Memperjuangkan Semangat Kungfu

By , Rabu, 6 Oktober 2010 | 10:30 WIB

Beberapa hari sebelum Hu Zhengsheng mengunjungi gurunya yang sedang sakit, ia mendapat telepon yang paling dinanti-nantikan seumur hidup oleh banyak pendekar seumur hidupnya: ditawari peran utama dalam film kungfu oleh produser Hong Kong. Namun, dia masih ragu menerima tawaran tersebut. Dia tidak setuju dengan cara penggambaran kungfu dalam film—pemujaan kekerasan asal-asalan yang mengabaikan prinsip kunci ilmu tersebut: moral dan hormat kepada lawan. Dia juga khawatir kalau-kalau murid Yang Guiwu yang lain tidak akan hormat lagi kepadanya jika dia menjadi penghibur. Dan dia mengkhawatirkan godaan ketenaran. Gurunya pernah menegurnya agar tetap rendah hati, saat dia melebihi murid yang lain. Kerendahan hati mengalahkan kesombongan, nasihat Guru Yang. Kesombongan membuat manusia kalah.!break!

Di sisi lain, peran itu dapat menghasilkan publisitas dan uang yang sangat dibutuhkan bagi sekolah kungfu kecil milik Hu. Dengan restu gurunya, dia mendirikan sekolah itu delapan tahun lalu dalam beberapa bangunan batako di luar Dengfeng. Tidak seperti perguruan kungfu besar, yang menekankan jurus akrobatik dan pertandingan, Hu mengajari 200 murid laki-laki dan beberapa murid perempuannya jurus kungfu tradisional Shaolin yang diturunkan Yang Guiwu kepadanya.

Tetapi, pertarungan bukanlah pelajaran kungfu yang terpenting, jelas Hu. Intinya adalah kehormatan. Ilmu yang diajarkannya kepada anak didik disertai dengan tanggung jawab besar. Dia berharap setiap muridnya memiliki kehormatan dan bersedia "menelan kepahitan", belajar menerima kesulitan, menggunakannya untuk mengasah tekad dan menempa kepribadian.

Pada malam hari murid-muridnya tidur di kamar tak berpemanas. Sedingin apa pun cuaca, mereka tetap berlatih di luar, seringnya sebelum matahari terbit. Mereka menusuk batang pohon untuk menguatkan tangan dan berlatih jongkok sambil memanggul murid lain untuk membangun kekuatan kaki. Selama latihan, pelatih menggunakan tongkat bambu untuk memukul urat lutut anak-anak yang jurusnya tidak sempurna atau dianggap kurang berusaha.

Ketika ditanya apakah ada murid yang meradang karena perlakuan kasar seperti itu, Hu tersenyum. "Itulah menelan kepahitan. Mereka paham bahwa hal itu membuat mereka lebih baik."!break!

Masalah Hu bukanlah ditinggalkan murid-muridnya, melainkan menambah peserta baru guna menutupi biaya perguruan. Kebanyakan anak-anak itu berasal dari keluarga miskin, dan Hu hanya membebankan biaya makan kepada mereka. Namun, perlahan-lahan dia menerima tren mengajar dan mulai menawarkan beberapa kursus sanshou (kickboxing) dan taolu (kungfu akrobatis), berharap menarik murid baru lalu memengaruhinya agar mempelajari jurus tradisional.Berdasarkan pengalaman pribadi, Hu tahu bahwa bayangan anak-anak tentang kungfu dapat berubah seiring mereka tumbuh dewasa. Ketika masih muda, dia terobsesi dengan film kungfu, meniru gerakan Bruce Lee dan Jet Li serta berkhayal membalas perlakuan para penyakat di desanya. Pada usia 11 tahun dia berhasil membujuk agar dimasukkan ke Kuil Shaolin, tempat ia menjadi pembantu seorang pelatih kelompok pertunjukan. Kemudian orang itu memperkenalkannya kepada Yang Guiwu.

"Ketika bertemu Suhu, saya sudah hafal banyak jurus tradisional," ucap Hu, "tapi dia mengajarkan teori di balik gerakan tersebut. Mengapa gerakan tangan harus begitu. Mengapa berat harus berada pada bagian kaki tertentu. Dia berdiri untuk menunjukkan. Pukulan tinju, jelasnya, dilakukan seperti gerakan catur, mengantisipasi berbagai kemungkinan gerakan balasan. "Apa pun respons lawan, saya siap untuk menangkis dan melontarkan pukulan kedua, ketiga, dan keempat, masing-masing ditujukan ke titik lemah tubuh." Dia memperagakannya dalam gerak lambat. "Murid dapat mempelajari hal ini dalam setahun," katanya. "Namun, untuk melakukannya seperti ini"—tangan dan siku nyaris tak terlihat saat ia mengulangi gerakan itu dengan kecepatan penuh—"perlu bertahun-tahun."

"Tidak ada tendangan tinggi atau gerakan akrobat," ujarnya. Gerakan seperti itu membuka titik lemah. "Kungfu Shaolin dirancang untuk bertarung, bukan untuk menghibur penonton. Sangat sulit meyakinkan anak-anak agar mau bertahun-tahun belajar sesuatu yang tidak akan membuat mereka kaya atau terkenal." Pikiran itu tampak membebaninya. "Saya khawatir inilah yang akan menyebabkan kepunahan jurus tradisional."Seorang anak laki-laki bersepatu kets dan berjubah sekolah abu-abu muda muncul di pintu kantor dan melaporkan bahwa ada murid yang kakinya terkilir. Saat Hu tiba untuk memeriksanya, murid yang cedera itu sudah berlatih lagi, menendang kantong sasaran sambil mengertak-ngertakkan gigi. Sebagai guru, Hu mengangguk puas. "Dia belajar menelan kepahitan."

Berita bahwa Guru Yang sekarat sampai ke muridnya yang paling misterius di puncak gunung terpencil di atas Kuil Shaolin. Di sanalah Shi Dejian, seorang rahib Buddha berusia 47 tahun, melewati minggu yang berat. Ada kru televisi datang ke kuil itu—setelah mendaki anak tangga zigzag yang membuat gamang, dipahat di lereng dari batu granit. Mereka membawa seorang ahli bela diri campuran, yang rencananya akan diuji ilmunya melawan para biarawan sambil difilmkan. (Orang tersebut pulang dengan memar-memar.) Tim neurologi dari Hong Kong University pernah datang untuk meneliti efek pola meditasi Dejian yang berat pada aktivitas otaknya, dan dia baru melewati malam yang melelahkan, menerapkan teknik chi untuk meringankan nyeri temannya yang sakit. Lalu ada pula pejabat Partai Komunis dari Suzhou yang menerobos pintu gerbang dan meminta obat penyakit diabetes untuk saudaranya. Dejian, yang menginginkan kesendirian, merasa terlalu banyak didatangi orang.!break!

Ramainya kunjungan orang asing ini terutama diakibatkan oleh beberapa klip video internet yang berisi dirinya memeragakan jurus kungfu Shaolin tradisional, sering kali sambil menjaga keseimbangan di atas tebing sempit setajam jarum atau di atap miring pagodanya yang berada di pinggir tebing. Salah langkah sekali saja dapat berakibat jatuh ke jurang sedalam lebih dari 100 meter. Klip ini—sebagian besar direkam pengunjung selama bertahun-tahun—tersebar di situs-situs kungfu dan obat Tiongkok dan menekankan filosofi bahwa hidup yang sehat tergantung pada prinsip chan (meditasi Zen), wu (seni bela diri), dan yi (obat herbal). Tiga prinsip ini sama dengan akar filosofi Kuil Shaolin, ujarnya kepada saya. Dan meskipun dia tidak mengatakannya, prinsip inilah—menurut banyak pengkritik Shaolin, baik di dalam maupun di luar Tiongkok—yang telah diabaikan demi mengejar transaksi komersial dan uang turis. Pesan pertunjukannya yang menantang maut itu tampaknya adalah pesan tentang hidup tulus: Jika kita melatih Chan Wu Yi sejati, inilah yang mungkin diraih.

Dari dekat, Dejian mirip peri gunung, tubuhnya 160 cm, perawakannya kekar berotot. Dia memakai jubah panjang dari wol dan topi bulat gaya Mongol untuk melindungi kepala gundulnya dari udara gunung yang dingin dan lebih suka bicara sambil bergerak, menanam pohon cedar atau memetik daun dandelion untuk makanan.

Jalannya menuju puncak Song ini dimulai pada 1982—sebagai anak ajaib kungfu berusia 19 tahun—saat dia meninggalkan keluarganya di dekat perbatasan Mongolia dan berziarah ke Kuil Shaolin. Upayanya mencari guru kungfu membawanya ke Yang Guiwu, dan dia segera menonjol sebagai murid terbaik gurunya. Semakin banyak yang dipelajarinya tentang kungfu, dia semakin tertarik pada hubungannya dengan meditasi dan pengobatan Tiongkok, dan akhirnya dia memutuskan menjadi biksu di Kuil Shaolin.