bukit sehingga bisa dilihat dari pampa. Pada zaman Nasca kuno berbagai gambar itu—yang tidak begitu antropomorfik dan lebih naturalistic—telah berpindah dari lereng bukit ke lantai pampa. Hampir semua sosok binatang ikonis, seperti laba-laba dan burung kolibri, digambar hanya dengan menggunakan sebuah garis; seseorang bisa melangkah ke dalamnya dari sebuah titik awal dan keluar di titik lainnya tanpa pernah memotong garis yang lain, menunjukkan kepada para arkeolog bahwa pada suatu saat di zaman Nasca kuno, gambar itu berevolusi dari sekedar gambar menjadi jalur prosesi upacara. Kemudian, mungkin karena ledakan pertumbuhan penduduk yang telah didokumentasikan oleh tim Jerman-Peru, semakin banyak orang berpartisipasi dalam berbagai ritual tersebut, dan geoglyph itu pun mengambil pola-pola geometris yang lebih terbuka dengan beberapa trapezium dengan ukurannya mencapai lebih dari 600 meter. "Menurut kami," ujar Reindel, "gambar-gambar ini tidak lagi dimaksudkan hanya untuk dilihat, tetapi menjadi sejumlah tahapan yang akan dilalui, digunakan pada sejumlah upacara keagamaan."

Berbagai tata cara peribadahan kuno itu telah meninggalkan jejak dalam tanah itu sendiri. Antara 2003 dan 2007, Tomasz Gorka dan Jorg Fassbinder, ahli Geofisika Departemen Monumen dan Situs Negara Bagian Bavaria Jerman, mengukur medan magnet bumi pada trapesium dekat Yunama, sebuah desa di luar Palpa, dan pada gambar yang lain di dekatnya. Gangguan sinyal magnetik yang halus menunjukkan bahwa tanah tersebut, terutama di sekitar altar, telah dipadatkan oleh aktivitas manusia. Pada saat yang bersamaan, Karsten Lambers, anggota lain dari Proyek Nasca-Palpa, mengumpulkan data posisi dan pengukuran yang akurat dari sejumlah gambar dari ratusan geoglyph. Data menunjukkan bahwa trapesium dan bentuk geometrik lainnya dibangun pada sebuah lokasi di mana bentuk-bentuk itu akan terlihat dari sejumlah tempat lainnya. Tim menyimpulkan, lokasi itu adalah tempat di mana "kelompok-kelompok sosial melakukan sesuatu dan saling berinteraksi, sementara penonton di lembah-lembah dan di situs geoglyph lainnya bisa melihat dan mengamati."

Cerro Blanco yang merupakan salah satu bukit pasir tertinggi di dunia menjulang pucat dan tampak menonjol di tengah-tengah mangkok kaki perbukitan di Pegunungan Andres yang damai, mendominasi penorama ragawi dan rohani sejumlah lembah Nasca selatan. Selama berabad-abad lamanya masyarakat di Pegunungan Andes menyembah dewa-dewa yang bersemayam di dalam pegunungan seperti Cerro Blanco. Menurut Johan Reinhard, seorang National Geographic explorer-in-residence, secara tradisional pegunungan itu telah dihubungkan—secara mitos, jika tidak geologis—dengan sumber-sumber air. Barang pecah belah suku Nasca yang mengotori jalan menuju puncak Cerro Blanco menunjukkan adanya hubungan yang cukup dalam hingga ke masa lalu.

Pada 1986 Reinhard melaporkan penemuan reruntuhan sebuah lingkaran batu upacara di puncak Illakata. Pada ketinggian lebih dari 4.200 meter, gunung tersebut merupakan salah satu pegunungan tertinggi yang menjadi sumber sistem irigasi Nasca. Bersama dengan jejak-jejak lain aktivitas ritual di puncak sumber air Nasca, penemuan itu membuat Reinhard mengajukan pendapat bahwa salah satu tujuan utama pembuatan gambar-gambar Nasca berkaitan dengan penyembahan dewa-dewa gunung, termasuk Cerro Blanco. Pasalnya, dewa-dewa itu memiliki hubungan dengan air.!break!

Riset terbaru memperkuat hipotesa tersebut. Pada sejumlah dataran tinggi yang letaknya lebih jauh ke utara, di mana binatang vicuña liar berkeliaran di dekat hulu Sungai Palpa, saya bergabung dengan Reindel dan timnya untuk mencapai puncak gunung suci yang disebut masyarakat lokal sebagai Apu Llamoca (dalam bahasa asli, apu adalah kata untuk "dewa"). Di puncak gigir gunung berapi yang gelap ini, Reindel menunjukkan sebuah lingkaran penyembahan dengan tembikar keramik yang ditemukan tim pada 2008 dan di dekatnya ada sebuah struktur setengah lingkaran yang hampir sama dengan lingkaran yang telah ditemukan Reinhard di Illakata.

Namun bagi para peneliti Proyek Nasca-Palpa, pencerahan sesungguhnya yang menghubungkan ritual suci suku Nasca dengan penyembahan air terkuak tahun 2000 pada trapesium yang mendominasi dataran tinggi terpencil di dekat desa Yunama. Para arkeolog sudah sering melihat gundukan batu besar buatan manusia di ujung trapezium seperti itu, yang mereka duga sebagai altar upacara. Saat Reindel menggali salah satu gundukan tersebut dan menemukan tembikar yang sudah hancur, tempurung udang karang, sisa-sisa sayuran, dan relik lainnya yang jelas mewakili ritual persembahan, dia menemukan sejumlah potongan kerang laut besar dari genus Spondylus. Kerang itu bisa dibedakan berdasarkan coraknya yang berwarna krem mirip karang dan permukaan luarnya yang tajam. Spondylus muncul di perairan pantai utara Peru hanya pada saat musim El Niño dan oleh karenanya dihubungkan dengan kedatangan curah hujan serta kesuburan lahan pertanian.

"Kerang Spondylus adalah salah satu dari beberapa barang dari arkeologi Andes yang telah diteliti dengan cermat,“ kata Reindel. "Kerang itu merupakan simbol keagamaan yang sangat penting bagi air dan kesuburan. Seperti dupa di Dunia Lama, kerang spondylus dibawa dari tempat yang jauh dan ditemukan dalam konteks tertentu, seperti penguburan benda, juga pada altar ini. Ia dihubungkan dengan aktivitas tertentu untuk berdoa meminta air. Dan sudah jelas," tambahnya, "bahwa di daerah ini, air adalah masalah penting."

Namun, semua persembahan dan doa itu tidak mendapatkan jawaban. Pada 2004, di situs La Tiza di selatan daerah Nasca yang menghadap ke Sungai Aja nan kering, arkeolog Christina Conlee menorehkan penemuan yang mencekam saat menggali sebuah makam suku Nasca. Bagian pertama dari kerangka yang muncul dari dalam tanah bukanlah tengkorak melainkan tulang leher. "Kita bisa melihat tulang belakang berada paling atas," ujar Conlee. "Orang itu berada dalam posisi duduk, dengan tangan bersedekap dan kaki bersila, tapi tanpa kepala."!break!