Membelah Air

By , Kamis, 1 April 2010 | 15:42 WIB

Saat aku dan Bromberg mengikuti aliran mata air Auja itu ke timur, kami melewati kompleks pompa dan pipa yang dikelilingi kawat berduri—sebuah sumur Mekorot, dibor hingga 600 meter untuk menyedot akuifer. "Pipa biru dan putih," kata Bromberg. "Beginilah bentuk pencurian air di bagian dunia ini."

Negosiator air utama Israel, Noah Kinnarti, tidak sependapat. Air bawah tanah tidak mengenal perbatasan, katanya, dan menjelaskan bahwa orang Israel juga harus membeli air yang mereka gunakan. "Orang Palestina mengira hujan yang turun di Tepi Barat adalah milik mereka," katanya kepadaku di kibbutz-nya (semacam ladang komunal) dekat Danau Galilea. "Padahal dalam perundingan Oslo, kami sepakat untuk berbagi air itu. Mereka saja yang tidak mampu mengatur diri untuk melakukannya."

FOEME mulai menghadapi masalah sulit ini pada tahun 2001, ketika terjadi kekerasan Palestina-Israel yang intens. Namun, dengan berfokus lebih dulu pada cara-cara meningkatkan kualitas air, LSM ini mendapat dukungan dan kepercayaan berkat program Good Water Neighbors, sebuah prakarsa pendidikan arus bawah. LSM?ini juga berjuang membangun taman perdamaian Israel-Yordania di sebuah pulau di tengah sungai. Mungkin yang paling penting, mereka menekan pemerintah untuk menjalankan komitmen pembagian air yang tercantum dalam perjanjian perdamaian. Mereka berusaha menjadikan Sungai Yordan sebagai contoh kerja sama yang diperlukan untuk mencegah perang air di masa depan.

"Orang di seluruh dunia mengasosiasikan Sungai Yordan dengan perdamaian," kata Munqeth Mehyar, salah satu direktur FOEME di Yordania. "Kami hanya membantu agar sungai itu sesuai dengan reputasinya!"!break!

Aku singgah di rumah seorang petani tua bernama Muhammad Salamah. "Ledeng tak mengucur di rumahku lima minggu ini," ujar Salamah. "Jadi, sekarang setiap hari aku harus membeli setangki air dari Mekorot untuk kebutuhan keluarga dan memberi minum domba, kambing, dan kudaku." Dia juga harus membeli makanan bagi hewan piaraannya karena tidak ada air untuk mengairi tanaman. Untuk menutupi biaya tersebut ia menjual ternaknya, sementara anak-anaknya bekerja di sebuah permukiman Israel. Mereka merawat tomat, melon, dan tanaman lain yang airnya berasal dari akuifer yang terlarang bagi petani Palestina. "Apa daya kami?" tanyanya sambil menuangkan segelas air Mekorot dari botol plastik. "Ini tidak adil, tapi tak ada yang bisa kami lakukan untuk mengubahnya."

Hari itu cerah, dan dari jendela depannya kami dapat memandang melintasi lembah cokelat kering itu hingga ke barisan tumbuhan hijau kelabu yang menandai aliran Sungai Yordan. Untuk sesaat, airnya tampak bisa dijangkau. "Tapi untuk sampai ke tempat itu aku harus melompati pagar listrik, menyeberangi ladang ranjau, dan melawan tentara Israel," ujar Salamah. "Aku harus melancarkan perang air!"