Gletser Tibet

By , Kamis, 1 April 2010 | 16:27 WIB

Dewa pasti sedang marah. Ini satu-satunya penjelasan yang masuk akal bagi Jia Son, petani Tibet yang menyaksikan malapetaka berlangsung di atas desanya di Provinsi Yunnan yang bergunung-gunung di China. "Kami merusak tatanan alam," ujar penganut Buddha berusia 52 tahun yang taat itu. "Dan sekarang para dewa menghukum kami."!break!

Pada suatu sore musim panas yang hangat, Jia Son mendaki lebih dari dua kilometer ke atas ngarai yang diukir Gletser Mingyong di gunung suci Kawagebo, yang menjulang 6.740 meter ke awan. Tidak ada tanda-tanda es, hanya ada sungai yang keruh oleh lelehan sarat-lumpur. Selama lebih dari satu abad, sejak lidahnya menjulur sampai tepi desa Mingyong, gletser itu mundur laksana ular sekarat yang kembali ke sarangnya. Proses itu semakin cepat dalam sepuluh tahun terakhir, hingga lebih dari sebidang lapangan bola setiap tahunnya—terlalu cepat untuk ukuran massa es purba.

"Sepuluh tahun yang lalu, ini semua tertutup es," ujar Jia Son, sambil mendaki di antara bebatuan dan semak. Dia menunjukkan lintasan yak di lereng, sekitar 60 meter di atas dasar lembah. "Dulu gletser ini terkadang menutupi lintasan itu, jadi kami harus menuntun ternak melintasi es untuk mencapai padang rumput di atas."

Di dekat kelok sungai, moncong gletser akhirnya terlihat: Warnanya hitam, penuh hancuran batu dan kotoran. Air dari es ini, yang dulu begitu murni sehingga menjadi simbol Buddha dalam upacara, kini begitu penuh sedimen sehingga tak bisa diminum penduduk desa. Permukaan gletser yang dulu halus kini kasar dan berlubang-lubang sepanjang lebih dari satu kilometer, seperti kulit penderita kusta. Es biru kehijauan sesekali tampak dalam retakan, tapi celah itu sendiri menandakan adanya masalah. "Makhluk ini sakit dan semakin lemah," ujar Jia Son. "Jika gletser suci kami tidak dapat selamat, bagaimana nasib kami?"

Pertanyaan ini menggema di seluruh dunia, tetapi paling mendesak di bentangan luas Asia yang mendapat airnya dari "atap dunia". Raksasa geologis ini—dataran tinggi yang tertinggi dan terbesar di planet ini, dikelilingi oleh pegunungan tertinggi di dunia—meliputi wilayah yang lebih luas daripada Eropa Barat, dengan ketinggian rata-rata lebih dari tiga kilometer. Dengan hampir 37.000 gletser di bagian China saja, Dataran Tinggi Tibet dan pegunungan di sekitarnya mengandung volume es terbesar di luar kawasan kutub. Es ini melahirkan sungai-sungai terbesar dan paling melegenda di Asia, mulai dari Sungai Kuning dan Yangtze hingga Mekong dan Gangga—sungai yang sepanjang sejarah telah membesarkan peradaban, mengilhami agama, dan melestarikan ekosistem. Kini sungai-sungai itu menopang kehidupan beberapa kawasan permukiman terpadat di Asia, mulai dari dataran gersang Pakistan hingga kota-kota besar yang haus air di China utara, hampir 5.000 kilometer jauhnya. Secara keseluruhan, sekitar dua miliar orang di lebih dari sepuluh negara—hampir sepertiga penduduk dunia—bergantung pada sungai yang airnya berasal dari lelehan salju dan es kawasan dataran tinggi ini.!break!

Tetapi, krisis sedang terjadi di atap dunia, dan ada paradoks aneh dalam masalah ini: Walaupun tampak kokoh dan abadi, bentangan geologi ini lebih rentan terhadap perubahan iklim daripada hampir semua tempat lain di Bumi. Selama seabad ini, Dataran Tinggi Tibet secara keseluruhan memanas dua kali lebih cepat daripada rata-rata global yang sebesar 0,74°C —dan bahkan lebih cepat di beberapa tempat. Tingkat pemanasan yang belum pernah terjadi selama sekurang-kurangnya dua milenia ini tak kenal ampun pada gletser di sana. Kombinasi langka ketinggian dan lintangnya yang rendah membuatnya sangat peka terhadap perubahan iklim.

Selama ribuan tahun gletser itu menjadi sesuatu yang disebut Lonnie Thompson, pakar gletser di Ohio State University, sebagai "rekening bank air tawar Asia"—gudang raksasa yang pembentukan es dan salju barunya (deposit) secara historis mengimbangi limpasan tahunannya (penarikan). Lelehan gletser berperan paling penting sebelum dan sesudah musim hujan. Saat itu gletser memasok sebagian besar aliran sungai, mulai dari Yangtze (yang mengairi lebih dari setengah padi China) hingga Gangga dan Indus (sangat penting bagi pusat pertanian India dan Pakistan).

Tetapi, selama setengah abad terakhir, keseimbangan ini hilang, dan mungkin tidak dapat dikembalikan. Dari 680 gletser di Dataran Tinggi Tibet yang dipantau secara saksama oleh para ilmuwan China, 95 persen melelehkan es lebih banyak daripada yang dibentuknya. Pengurangan terbesar terjadi di tepi selatan dan timur. "Gletser-gletser ini bukan hanya menyurut," ujar Thompson. "Melainkan juga kehilangan massanya karena menipis." Tutupan es di bagian ini di dataran tinggi itu telah menyusut lebih dari 6 persen sejak 1970-an—sementara kerusakan yang lebih parah terjadi di Tajikistan dan India utara, dengan penurunan 35 persen dan 20 persen selama lima dasawarsa terakhir.    Meskipun ilmuwan belum sepakat mengenai laju dan penyebab surutnya gletser, sebagian besar tidak mengingkari bahwa hal itu terjadi. Dan menurut mereka, mungkin akan semakin parah. Semakin banyak daerah gelap yang terpapar akibat pelelehan es, semakin banyak pula sinar matahari yang terserap dibanding yang dipantulkan, sehingga suhu naik lebih cepat. (Beberapa ahli klimatologi berpendapat bahwa lingkaran umpan balik pemanasan ini dapat memperkuat monsun Asia. Hal ini akan menyebabkan lebih banyak badai dahsyat dan banjir di tempat-tempat seperti Bangladesh dan Myanmar.) Jika tren ini terus berlanjut, menurut ilmuwan China 40 persen gletser dataran tinggi itu dapat menghilang sebelum 2050    !break!

Potensi dampaknya jauh melampaui gletser semata. Di Dataran Tinggi Tibet, terutama di sisi utaranya yang kering, masyarakatnya sudah merasakan akibat iklim yang lebih hangat. Padang rumput dan lahan basah kian berkurang, dan es abadi yang memberi air pada musim semi dan musim panas kian mundur ke tempat yang lebih tinggi. Ribuan danau mengering. Kini sekitar seperenam dataran tinggi itu menjadi gurun, dan di beberapa tempat bukit pasir tersebar di dataran tinggi itu laksana gelombang segara kuning. Gembala yang dulu hidup makmur di sini kehilangan mata pencahariannya.

Sebaliknya, di tepi selatan dataran tinggi itu, banyak masyarakat yang menghadapi masalah terlalu banyak air. Di desa pegunungan seperti Mingyong, lelehan es membuat sungai meluap, dengan efek samping yang menguntungkan: lahan pertanian semakin luas dan musim tanam bertambah panjang. Namun, manfaat tersebut sering menyimpan bahaya tersembunyi. Di Mingyong, gelombang air lelehan mengikis humus; di tempat lain, kelebihan limpasan dituding menyebabkan kian seringnya terjadi banjir dan tanah longsor. Di pegunungan dari Pakistan hingga Bhutan, terbentuk ribuan danau glasial, banyak yang berpotensi tidak stabil. Salah satu yang berbahaya adalah Imja Tsho, di ketinggian 5.000 meter di jalur ke Puncak Island di Nepal. Lima puluh tahun yang lalu, danau itu tidak ada. Kini, danau yang dipenuhi air lelehan itu memanjang sejauh 1,6 kilometer dengan dalam 90 meter. Jika dinding danau ini yang berupa bebatuan sisa gletser jebol, desa-desa Sherpa di lembah di bawahnya akan tenggelam.

Situasi ini—terlalu banyak air, terlalu sedikit air—menggambarkan arah krisis global dalam skala kecil. Sekalipun pencairan gletser memberikan air berlimpah dalam jangka pendek, hal itu menjadi pertanda suatu akhir yang menakutkan dalam jangka panjang: surutnya sungai-sungai terbesar Asia. Tidak ada yang dapat memperkirakan kapan persisnya penyusutan gletser akan menyebabkan penurunan drastis air limpasan. Apakah itu terjadi dalam 10, 30, atau 50 tahun tergantung pada kondisi setempat, tapi kerusakan yang diakibatkannya di seluruh kawasan itu sangat serius. Di samping kekurangan air dan listrik yang parah, para pakar meramalkan anjloknya produksi pangan, migrasi yang meluas akibat perubahan ekologi, bahkan konflik antara negara-negara besar di Asia.

Tenda pengembara itu terlihat seperti titik putih di tengah kanvas hijau dan cokelat. Tak ada tanda lain keberadaan manusia di prairi dengan ketinggian 4.270 meter itu, yang seakan membentang hingga ke ujung dunia. Saat terdengar bunyi kendaraan mendekati tenda, muncul dua pemuda, rambut mereka yang hitam panjang berkibar tertiup angin. Ba O dan saudaranya Tsering adalah keturunan langsung pengembara Tibet yang selama sekurang-kurangnya seribu tahun telah menggembala ternak ke padang rumput musim panas di dekat hulu Sungai Yangtze dan Sungai Kuning.!break!

Di dalam tenda, istri Ba O melemparkan gumpalan kotoran yak kering ke api sementara anaknya yang berusia empat tahun bermain dengan segulung bulu domba. Wanita pemimpin keluarga itu, Lu Ji, mengaduk susu yak untuk membuat keju, bergoyang maju-mundur dengan irama yang menenangkan. Di belakangnya, di atas dua peti Tibet tua, ada tempat pemujaan Buddha kecil: roda doa merah, beberapa teks Tibet yang luntur, dan beberapa lilin dari mentega yak yang apinya tidak pernah dibiarkan padam. "Beginilah cara hidup kami selama ini," kata Ba O. "Dan kami tidak ingin hal itu berubah."