Rumah Satwa India

By , Senin, 2 Agustus 2010 | 12:12 WIB

Bobot seekor badak cula satu India—Rhinoceros unicornis, jenis badak yang tubuh hingga bokongnya seperti dilapisi perisai—sama dengan berat sebuah mobil SUV. Hanya badak putih Afrika (Ceratotherium simum) sajalah yang ukuran badannya lebih besar. Hanya badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis, populasi 350 atau kurang) dan badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, 50 atau kurang) yang lebih terancam keberadaannya. R. unicornis yang dulu banyak ditemukan dari Pakistan hingga Myanmar kini hanya tersisa kurang dari 2.700 ekor. Seperempatnya terdapat di sepuluh suaka margasatwa kecil-kecil di India utara dan negara tetangganya, Nepal. Boleh dikatakan sisanya—sekitar 2.000 ekor menurut perhitungan terakhir—hidup di Taman Nasional Kazaringa, suaka margasatwa seluas 860 kilometer persegi yang mencakup 80 kilometer Sungai Brahmaputra dengan sejumlah pulau pasirnya, sedikit daerah di India utara, dan daerah genangan banjir sungai yang lebih luas ke arah selatan. Dengan mengecualikan sungai itu, angka-angka tersebut bermakna empat ekor unicorn purba berperisai, dan galak untuk setiap kilometer persegi taman nasional.!break!

Seabad lampau, kurang dari 200 ekor badak cula satu yang tersisa di negara bagian India utara, Assam. Waktu itu, pertanian mengambil alih sebagian besar lembah-sungai yang subur, yang menjadi habitat badak. Sementara itu, badak yang bisa bertahan hidup juga terus-menerus menghadapi serangan pemburu liar yang mengincar cula badak ataupun menjadikannya sebagai trofi. Pada 1908, Kaziranga dijadikan suaka margasatwa terutama untuk menyelamatkan badak yang saat itu mungkin hanya sekitar 12 ekor di kawasan itu. Pada tahun-tahun berikutnya, suaka tersebut berkembang, berstatus taman nasional pada 1974, dan ditahbiskan menjadi situs Pusaka Dunia pada 1985. Pada akhir 1990-an, taman tersebut bertambah luas lagi, menjadi dua kali lipat (meski masalah hukum masih harus diselesaikan). Sekarang, sebagai suaka badak terbesar dan terpenting di Asia dan menjadi pemasok badak bagi suaka margasatwa yang lain, Kaziranga menjadi kunci masa depan R. unicornis.

Dengan berkumandangnya kisah sukses pelestarian yang memukau itu, taman tersebut juga menampung hampir 1.300 ekor gajah liar; 1.800 ekor kerbau liar Asia (populasi terbesar yang masih tersisa); mungkin 9.000 rusa Asia; 800 ekor barasingh atau rusa rawa (tempat tersebut menjadi kantong habitat utama bagi spesies yang kian lenyap ini); puluhan ekor rusa sambar; dan ratusan celeng liar.

Jumlah tersebut juga berarti jutaan kilogram mangsa. Apalagi, serigala maupun anjing liar India tidak ada yang berkeliaran di taman itu. Beruang bhalu (Melursus ursinus) memang ada, tetapi menyantap rayap dan tetumbuhan, sedangkan macan tutul lebih menyukai hutan di lereng bukit yang ada di seputaran taman sebagai lahan berburunya. Ketika rusa Asia berteriak melengking karena ketakutan atau semua kerbau liar menggeleng-gelengkan kepalanya yang bertanduk melengkung dan menatap ke petak rumput yang sama, yang muncul kemungkinan besar adalah satwa jingga belang-belang dengan telapak kak sebesar piring.

Ekor rusa yang tiba-tiba berdiri tegaklah yang menyadarkanku: ada harimau! Seekor harimau sudah bergerak memasuki daerah terbuka di sekitar danau yang mengering, jaraknya hanya sepelemparan batu, tetapi aku tidak bisa melihatnya. Aku mengamati terlalu rendah di tanah. Yang pertama kulihat adalah kakinya. Lalu, aku menatap harimau yang menerkam rusa tertinggi, beratnya 225 kilogram dan tampak seperti terbuat dari nyala api. Kemudian, si pemburu dan buruannya lenyap, membuatku hanya bisa menatap lagi ke rerumputan yang warnanya belang-belang karena cahaya matahari yang sejenak tadi membingkai siluet si harimau.!break!

Mengingat deforestasi dan perburuan liar kian marak, disertai perlindungan yang lemah di banyak suaka, sebagian besar harimau India pun lenyap dalam kurun 25 tahun terakhir ini. Meski begitu, raja hutan itu tampaknya tumbuh berkembang di Kaziranga dengan perkiraan resmi 90 hingga 100 ekor. Itu angka yang menunjukkan tingkat kepadatan tertinggi di dunia sekarang ini.

Jadi, apa yang membuat Kaziranga bisa mengumpulkan begitu banyak satwa besar di dalam kawasan yang tak begitu luas? Jawabannya mengalir dari keberadaan sungai. Dengan hulu di daerah tinggi di Tibet, Sungai Brahmaputra  mengalir ke timur sepanjang kira-kira 1.100 kilometer, melintasi sisi utara Pegunungan Himalaya, kemudian berputar arah dan terus mengalir sepanjang 800 kilometer melalui India dan Bangladesh. Ketika monsoon bulan Mei-September menambah curah hujan ke daerah aliran sungai, sungai itu meluap menggenangi lembah. Di saat permukaan air turun kembali, dataran banjir telah diselimuti lapisan lanau baru yang sarat nutrisi. Rumput teki dan berbagai varietas rumput tinggi dengan sangat lebat mencuat dari lapisan lanau. Kemampuan tetumbuhan itu adalah mengubah cahaya matahari menjadi jaringan nirkayu yang kaya zat pati; artinya menumbuhkan padang luas yang ditumbuhi pangan berkalori tinggi—padang rumput yang tingginya bisa mencapai enam meter.

Kita membahas hutan sebagai tempat di kawasan subtropis yang dihuni sebagian besar margasatwa dan sangat memerlukan pelestarian. Betul habitat rumput tinggi di dataran aluvial memiliki keragaman fauna yang lebih besar dan jauh lebih langka. Namun, Taman Kaziranga juga memiliki padang rumput yang rumputnya pendek dengan fauna yang berlimpah dan sangat beragam yang terlihat di sabana terbuka di tempat tersbut bisa menandingi pemandangan di kebanyakan taman Afrika yang termasyhur.

Di dataran yang agak lebih tinggi, pepohonan seperti bunga lilak India membentuk payung hutan bersulur dan berudara segar. Sekelompok monyet rhesus melewati dahan bertambang itu, sementara. burung parkit dan rangkong papan menyemarakkan cabang pepohonan. Jika kita mendekatkan telapak tangan ke telinga, akan terdengar suara ratusan spesies burung lain keluar dari bayang-bayang seperti kerumunan burung berkicau riang dari kejauhan.!break!

Kanal-kanal banjir luapan sungai yang kemudian menjadi telaga dangkal dan secara berkala mendapatkan tambahan air dan ikan dari air bah, menghiasi bentang alam di sana-sini. Burung air yang bermigrasi, mulai dari angsa kepala garis hingga bebek ruddy shelduck berkumpul di dataran basah Kaziranga selama musim dingin bersama burung undan paruh totol dan tongtong leher hitam. Sementara elang-ikan Palla (Haliaectus leucoryphus) menyekop mangsa dari kolam, atau bil, berang-berang yang sedang berburu sesekali melompat dari air seperti lumba-lumba. Aku bahkan menyaksikan lumba-lumba Sungai Gangga sepanjang dua meter menyeruak dari permukaan Sungai Brahmaputra. Meskipun nyaris punah di sebagian besar habitatnya, mamalia ini tampaknya berkembang biak dengan baik di sepanjang sungai di taman Kaziranga, tidak ditangkap oleh nelayan maupun jaring yang membelit.

Pemanduku Budheswar Konwar membuka pintu jip kami yang beratap terbuka agar dapat memindahkan makhluk air lainnya—kura-kura tenda India—dari tengah jalan di siang hari yang panas itu. Penumpang lainnya turun dari jip untuk merentangkan badan dan mengamatinya. Ketika aku berbalik menegok ke arah yang berlawanan, tampak pemandangan yang sungguh mengerikan.

"Badak!" Satwa itu sudah dekat dan berderap ke arah kami.

Panser hidup itu mampu berlari lebih dari 40 kilometer per jam. Para pengunjung (Kaziranga dikunjungi sekitar 70.000 wisatawan India dan 4.000 wisatawan asing setiap tahun) harus didampingi penjaga taman bersenjata, dan persyaratan itu bukan formalitas basa-basi. Kami tidak punya waktu untuk melompat kembali ke dalam kendaraan dan melesat pergi, jadi Ajit Hazarika menembakkan senjatanya. Tembakan itu dilakukan dengan sangat cepat, tetapi tepat mengenai sasaran. Pelurunya mengenai tanah yang menyemburkan percikan tanah yang terasa pedih, hanya beberapa sentimeter dari kaki depan si penyerang. Disertai bunyi tembakan yang keras, percikan tanah itu sudah cukup untuk membuat si badak menghentikan larinya dan berbelok, hanya dua detik sebelum menjangkau kami.

Sepuluh menit kemudian, kendaraan kami menembus hutan menempuh jalan tanah yang ditinggikan ketika seekor badak yang baru saja selesai berkubang di kolam dangkal naik ke jalan, diikuti badak remaja yang ukurannya dua pertiga badak pertama. Sambil berjalan di bawah cahaya matahari yang panasnya sudah diredam oleh dedaunan, di atas hamparan kelopak bunga berwarna merah yang berguguran dari pohon kapas-sutra (Salmalia malabarica), keduanya melambat sambil saling mendengus. Seekor badak remaja lainnya lalu muncul di belakang keduanya. Ketiga satwa bercula itu kemudian hilang dari pandangan karena berjalan ke arah yang lain.!break!

Kendaraan kami bergerak lagi setelah menunggu beberapa saat dan ternyata si induk badak berlari melalui pepohonan ke arah kami. Tidak ada waktu untuk mundur, tidak ada kesempatan untuk mempercepat laju kendaraan di lintasan kasar ini. Hazarika, yang duduk di kursi penumpang, bahkan tidak sempat menembakkan senapannya sehingga si badak berselimut lumpur kering itu menghantam jip yang beratnya lebih ringan. Pintu jip langsung ringsek. Aku sadar bahwa si badak mendorong kendaraan kami ke tepi jalan dan berusaha menjungkirkannya hingga dua roda terangkat, lebih baik aku melompat sebelum binatang itu menggelindingkan kami.

Tidak seperti badak Afrika, badak India tidak menanduk musuh dengan cula di kepalanya. Badak India menggigit dengan gigi bawah besar yang setajam gunting. Gigi badak betina itu membuat lekukan yang dalam pada badan jip. Mengerikan!

Konwar menetapkan peraturan untuk Kaziranga—"Bukan untuk para penakut." Aku melanggar peraturan itu ketika dia menginjak pedal gas sekuat-kuatnya, berusaha keras untuk melepaskan diri dari sergapan si badak. Akhirnya kendaraan kami berhasil membalik lagi dan tidak tergelincir lagi. Tetapi, si badak langsung mengejar, dan masih bisa menyentuh kendaraan dan berlari dalam gumpalan awan tanah sejauh seratusan meter.

Tujuan kami adalah sebuah tempat yang memperlihatkan jejak dua ekor harimau di seputar bangkai seekor badak. Harimau memangsa hingga 15 persen bayi badak di Kaziranga. Bangkai tersebut menunjukkan bahwa kedua harimau menyergap badak dewasa—perburuan berisiko yang jarang terjadi.!break!

Ancaman paling serius bagi badak masih berasal dari manusia, sama seperti seabad yang lalu. Itulah sebabnya mengapa Kaziranga dijaga oleh hampir 600 orang penjaga di lapangan yang di bersiaga di sejumlah pos yang dibangun di antara kawasan binatang besar yang bandel dan para penjarah. Pasukan penjaga tinggal di 130 pemondokan, sebagian berupa bangunan beton, sementara sisanya berupa rumah kayu atau gubug, semuanya berdiri di atas tiang seperti rumah panggung. Para penjaga menandai tiang pemondokan itu yang menunjukkan tinggi air saat banjir; pada beberapa tahun tertentu, tandanya ada pada tiang di lantai atas. Para penjaga melakukan ronda berdua atau bertiga dengan berjalan kaki atau naik gajah—atau naik perahu. Patroli siang berakhir di malam hari. Mereka bangun untuk memulai giliran berikutnya lama sebelum fajar merekah, dengan pertama-tama singgah sejenak di kuil sederhana untuk bersembahyang kepada Dewi Kakoma, sekali lagi memohon agar ronda yang akan dijalankan itu berlangsung dengan selamat. Saat bulan purnama, regu peronda bertugas sepanjang malam.

Aktivitas ronda tidak pernah berhenti. Orang yang tertangkap sedang mengambil ikan dari sungai atau kolam dangkal disita jalanya dan harus membayar denda. Sementara itu, sapi dan kambing yang merumput di dalam taman dihalau agar kembali ke padang rumput di pedesaan. Yang lebih sering justru para penjaga dipanggil untuk menghalau binatang liar dari pedesaan dan padang rumput untuk digiring kembali masuk ke Kaziranga.

Semua itu pekerjaan rutin biasa saja jika dibandingkan dengan menangani pemburu bersenjata yang menguntit badak.  Cula badak—yang terbuat dari serat keratin yang memadat, bahan yang sama dengan dalam kuku dan rambut—berharga untuk dijadikan gagang belati di Timur Tengah dan bahkan jauh lebih tinggi nilainya di kawasan Asia karena diduga berkhasiat sebagai obat. Dengan harga satu cula melebihi Rp300 juta di pasar gelap, ini adalah komoditas yang membuat orang rela mati untuk mendapatkannya.

Dari 1985 hingga 2005, pemburu liar berhasil menembak 447 ekor badak Kaziranga dan beberapa orang penjaga; Adapun penjaga menewaskan 90 penjarah dan menahan 663 lainnya. Jumlah badak yang dijarah setiap tahun jumlahnya menurun hingga kurang dari sembilan ekor sejak 1998—kemudian, pada 2007 naik lagi sampai 18 ekor. Hingga pekan ke-5 tahun 2008, ketika aku tiba, lima ekor lagi telah rubuh nenjadi korban. Yang seekor masih kecil, disembelih demi culanya yang baru tumbuh. Cula induknya yang terluka dipotong dari wajahnya saat binatang itu masih hidup. Baru dua hari kemudian si induk tewas.!break!

Serangkaian penangkapan berhasil meredam penjarahan badak, meskipun berdasarkan pengalaman sebelumnya, cepat atau lambat semakin banyak orang jahat yang bermunculan. Tetapi, taman itu menghadapi masalah besar yang lain—masalah yang tidak seorang pun bisa mengatasinya.

Kaziranga mengandalkan bentang alam yang jauh lebih luas untuk menopang kehidupan margasatwanya yang menakjubkan. Saat musim banjir besar, tatkala daratan terbenam di bawah arus cokelat Sungai Brahmaputra, margasatwa menyelamatkan diri dan meninggalkan suaka. Sudah sejak dulu selalu begitu. Namun, dewasa ini, ke mana pun menyelamatkan diri, binatang-binatang itu selalu bertemu dengan "banjir manusia" yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Kita dapat tersesat dalam kerimbunan rumput tinggi hingga tepi Kaziranga di sebelah selatan,  tetapi tidak jauh dari tempat itu, sudah bisa dijumpai anak-anak, anjing, ayam, kambing perah, dan sawah yang luasnya mencapai berkilometer persegi. Sedikit lebih jauh, kita bisa mencapai daerah aliran sungai dan menemukan seekor sapi terbaring tak berdaya dan mengalirkan darah dari luka di lehernya akibat terkaman harimau, sementara Nijara Nath bercerita tentang pertemuannya dengan harimau tersebut di kandang ternak dekat rumah pada malam hari. Ketika palawija mulai siap dipanen, suaminya, Indeswar, menghabiskan waktu bermalam-malam di tepi ladang mereka, berusaha menghalau herbivora, mulai dari rusa kepala mungil hingga badak yang meninggalkan deretan lubang bekas jejak kakinya di sawah. Keluarga Nath bukan tidak menyukai keberadaan taman nasional—saudara sepupu Indeswar berpenghasilan bagus sebagai tukang masak di penginapan para wisatawan—namun, mereka berharap pemerintah membayar ganti rugi kepada rakyat yang sawahnya dirusak oleh margasatwa penghuni taman. "Pada tahun-tahun tertentu kami mengalami kerugian besar, dan pada tahun lain kerugiannya kecil," kata Indeswar, "tetapi setiap tahun pasti kami mengalami kerugian."

Permukiman rakyat bahkan lebih dekat di bagian utara taman. Dari ketinggian di menara pengawas yang terletak di sebuah pemondokan di bagian utara tersebut, yang bisa kulihat hanyalah hewan ternak—kawanan kerbau dan sapi perah—mencari makan di daerah rawa di dalam taman.  Karena hewan ternak sudah terbiasa merumput di daerah ini sebelum dijadikan bagian dari taman suaka margasatwa pada 1990an, pengurus taman mengizinkan kebiasaan ini berlanjut. Namun, secara keseluruhan di daerah itu lebih sering terjadi pertikaian dengan gajah dibandingkan dengan di tempat lain di Assam, Karena terletak pada lintasan migrasi kawanan ternak yang mengikuti sisa-sisa hutan yang masih ada antara Kaziranga dan kaki bukit pegunungan Himalaya di sebelah utara.

Pada musim hujan, kawanan satwa juga bermigrasi ke selatan menuju Perbukitan Karbi. Lima koridor-habitat yang kecil dan amat sangat penting belum lama ini dibangun di taman untuk memudahkan perjalanan migrasi tersebut. Di sepanjang jalan, kawanan satwa harus melalui Jalan Raya Nasional 37, lintasan transportasi utama Assam yang membentang dari timur ke barat. Para penjaga membangun penghalang membentuk lintasan zigzag untuk melambatkan lalu lintas truk di tempat yang paling sering digunakan  hewan untuk melintas. Meskipun demikian, gajah, badak, ular sanca, dan rusa yang sedang bermigrasi menjadi korban tabrakan hampir setiap tahun. Usul pelebaran jalan menjadi empat lajur menyulut kemarahan komunitas pelestarian India.!break!

"Jika Jalan Raya 37 dijadikan jalan berlajur empat, sama saja dengan membunyikan lonceng kematian bagi Kaziranga," kata Asad Rahmani, direktur Masyarakat Sejarah Alam Bombay. Pemerintah mempertimbangkan untuk membatalkan proyek jalan empat lajur itu dan memilih untuk memperbaiki jalan yang sejajar di sebelah utara sungai. "Kami  masih tetap harus mengendalikan gangguan dari proyek lain," katanya. Pemerintah harus membeli lahan untuk membangun lebih banyak lagi koridor kalau tidak mau menutup Kaziranga."

Bahkan meskipun jalan menuju Perbukitan Karbi diperkuat, bagaimana dengan perbukitan itu sendiri? Dan lahan terjal menuju Himalaya? Setiap tahun, perusahaan penebangan kayu, perusahaan pengangkut batu, para penggembala, dan kaum tunawisma yang papa menempati daerah yang semakin luas di suaka hutan pemerintah. Hal tersebut mengubah kawasan yang semula rimbun oleh pepohonan menjadi petak-petak berumput yang mengalami pembalakan dan lereng yang terus tergerus. Untunglah India telah mengumumkan Suaka Gajah Kaziranga-Karbi Anglong yang terbentang jauh ke selatan dan Suaka Harimau Kaziranga yang membentang berkilometer ke utara. Namun, saat ini semua itu baru berlaku di atas peta, sementara kawasan yang tidak termasuk ke dalam taman terus saja dilahap oleh orang-orang yang haus tanah.

Tantangan yang dihadapi kini adalah menghubungkan sebanyak-banyaknya bagian di luar kawasan taman. Jika hambatan itu tampak berat, bayangkanlah para penjaga yang kesepian di pos, Budheswar Konwar, dan hukum negara-badak. Anda masih ingat? "Bukan untuk para penakut."